Oleh: Irsyad Syafar
Intimidasi dan penyiksaan dari kafir Quraisy telah semakin berbahaya. Bahkan sudah memakan korban nyawa. Dalam hal ini Quraisy sudah tidak main-main. Mereka tidak mengizinkan agama Islam eksis di Makkah. Seluruh pengikutnya akan mereka ganggu atau kembali ke agama nenek moyang mereka. Sementara itu Rasulullah Saw. dan sahabat yang lain tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi kaum muslimin yang lemah tersebut.
Dalam situasi tersebut turunlah surat Al Kahfi yang berisikan beberapa kisah umat terdahulu. Salah satu kisahnya adalah tentang ashabul kahfi. Yaitu beberapa pemuda beriman yang terancam akan dibunuh oleh kerajaan mereka yang musyrik. Maka kemudian mereka lari meninggalkan negeri mereka menuju tempat lain. Sehingga kemudian mereka bersembunyi di sebuah gua dan tertidur di sana selama 309 tahun.
Pada kisah Ashabul Kahfi inilah terdapat inspirasi dan ide untuk melakukan hijrah. Sebagaimana firmanNya:
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا. (الكهف: ١٦).
Artinya: “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al Kahfi: 16)
Maka Rasulullah Saw. pun lantas memerintahkan sebagian sahabatnya untuk melakukan hijrah. Pilihan tempat yang dituju untuk berhijrah adalah negeri Habasyah atau Ethiopia saat ini, di benua Afrika. Beliau Saw. mengetahui bahwa pemimpin Habasyah saat itu, Ashhamah An Najasyi, adalah seorang raja yang adil dan tidak membiarkan orang dizalimi di hadapannya.
Hijrah pertama ke Habasyah
Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian, berangkatlah 12 laki-laki dan 4 wanita hijrah ke Habasyah. Rombongan ini dipimpin Utsman bin Affan ra. Mereka berangkat dengan sembunyi-sembunyi pada malam hari, menuju pelabuhan di pantai barat jazirah Arab.
Akan tetapi keberangkatan mereka ini tercium juga oleh orang-orang kafir Quraisy. Sejumlah kafir Quraisy mengejar mereka ke pelabuhan. Namun dengan izin Allah, ketika Quraisy tiba di pantai, kapal yang dinaiki rombongan muhajirin telah berangkat menuju Habasyah. Loloslah mereka dari kejaran Quraisy.
Sesampainya di Habasyah, rombongan muhajirin ini dapat hidup dengan aman. Setelah beberapa bulan tinggal di sana, mereka mendengar sebuah kabar dari Makkah yang sangat membahagiakan sekali. Kabarnya adalah musyrikin Quraisy sudah masuk Islam. Berita gembira ini membuat mereka pulang kembali ke Makkah.
Berita sebenarnya bukanlah seperti itu. Quraisy tidaklah masuk Islam. Yang terjadi sebenarnya adalah sejumlah kafir Quraisy telah bersujud di dekat Rasulullah Saw. Ketika itu Rasulullah sedang membacakan surat An Najm, dan mereka diam mendengarkannya. Sehingga mereka larut dan terpesona dengan indahnya untaian ayat-ayat Allah Swt. dari surat tersebut. Ketika bacaan Rasulullah Saw. sampai pada akhir ayat, ada perintah sujud:
فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا. (النجم: ٦٢).
Artinya: “Maka sujudlah kalian kepada Allah dan sembahlah Dia!” (QS An Najm: 62).
Maka Rasulullah Saw. bersujud setelah ayat tersebut. Dan orang-orang kafir Quraisy yang hadir ketika itu juga ikut bersujud tanpa mereka sadari. Kejadian inilah kemudian yang berubah menjadi berita hoaks sampai ke Habasyah, bahwa Quraisy telah masuk Islam. Padahal setelah itu mereka sangat menyesal ikut bersujud dan mereka dicela oleh petinggi Quraisy yang lain.
Namun rombongan muhajirin dari Habasyah terlanjur berangkat menuju Makkah. Ketika sampai di pantai Jazirah Arab, mereka baru mengetahui hakekat berita hoaks tersebut. Menyadari hal itu, muhajirin pun masuk ke Makkah secara sembunyi-sembunyi. Ada pula yang masuk Makkah dengan jaminan keamanan tokoh yang mereka kenal.
Hijrah ke Habasyah yang Kedua
Suasana kaum muslimin di kota Makkah semakin tidak aman. Tekanan dan siksaan dari orang-orang Quraisy semakin menjadi-jadi. Maka Rasulullah Saw. pun memerintahkan hijrah untuk kedua kalinya. Hijrah kedua ini tentulah lebih sulit dibandingkan hijrah pertama. Sebab Quraisy semakin meningkatkan kewaspadaan mereka. Namun dengan izin Allah Swt., 83 orang laki-laki dan 18 wanita dimudahkanNya untuk berangkat ke Habasyah.
