Oleh: Cahyadi Takariawan *

TEGA, ini yang harus dimiliki oleh orangtua. Jika yang berkembang adalah tidak tega, maka akan sangat sulit menghindarkan anak dari kecanduan gadget. TEGA terdiri dari empat komponen:

T – Tegas menerapkan aturan

E – Edukasi sepanjang hari

G – Gemarkan membaca dan berkegiatan kreatif

A – Ajak bersosialisasi

Kita bahas satu per satu unsur TEGA tersebut.

Pertama, tegas menerapkan aturan

Sangat penting bagi setiap keluarga untuk memiliki aturan family time serta screen time, dan tegas dalam menerapkan aturan. Yang dimaksud dengan family time adalah waktu berkualitas bersama keluarga. Sedangkan screen time adalah waktu yang disepakati untuk tidak menggunakan gadget. Mereka mengobrol dan berkegiatan bersama keluarga, tanpa ada yang memegang gadget.

Di antara contoh aturan screen time adalah dengan membatasi penggunaan gadget sesuai dengan rekomendasi kelompok umurnya. Ayah dan ibu harus kompak dalam menjawab pertanyaan ini: mulai umur berapa anak dibolehkan bermain gadget?

Berapa lama anak dibolehkan bermain gadget? Inilah contoh aturan yang harus dijalankan dengan tegas. Pada contoh aturan yang kami terapkan pada anak bungsu -Erqi, semenjak kelas 3 SD sampai lulus SD ia tidak boleh menggunakan gadget.

Untuk masyarakat Amerika dan Kanada, telah ada rekomendasi dari The American Academy of Pediatrics (2013) dan Canadian Pediatric Society (2010) terkait batasan waktu maksimal penggunaan gadget pada anak.

Menurut dua lembaga tersebut, anak-anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya tidak dibiarkan bermain gadget sendirian, termasuk TV, smartphone dan tablet.

Anak-anak usia 2 sampai 4 tahun: kurang dari satu jam sehari. Usia 5 tahun ke atas: sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari untuk penggunaan rekreasional, di luar kebutuhan belajar.

Jika anda ingin menerapkan rekomendasi tersebut, harus disertai satu syarat: bahwa anda mampu memastikan batasan tersebut dipenuhi. Caranya adalah dengan mendampingi anak saat diberi kesempatan menggunakan gadget.

Jika anda tidak bisa mendampingi dan tidak mampu memastikan terpenuhinya batasan tersebut, maka keputusan anda memberikan waktu menggunakan gadget pada anak-anak sangat beresiko. Selain membuat mereka kecanduan, anda juga tidak mengetahui apa saja yang mereka akses dengan gadget.

Maka nomer satu harus ada kesamaan pandangan dari ayah dan ibu dalam membuat batasan dan menerapkan aturan terkait family time serta screen time.

Setelah ada aturan yang disepakati, harus diterapkan secara tegas tanpa kompromi. Semua demi kebaikan anak-anak di masa sekarang maupun masa depan.

Kedua, edukasi sepanjang hari

Orangtua bukan hanya bisa melarang dan membatasi, namun harus mengedukasi. Inilah sisi yang membuat aturan menjadi seimbang dan dipahami. Anak-anak tidak hanya menerima dan menjalnkan aturan, namun mengerti esensi dari aturan tersebut.

Namun yang harus mendapat perhatian lebih awal justru edukasi pada orangtua itu sendiri. Sebelum mengedukasi anak, orangtua harus sudah mengerti berbagai hal yang diperlukan dalam mengedukasi anak-anaknya.

Sebagai contoh, orangtua harus mengerti persis apa bahaya gadget bagi anak-anak. Terlebih lagi, apa bahaya kecanduan gadget bagi anak-anak. Hal ini akan membuat orangtua benar-benar tersadarkan, bahwa gadget dan internet bukanlah hal yang ramah dan aman untuk anak-anak.

Kehadiran gadget dan internet tidak didesain untuk mereka, namun ternyata mereka –anak-anak itu— yang menjadi korbannya. Jika orangtyua tidak mengetahui apa bahaya gadget dan bahaya kecanduan gadget pada anak, maka mereka tidak mengerti pula urgensi pembatasan.

Di antara contoh edukasi yang harus diberikan kepada anak-anak terkait gadget adalah perbedaan orang dewasa dengan anak-anak. Sering muncul pertanyaan pada anak, “Mengapa ayah dan ibu boleh menggunakan gadget, sedangkan aku tidak boleh menggunakan?” Menghadapi pertanyaan seperti itu, orangtua harus menjawab dengan tepat.

Tidak boleh menjawab secara asal-asalan atau sekedar menunjukkan kekuasaan sebagai orangtua dengan model jawaban “pokoknya”. Misalnya, “Pokoknya kamu tidak boleh”, atau “Pokoknya bapak dan ibu boleh”.

Erqi bertanya kepada kami, mengapa ayah dan ibu boleh menggunakan gadget? Maka kami tunjukkan kepadanya apa yang kami lakukan dengan gadget.

Saya tunjukkan bahwa saya membuat konten tausiyah, konten dakwah, konten edukatif untuk dishare ke berbagai medsos sertagrup-grup chatting, dengan menggunakan gadget tersebut. Termasuk menggunakan gadget untuk menjawab pertanyaan konsultasi keluarga, juga menggunakan gadget untuk jualan online.

Istri saya pun menunjukkan hal yang serupa. Maka Erqi menjadi mengerti, apa perbedaan kami selaku orang dewasa dengan dirinya selaku anak-anak dalam penggunaan gadget.

