Oleh: Irsyad Syafar
Diantara etika dan adab seorang hamba atas musibah dan ujian yang menimpanya adalah sikap ridha atas keputusan Allah. Ridha adalah sikap menerima apa yang sudah ditaqdirkanNya terhadap hambaNya, tanpa ada penolakan, keluh kesah dan dan rasa sempit di dada. Taqdir itu disambut dengan penerimaan yang baik, nafas yang tenang, hati yang tenteram dan wajah yang tersenyum.
Sikap ridha merupakan tanda seorang hamba memang cinta kepada Allah. Sebab cinta itu tidak mungkin sejati bila tidak ada tanda dan buktinya. Salah satu buktinya itu adalah menerima keputusan “Sang Kekasih” dengan senang hati. Dari sanalah kemudian seorang hamba akan merasakan nikmatnya iman. Rasulullah Saw bersabda:
ذَاقَ طَعْمَ الإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً. (رواه مسلم).
Artinya: “Telah merasakan lazatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR Muslim).
Sebagai konsekwensi dari beriman kepada Rububiyahnya Allah adalah mengimani dan menerima kekuasaan Allah dalam mengatur seluruh makhluk di jagad raya ini. Sebagai ilustrasi, ketika kita pergi berobat kepada seorang dokter, maka kita menerima dan menyerah sepenuhnya untuk diperiksa oleh dokter tersebut. Kemudian kita menerima pula obat-obat yang dituliskannya sebagai resep penyembuhan kita. Karena kita percaya bahwa dokter itu lebih tahu dan lebih paham dari kita.
Bagi Allah segala perumpamaan yang lebih indah, sesungguhnya Dia jauh lebih tahu tentang diri kita karena Dia Maha Mengetahui dan Maha bijaksana. Maka hati kita jauh lebih tenang dan tenteram melebihi rasa tenang dan percaya kita kepada dokter tadi. Bila seseorang sudah sampai ke tingkat redha yang seperti ini, maka ia layak mendapat kemuliaan berupa ampunan dari Allah SWT. Rasulullah Saw bersabda:
مَن قال حينَ يَسمعُ المؤذِّنَ: أشهدُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ وحدَه لا شريكَ له، وأنَّ محمدًا عبدُه ورسولُه، رضيتُ باللهِ ربًّا، وبمحمَّدٍ رسولًا، وبالإسلامِ دِينًا؛ غُفِرَ له ذنبُه. (رواه مسلم).
Artinya: “Barang siapa yang berkata setelah mendengar muadzin (adzan): “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah yang satu saja, tidak ada sekutu bagiNya. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Saya ridha bahwa Allah sebagai Rabb,
dan Muhammad sebagai Rasul, dan Islam sebagai agama,” niscaya diampuni dosanya.” (HR Muslim).
Efek dari sikap ridha seorang hamba ini tidak hanya sebentar saja. Melainkan bisa berlaku panjang sampai pada hari kiamat, sehingga Allah meredhainya dan memasukannya ke surgaNya. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ قَالَ : رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا ، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا ، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا ، وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ. (رواه أبو داود).
Artinya: “Barang siapa yang mengatakan: Aku ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi, wajib baginya masuk surga.” (HR Abu Daud).
Tentunya ini bukan sekedar kata-kata dan ucapan belaka. Melainkan ucapan yang muncul dari dalam hati, diiringi dengan keyakinan yang kuat atas apa yang diucapkan. Bagi kita terdapat teladan yang baik pada diri Rasulullah Saw dalam etika yang mulia ini ketika menghadapi ujian (bala). Ketika itu Beliau diuji Allah dengan wafatnya anak kesayangannya Ibrahim. Beliau Saw bersedih dan menangis sebagai perasaan manusiawi seorang ayah. Para sahabat terheran atas sikap sedih Rasulullah ini. Sehingga mereka bertanya: “Engkau menangis, wahai Rasulullah?” beliau menjawab dengan pemahaman yang benar:
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَحَمْزُوْنُوْنَ. (رواه البخاري ومسلم).
Artinya: ”Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diridhai Tuhan kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bersedih karena berpisah denganmu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Ketika mendapat musibah, hati kita bersedih karena kita memang tidak sepenuhnya menguasai hati kita. Air mata kita akan berlinang karena beratnya ujian yang menimpa. Namun semua situasi ini tidak boleh membuat kita keluar dari adab dan etika kepada Allah SWT. Apalagi sampai menentang dan menolak keputusanNya, lalu melakukan tindakan dan perbuatan yang menimbulkan murka Allah. puncak yang bisa kita ungkapkan adalah perkataan: Innaalillahi wainnaa ilaihi raaji”un. Karena itulah kemudian Allah berikan redhaNya pada hari kiamat bagi orang yang redha dengan keputusanNya. Allah SWT berfirman:
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَمَسَٰكِنَ طَيِّبَةً فِى جَنَّٰتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ. (التوبة: 73).
Artinya: “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS At Taubah: 73).
Suatu hari Ali bin Abi Thalib menyaksikan ‘Ady bin Hatim dalam keadaan sedih dan duka yang sangat mendalam. Ali bertanya kepadanya: “Wahai ‘Ady, kenapa engkau kelihatan muram dan sangat bersedih?” ‘Ady menjawab: “Kenapa aku tidak boleh muram dan berduka? Anak-anakku telah terbunuh dan mataku telah buta.”
Maka Ali ra menasehatinya: “Wahai ‘Ady, barang siapa yang ridha dengan keputusan Allah, keputusan itu tetap akan berlaku, tapi dia akan mendapat pahala. Dan barang siapa yang tidak ridha terhadap keputusan Allah, maka keputusan itu juga tetap akan berlaku. Namun ia akan kehilangan pahala amal shalehnya.” (Kitab Mau’izhatul Mukminin).
Keputusan dan ketetapan Allah tidak akan bisa dihentikan dengan keluh-kesah kita ataupun redhanya kita. Itu akan terjadi takkan terhalangi. Namun kita dituntut untuk beradab dan sopan menghadapi kehendak Allah. Dan itu merupakan konsekwensi dari iman dan akal sehat kita. Wallahu Waliyyut taufiq.
(dari kitab Adabul Bala: Abdul Hamid Al Bilaliy)