Oleh: Cahyadi Takariawan *

Saya akan sharing cerita tentang anak bungsu, sebut saja Erqi. Pada saat kelas satu SD, kami mengizinkan Erqi untuk bermain gadget satu jam pada hari Sabtu dan satu jam pada hari Ahad.

Ketika naik kelas dua SD, kami tambah kesempatannya menggunakan gadget menjadi dua jam pada hari Sabtu dan dua jam pada hari Ahad.

Erqi tertib mematuhi batasan waktu tersebut, walau kadang merengek minta tambahan waktu. Kami tidak memberikan tambahan waktu yang diminta itu.

Ketika Erqi naik kelas tiga SD, rengekannya untuk menambah waktu bermain gadget semakin menjadi. Ia tidak mau dibatasi waktu, dan menuntut untuk dibolehkan menggunakan gadget di seluruh hari, bukan hanya Sabtu dan Ahad sebagaimana sebelumnya. Tentu saja kami menolak permintaan itu.

Setiap hari Sabtu dan Ahad, kami memberikan kesempatan untuk bermain gadget maksimal tiga jam. Namun ia protes bahkan sering menangis setiap kali diingatkan waktunya sudah habis. Pada saat itulah kami menyadari bahwa Erqi sudah mulai kecanduan gadget.

Tentu kami tidak ingin ia kecanduan semakin parah, maka saya dan istri bersepakat untuk menghentikan memberikan izin kepada Erqi menggunakan gadget. Bukan dengan cara bertahap -seperti anjuran beberapa kalangan- namun dengan cara langsung.

Stop sejak hari itu juga tanpa toleransi. Apa yang terjadi? Tentu pembaca sudah bisa menduga. Ya benar, Erqi berontak, marah, dan menangis keras.

Setiap kali dia menyatakan ingin main gadget, langsung kami tolak, dan tidak kami pinjamkan kepadanya gadget. Kami harus siap dengan adegan berulang: berontak, marah, dan menangis keras. Inilah tanda semakin nyata bahwa Erqi sudah kecanduan gadget.

Ciri-ciri Anak Kecanduan Gadget

Ada sangat banyak tanda pada anak yang sudah mulai kecanduan gadget. Hendaknya orangtua cermat melihat ciri-ciri ini pada anak:

  1. Menggunakan gadget secara terus-menerus tanpa mau dibatasi dan dilarang
  2. Selalu meminta diberikan gadget dan jika tidak diberi, anak akan mengamuk
  3. Berkurangnya minat untuk bersosialisasi, lebih suka menyendiri
  4. Tidak mau beraktivitas di luar rumah, misalnya bersikeras meminta pulang saat diajak bepergian, agar bisa bermain game di rumah
  5. Menolak melakukan rutinitas sehari-hari dan lebih memilih bermain gadget, seperti tidak mau disuruh shalat, belajar, makan, tidur atau mandi

Demikianlah beberapa ciri yang mudah dikenali pada diri anak, ketika mereka mulai kecanduan gadget. Jika ciri dan gejala itu sudah nyata -apalagi sempurna adanya- maka orangtua harus waspada, dan segera mengambil langkah nyata penyelamatan anak dari kecanduan gadget yang lebih parah.

Menyembuhkan Anak dari Kecanduan Gadget

Lalu, apa yang harus kita lakukan ketika anak bersikap seperti itu? Hanya satu kata: tega! Ya, harus tega melihat anak yang sangat kita cintai marah-marah dan menangis keras. Sebagai orangtua, kita sering tidak tega melihat pemandangan seperti itu.

Maka rasa tidak tega inilah yang menyebabkan orangtua tidak disiplin menerapkan pembatasan dan larangan kepada anak. Akhirnya orangtua kalah, setiap kali anak marah dan menangis keras, langsung dipenuhi keinginannya.

Anak akhirnya mengenali pola ini: jika ingin dibolehkan main gadget harus marah dan menangis keras terlebih dahulu.

Pada sebagian orangtua, rasa tidak tega membuat mereka melakukan negosiasi dengan anak. Mereka membuat kesepakatan, boleh main gadget satu jam apabila mereka telah membaca Al Qur’an satu jam, atau setara dengan setoran hafalan ayat Al Qur’an setengah halaman, misalnya.

Anak akhirnya menggunakan membaca Al Qur’an atau setoran hafalan sebagai pola tetap. Jika ingin dibolehkan main gadget, maka ia harus memperbanyak tilawah dengan hitungan jam, atau memperbanyak setoran ayat. Seakan ini positif, namun bisa jadi kita telah melatih ketidaktulusan pada anak.

Yang harus dimiliki oleh ayah dan ibu adalah rasa tega yang berdiri di atas cinta dan kasih sayang terhadap anak. Kita harus tega melihat anak marah, tega melihat anak berontak, tega melihat anak menangis berguling-guling.

Semua itu justru karena cinta dan kasih sayang kita terhadap anak. Karena kita tidak tega jika di masa depan nanti, anak menjadi tidak bisa dikendalikan, tidak bisa menjadi anak salih /salihah, tidak mengerti batasan boleh dan tidak boleh, serta selalu ingin menuruti keinginan sesaat. Maka harus tega sekarang, karena kita tidak tega dengan hal buruk menimpa mereka di masa yang akan datang.

Penelitian di Bristol University tahun 2010 mengungkapkan, bahaya penggunaan gadget pada anak dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, kurang atensi, autisme, kelainan bipolar, psikosis, dan perilaku bermasalah lainnya. Hasil studi ini sudah sangat mengerikan bagi orangtua.

Kita semua tidak akan tega, jika anak kita harus mengalami depresi, kelainan bipolar, apalagi psikosis. Maka harus tega mendengar tangis keras anak lantaran tidak diizinkan bermain gadget, harus tega melihat anak berguling-guling sebagai bentuk protes karena tidak diizinkan menggunakan gadget.  (bersambung ke bagian 2) 

 

*) Penulis Buku Serial “Wonderful Family”, Peraih Penghargaan “Kompasianer Favorit 2014”; Konsultan di “Rumah Keluarga Indonesia” (RKI) dan “Jogja Family Center” (JFC).