Oleh: Ustadz H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
4. Syarat Adzan.
Dalam melaksanakan adzan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
Pertama, Telah Masuk Waktu Shalat.
Syarat sah adzan adalah dilakukan ketika waktu shalat sudah masuk. Dahulu penentuan waktu shalat mengikut tanda alam yang di ajarkan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW. Diantaranya terbit fajar, terbit matahari, tergelincir matahari di tengah siang, bayang-bayang benda, terbenam matahari dan hilangnya cahaya syafa’ merah di langit.
Namun kemudian, dengan kemajuan ilmu hisab, waktu-waktu tersebut sudah dapat ditentukan hitungan jam dan menitnya. Kita diperintah Allah SWT melaksanakan shalat berdasarkan perputaran atau pergerakan matahari. Dan kita tidak pernah diperintahkan melihat matahari (rukyatus syamsi). Berbeda dengan bulan puasa, dan ibadah lainnya seperti Idul fitri dan Idul Adha, itu ditentukan berdasarkan perputaran bulan. Dan ada perintah Rasulullah SAW untuk melihat awal bulan (rukyatul hilal).
Karena akurasi waktu shalat semakin membaik, maka adzan tidak boleh dilakukan sebelum waktunya. Akan tetapi terdapat pengecualian pada adzan shubuh. Adzan shubuh diperbolehkan untuk dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum waktu shubuh tiba dan ketika waktu shubuh tiba (terbitnya fajar shadiq).
Kedua, Berniat adzan.
Sebagaimana semua ibadah dan amal shaleh, adzan adalah juga ibadah yang disyariatkan oleh Allah SWT melalui RasuNya. Karena itu seseorang yang akan adzan (muadzin) hendaklah berniat. Lafadz tidak ditentukan, dan dilaksanakan di dalam hati. Kandungannya lebih kurang, bahwa ia akan melakukan adzan ikhlas karena Allah semata.
Ketiga, Dikumandangkan dengan bahasa arab.
Jumhur ulama berpendapat bahwa adzan tidak boleh dan tidak sah kecuali dengan menggunakan bahasa bahasa Arab. Ini merupakan pendapat Madzhab Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Syafi’i.
Keempat, Lafadz adzan harus diucapkan secara berurutan.
Sebab kalimat-kalimat adzan sudah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Tidak ada ruang para sahabat menambah ataupun menguranginya. Atau menukar letak urutannya. Kecuali bila ada arahan langsung dari Rasulullah SAW. Karena Rasulullah SAW sudah tiada, maka lafadz adzan itu sudah baku kalimat dan urutannya.
Kelima, Tidak melakukan kesalahan ucapan (lahn).
Dalam mengumandangkan adzan, muadzin tidak boleh secara sengaja melakukan kesalahan pengucapan (lahn) lafadz adzan, yang dapat merubah makna. Lafadz-lafadz adzan harus diucapkan dengan jelas dan benar. Tidak boleh dipermainkan demi keindahan irama, tapi merobah makna.
Keenam, Lafadz-lafadznya harus bersambung.
Maksudnya adalah pengucapan lafadz adzan yang satu dengan lafadz yang berikutnya harus dilakukan secara bersambung, tanpa disela oleh sebuah perkataan, obrolan atau pun perbuatan di luar adzan. Akan tetapi bila mendadak muadzin bersin, maka hal itu suatu yang tidak merusak adzan.
Ketujuh, memperdengarkan adzan.
Adzan itu gunanya untuk memberitahu khalayak akan masuknya waktu shalat dan memanggil mereka untuk shalat ke masjid. Karena itu, adzan harus diperdengarkan keluar masjid. Bukan untuk orang yang di dalam masjid. Sebelum era munculnya pengeras suara, adzan disunnah ditempat yang tinggi, diluar masjid. Sehingga suaranya terdengar ke jarak yang jauh.
5. Syarat dan adab Muadzin.
Dalam kitab Fiqh sunnah kitab fiqh lainnya, disebutkan beberapa syarat dan adab bagi seorang muadzin, antara lain:
Pertama, Wajib Seorang Muslim.
Adzan adalah ibadah dan dzikir kepada Allah. Disyariatkan berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Karena itu, adzan hanya boleh dilakukan oleh seorang muslim. Tidak boleh dari seorang kafir. Dan tidak boleh dijadikan mainan atau sesuatu yang membuatnya terlecehkan.
Seperti yang dipakai sebagian muslim sebagai nada dering telepon genggam. Ini tidak boleh dan termasuk melecehkan adzan. Sebab, adzan adalah untuk di dengarkan dan dijawab. Sementara nada dering untuk dimatikan. Adzan untuk awal waktu shalat. Nada dering berbunyi kapan saja tidak menentu.
Kedua, Harus ikhlas karena Allah SWT.
Adzan adalah ibadah khusus. Karenanya seorang muadzin harus betul-betul ikhlah melaksanakannya. Tidak mengharapkan pujian, popularitas, ataupun upah dari adzannya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Utsman bin Abil ‘ash, Rasulullah SAW bersabda:
أَنْتَ إِمَامُهُمْ ، وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ ، وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا.
Artinya: “Engkau menjadi imam mereka (kaumnya), berpedomanlah kepada yang paling lemah dari mereka, dan ambillah seorang muadzin, dan dia tidak boleh mengambil upah dari adzannya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Ketiga, Suci dari najis, hadats besar dan kecil.
Ini berdasarkan hadits Muhajir bin Qanfaz bahwa Nabi SAW telah bersabda terkait menjawab salam, “Aku terhalang menjawabnya karena aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
Para ulama memandang makruh kalau muadzin melaksanakan adzan dalam kondisi tidak suci.
