Oleh: H Mulyadi Muslim, Lc., MA., Datuk Said Marajo Nan Putiah

Limbago dalam pemahaman para penghulu dan masyarakat Minangkabau tidak sama dengan lembaga versi masyarakat hari ini. Apa dan bagaimana perbedaannya kadang sulit dijelaskan kepada generasi muda hari ini.

Maka cara termudah untuk menjelaskan bisa dengab contoh. Ketika kita berdiskusi dengan para penghulu mereka sering mengatakan limbago nan sapuluah (cupak nan duo, undang nan ampek dan kato nan ampek).

Di lain waktu kita juga mendengar bahwa pangulu, datuak ka ampek suku atau datuak pucuak bagian dari limbago, bukan lembaga. Karena lembaga adalah Kerapatan Adat Nagari/KAN (yang dibuat berdasarkan Undang Undang). Sementara limbago, sesuatu yang sudah tumbuh dan ada sebelum negara ada.

Sampai di sini saja pasti anak muda minang yang ingin belajar adat minang dan kelembagaannya sudah  mulai bingung dan mumet pikirannya. Di sinilah strategisnya pengkajian atau syarah adat secara terstruktur untuk para penghulu, perangkatnya dan juga masyarakat khususnya generasi muda.

Harus ada pembatasan periodesasi pembahasan. Apakah sebelum Islam masuk ke Minangkabau,setelah Islam dijadikan sebagai landasan hidup sejajar dengan adat dan pasca Sumpah Sati Maropalam.

Kalau kita sepakat limbago itu adalah limbago nan sapuluah serta struktur organisasinya mulai dari pangulu, payuang/suduk, ka ampek suku dan datuak pucuak. Pasca Sumpah Sati Maropalam, setiap kaum yang sebelumnya  punya pangulu, monti, dubalang dan bundo kanduang harus punya malin.Malin itu adalah penanggung jawab urusan keagamaan.

Jika pangulu di kaumnya dianggap rajo atau presiden, maka malin adalah menteri agamanya. Jika suatu kaum sebelumnya memiliki rumah gadang dan rangkiang, maka seiring dengan adanya malin dalam struktur kelembagaan, maka  rangkiang khusus untuk urusan agama dan sosial juga  harus ada.

Di tingkat kampuang atau suduk didirikan surau atau seperti musholla hari ini. Sebagai tempat mengaji anak kemenakan dan juga tempat tidurnya anak laki-laki yang sudah mulai remaja. Dan ditingkat suku harus ada imam, bila, khatib dan qadhi. Di tingkat nagari juga sama dan bahkan pucuk atau rajo ibadatnya juga ditetapkan di samping adanya masjid nagari.

Konsep Implementasi penanaman nilai ABS-SBK (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah) secara teoritis sudah masif disuarakan oleh semua pihak. Tetapi ada yang terlupakan oleh kita yaitu unsur struktur kelembagaannya yang seharusnya kita jadikan bagian dari limbago atau regulasi yang mesti ada. Mulai dari rangkiang untuk urusan agama, malin dengan suraunya, imam, bila, khotib dan qadhi dengan masjidnya.

Serta rajo ibadat dengan masajik nagorinyo. Dan yang lebih penting dari itu  semua adalahpembekalan keagamaan dan adat secara berkelanjutan untuk anak kemenakan kita dari waktu ke waktu.