Ketiga, gemarkan membaca buku dan berkegiatan kreatif

Dunia anak adalah berimajinasi, bermain dan berkreasi. Maka, larangan atau pembatasan penggunaan gadget harus disertai dengan penyaluran yang produktif. Agar tidak terjadi pemandul;an potensi pada anak. Buat mereka gemar membaca buku atau ensiklopedia, sesuai usia mereka.

Buat mereka gemar berkegiatan kreatif dengan aneka sarana. Ini akan mengisi hari-hari mereka, semenjak masih di rumah belum masuk sekolah, maupun ketika sudah mulai menginjakkan kaki ke playgroup, TK, SD dan sekolah menengah.

Ada sangat banyak buku serta ensiklopedi bermutu sekaligus menyenangkan untuk dibaca anak-anak. Jika anak gemar membaca, maka pikiran mereka akan terarah. Otak mereka akan terisi dengan ilmu pengetahuan yang diperlukan.

Mereka akan asyik dengan tumpukan buku serta ensiklopedi yang membuat waktu mereka termanfaatkan secara positif. Sangat berbeda dengan sifat gadget yang menuntut pemuasan secara liar dan tak ada batasan.

Selain dikondisikan untuk gemar membaca, anak juga harus diajak berkegiatan kreatif, sesuai dengan usia masing-masing. Untuk anak-anak balita, ada papan kegiatan yang mengasyikkan, semacam ‘busyboard” atau yang lainnya.

Untuk anak-anak usia SD, bisa diajak berkegiatan fisik yang lebih banyak, sehingga membuat badan mereka terolah dengan baik, serta waktu tergunakan secara positif. Untuk anak-anak remaja, bisa diajak melakukan kegiatan yang mengenalkan mereka kepada aneka industri kreatif, sehingga bisa mulai melakukan hal produktif dalam kehidupan.

Keempat, ajak anak bersosialisasi

Catherine Steiner Adair, seorang peneliti di Harvard Medical School sekaligus penulis buku The Big Disconnect: Protecing Childhood and Family Relationship in The Digital Age menjelaskan kunci untuk mengatasi kecanduan gadget pada anak.

“Anak-anak belajar dari bermain, terutama anak-anak prasekolah dan anak-anak usia dini, Untuk mengatasi kondisi ini, pastikan anak menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain dan belajar secara langsung bukan dari layar,” demikian ujar Adair.

Sangat penting bagi anak untuk bersosialisasi terutama dengan teman sebaya. Maka pada contoh Erqi, kami pilihkan beberapa teman bermain sebaya yang ada di sekitar rumah kami. Tidak sembarang teman, namun kami pilih berdasarkan krietria tertentu, seperti ini (a) orangtuanya sama-sama menghendaki anaknya bebas dari kecanduan gadget (b) umur sebaya (c) tempat tinggal berdekatan (d) bersedia mengikuti aturan. Akhirnya ada lima anak sebaya yang setiap hari bermain bersama Erqi di lingkungan sekitar, sepulang mereka dari sekolah sampai menjelang waktu Maghrib.

Satu sisi, ini adalah upaya untuk mengajarkan nilai-nilai sosial, pertemanan, sportifitas, kepedulian, dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, ini yang membuat anak menjadi asyik satu dengan yang lainnya, dengan aktivitas fisik nyata.

Bukan berkumpul untuk bermain gadget, bukan berkumpul untuk bermain game online, namun berkumpul untuk bermain sepeda keliling kampung, sepak bola di tanah lapang, futsal, dan lain sebagainya.

Sesekali waktu berkumpul betrsama di rumah untuk membaca ensiklopedi atau bermain menyusun lego. Semua aktivitas itu sangat mengasyikkan bagi mereka.

Menuju “Bahagia Tanpa Gadget”

Saat ini, Agustus 2019, Erqi sudah masuk kelas satu di SMPIT boarding school Ihsanul Fikri (IF), Magelang. Sekolah itu, ia sendiri yang memilihnya. Semenjak kelas 3 SD hingga kelas 6 SD, Erqi tak lagi bermain gadget sama sekali.

Di rumah kami ada sangat banyak gadget, karena untuk kegiatan jualan online. Namun Erqi tidak mau mencuri kesempatan untuk menggunakan gadget tersebut, karena ia menyadari urgensi dari aturan pembatasan gadget bagi dirinya. Ia tanpa gadget semenjak masuk kelas 3 SD, selama empat tahun hingga lulus SD.

Saat menentukan pilihan sekolah untuk SMP, dari berbagai alternatif, ia mantap memilih sekolah di SMPIT IF yang sistemnya boarding. Saya sampaikan kepada dirinya, bahwa nanti apabila diterima menjadi siswa SMPIT IF, di asrama tidak dibolehkan membawa dan bermain gadget.

Erqi mengerti dan memahami. Jadi, larangan pemakaian gadget berlanjut lagi. Jika semasa SD larangan berasal dari kami, maka ketika SMP larangan berasal dari pihak sekolah.

Kredo yang kami sepakati bersama Erqi adalah, “Bahagia Tanpa Gadget”, dan alhamdulillah selama sekolah di SD, hal itu bisa terwujud. Yang diperlukan adalah tekad dari orangtua untuk TEGA terhadap anaknya, dalam makna yang positif.

Dengan empat aktivitas TEGA, insyaallah bisa membuat anak-anak terjauhkan dan tersembuhkan dari kecanduan gadget. Semoga sharing pengalaman ini ada manfaatnya.

*) Penulis Buku Serial “Wonderful Family”, Peraih Penghargaan “Kompasianer Favorit 2014”; Konsultan di “Rumah Keluarga Indonesia” (RKI) dan “Jogja Family Center” (JFC).