Keempat, Dilaksanakan berdiri dan menghadap kiblat.
Muadzin harus mengumandangkan adzan dalam posisi berdiri, dan menghadap kiblat. Karena hal ini adalah sunnah dari para muadzin Rasulullah SAW.
Kelima, Menggerakkan kepala dan leher ke kanan dan ke kiri.
Imam Nawawi menyatakan cara yang paling tepat saat mengumandangkan kalimat hayya ‘alash shalah adalah menengokkan kepala ke kanan. Dan ketika kalimat hayya ‘alal falah memutar ke arah kiri. Hal ini dahulu dilakukan oleh Bilal muadzin Rasulullah SAW.
Keenam, Mengeraskan dan Membaguskan suara.
Muadzin ketika adzan, baik di masjid atapun di tempat terbuka, disunnah untuk mengeraskan suaranya dan membaguskan bacaannya. Karena ia akan mendapat ampunan dosa dari Allah SWT sejauh suaranya terdengar.
Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat Abdullah bin Zaid: “Pergilah dan ajarkanlah apa yang kamu lihat (dalam mimpimu) kepada Bilal, sebab ia memiliki suara yang lebih bagus dari pada suaramu.” (HR Abu Daud).
Ketujuh, Mengetahui waktu shalat masuk.
Hendaknya seorang muadzin mengetahui kapan waktu shalat masuk. Sehingga ia bisa mengumandangkan adzan tepat pada awal waktu dan terhindar dari kesalahan. Apalagi kalau terkait adzan shubuh dan adzan magrib di saat bulan puasa. Karena akan menentukan waktu imsak dan berbuka, dan menjadi penentu sah atau tidaknya puasa kaum muslimin disekitar masjid tersebut.
6. Adab dan sikap orang yang mendengar adzan.
Bagi orang yang mendengar adzan sangat disunatkan melakukan beberapa hal:
Pertama, menjawab adzan.
Yaitu dengan cara mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan oleh muadzin. Apabila muadzin mengucapkan takbir, maka yang mendengar juga mengucapkan kalimat yang sama. Begitu juga untuk dua kalimat syahadat.
Adapun untuk seruan hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah (hai’alatain) maka jawabannya adalah kalimat: “Laa haula wa laa quwwata illa billah”.
Sedangkan jawaban kalimat tatswib pada adzan shubuh, yaitu seruan ashashlaatu khairum minan naum, adalah dengan mengucapkan kalimat yang sama. Tidak ada dalil yang menunjukkan kalimat yang lain. Berarti, kembali kepada landasan umum perkataan Rasulullah SAW:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
Artinya: “Apabila kalian memdengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang muadzin ucapkan.” (HR Muslim).
Imam Nawawi menjelaskan bahwa menjawab kalimat-kalimat adzan selain sunnah yang diperintahkan Rasulullah SAW, juga menunjukkan bahwa yang mendengar redha dan setuju dengan apa yang diucapkan oleh muadzin. Kecuali seruan hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah, itu hanya layak bagi muadzin saja. Sementara orang yang mendengar bergantung kepada Allah SWT agar dimudahkan memenuhi panggilan tersebut.
Kedua dan ketiga, Bershalawat kepada Nabi dan berdoa.
Setelah muadzin menuntaskan adzannya, maka orang yang mendengarkan adzan disunnahkan membaca shalawat untuk Nabi SAW, baru kemudian berdoa setelah adzan. Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Artinya: “Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat padanya (memberi ampunan padanya) sebanyak sepuluh kali. Kemudian mintalah wasilah pada Allah untukku. Karena wasilah itu adalah tempat di surga yang hanya diperuntukkan bagi hamba Allah, aku berharap akulah yang mendapatkannya. Siapa yang meminta untukku wasilah seperti itu, dialah yang berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim).
Adapun lafadz doa yang diajarkan Rasulullah SAW adalah yang sesuai dengan sabdanya: “Barang siapa yang mengucap doa (ini) setelah mendengar adzan maka ia berhak mendapat syafaatku pada hari kiamat:
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Ya Allah, Rabb pemilik dakwah yang sempurna ini (dakwah tauhid), shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang mulia). Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom (kedudukan) terpuji yang telah Engkau janjikan padanya.” (HR.Bukhari).
Dari hadits shahih yang lain, ada juga amalan sesudah mendengarkan azan yang jika diamalkan akan mendapatkan ampunan dari dosa. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ.
Artinya: “Siapa yang mengucapkan setelah mendengar azan: Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, radhitu billahi robbaa wa bi muhammadin rosulaa wa bil islami diinaa (artinya: aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, aku ridha sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agamaku), maka dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim).
7. Hikmah dan tujuan disyariatkan Adzan.
Adzan merupakan ciri dan identitas Islam. Adapun hikmah dan tujuan disyariatkan adzan antara lain:
a. Sebagai syiar Islam dan kalimat tauhid.
b. Memberitahu masuknya waktu shalat.
c. Memberitahu lokasi shalat.
d. Menyeru untuk shalat berjamaah.
e. Menandakan negeri itu adalah negeri Islam.
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ، وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَاناً أَمْسَكَ، وَإِلاَّ أَغَارَ،
Artinya: “Rasulullah SAW biasanya bila menyerang suatu kaum adalah di waktu fajar. Jika Beliau mendengar adzan di tempat itu, maka Beliau tidak jadi menyerangnya. Jika tidak ada terdengar adzan, maka Beliau akan menyerangnya.” (HR Bukhari).
Wallahu A’laa wa A’lam.
Bersambung…..