Mengetahui banyak kaum muslimin yang lolos dan dapat hidup aman di Habasyah, para pemuka Quraisy merasa geram dan sangat murka. Mereka tidak mau tinggal diam melihat perkembangan positif kaum muslimin tersebut. Mereka mengirim dua orang jago runding kafir Quraisy, yaitu Amru bin ‘Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah. Keduanya ditugaskan untuk menghadap Najasyi dan bernegosiasi dengannya agar Najasyi mau mengusir kaum muhajirin dari kerajaannya.
Keduanya berangkat ke Habasyah dengan membawa berbagai hadiah sebagai bahan dan persiapan diplomasi. Keduanya datang lebih awal mendekati para uskup penasehat Najasyi dengan berbagai hadiah. Baru kemudian datang menghadap Najasyi.
Amru bin Ash memang sangat pandai dalam beretorika. Kepada Najasyi ia berkata:
“Wahai Tuan Raja, sesungguhnya ada sejumlah orang bodoh dari negeri kami yang telah menyusup ke negeri Tuan. Mereka ini memecah belah agama kaumnya, juga tidak mau masuk ke agama Tuan. Mereka datang dengan membawa agama baru yang mereka ciptakan sendiri.”
Kemudian ia meminta Najasyi mengembalikan kaum muslimin ke Makkah dengan berbagai alasan. Para Uskup yang sebelumnya telah diberi hadiah, ikut setuju dan menguatkan perkataan Amru bin Ash.
Namun Najasy adalah seorang Raja yang adil. Ia tak mau langsung percaya begitu saja dan mengambil keputusan. Ia panggil delegasi kaum muslimin untuk dikonfrontasi dengan laporan Amru bin Ash ini. Najasyi bertanya: “Seperti apakah agama kalian sehingga memecah belah kaum kalian dan kalian juga tak masuk agama kami?”
Delegasi kaum muslimin dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib sebagai juru bicara. Ia menjawab pertanyaan Najasy: “Wahai Tuan Raja, dulu kami memeluk agama jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, memutus persaudaraan, menyakiti tetangga dan yang kuat menzalimi yang lemah. Lalu Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami sendiri yang kami ketahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya dan kesucian dirinya. Lalu kami beriman kepadanya.”
Ja’far menjelaskan ajaran Islam dan bagaimana agama tersebut mengubah perilaku-perilaku jahiliyah. Namun kaumnya memusuhi dan menyiksa kaum muslimin. “Maka kami pun pergi ke negeri Tuan ini dan memilih Tuan dari pada orang lain. Kami gembira mendapat perlindungan Tuan dan berharap agar kami tidak dizalimi di sisi Tuan.”
Kemudian Najasyi meminta dibacakan sebagian ajaran Nabi Muhammad Saw. Maka Ja’far membaca awal Surat Maryam dengan penuh khusyuk. Najasyi menangis mendengarkannya hingga membasahi jenggotnya. Ia berkata: “Sesungguhnya ini dan yang dibawa Isa benar-benar keluar dari satu cahaya yang sama.”
Maka Najasyi tidak berkenan mengabulkan permintaan Amru bin Ash. Kaum muslimin diizinkannya tinggal di negerinya dengan aman dan nyaman.
Namun Amr bin Ash tidak mau menyerah. Keesokan harinya, ia datang lagi menghadap Najasyi dan memprovokasinya. Amru sangat tahu bahwa Najasy ini beragama Nashrani dan tidak rela kalau agamanya terlecehkan. Ia sampaikan kepada Najasyi bahwa Nabi Muhammad bicara yang tidak benar tentang Isa. Kaum muslimin pun dipanggil kembali untuk dikonfirmasi kebenaran perkataan Amru tersebut.
Kaum muslimin sempat khawatir kalau Najasyi marah. Namun Ja’far sudah bertekad mengatakan yang sebenarnya. “Wahai Tuan Raja, kami katakan seperti yang dikatakan Nabi kami bahwa Isa adalah hamba Allah, RasulNya, RuhNya dan KalimatNya yang disampaikan kepada Maryam, sang perawan suci.”
Mendengar itu, Najasyi mengambil sebatang lidi dari lantai. “Demi Allah, perbedaan Isa bin Maryam dari apa yang kau katakan tadi tak lebih besar dari batang lidi ini.”
Hidup di Habasyah dengan Aman
Gagallah diplomasi Amr bin Ash kepada Raja Najasy. Ia dan rombongannya pulang ke Makkah dengan tangan hampa. Mereka gagal mempengaruhi Najasyi untuk mendeportasi kaum muslimin. Tuduhan-tuduhan mereka yang menjelekkan para sahabat mentah semuanya oleh jawaban-jawaban Ja’far. Dan Raja Najasy memang telah bersikap adil kepada mereka. Bahkan kemudian Raja Najasy ini masuk Islam. Ketika dia wafat di Habasyah, Rasulullah Saw. mengajak sahabatnya melakukan shalat ghaib.
Di Habasyah, kaum muslimin bisa tinggal dengan aman dan tenang. Mereka bisa beribadah tanpa gangguan. Mereka bebas berislam tanpa disakiti dan dicelakai. Mereka menetap di Habasyah sampai tahun ke 7 hijriyah setelah perang Khaibar. Setelah itu Ja’far dan rombongan kembali menyusul Rasulullah Saw. dan para sahabat yang telah menetap di Madinah.
Bersambung..