Oleh: Irsyad Syafar

Ayah Nabi Muhammad bernama Abdullah. Ia adalah anak paling kesayangan Abdul Muththalib dari 10 orang anak-anaknya. Abdullah nyaris disembelih oleh Abdul Muththalib karena nadzarnya saat dimudahkan untuk mendapatkan sumur zamzam. Abdul Muththalib sudah menggiring Abdullah untuk disembelih di depan Ka’bah. Akan tetapi saudara-saudaranya dan paman-pamannya dari kaum Quraisy tidak mengizinkan hal itu.

Akhirnya atas saran seorang wanita tukang tenung, Abdullah diundi dengan 10 ekor unta. Setiap kali diundi selalu yang keluar nama Abdullah. Maka Abdul Muththalib menambahkan 10 ekor unta lagi di setiap undian. Sampai 10 kali barulah unta yang keluar dalam undian. Sehingga waktu itu Abdul Muththalib menyembelih 100 ekor unta sebagai pengganti menyembelih Abdullah.

Abdullah dinikahkan oleh ayahnya Abdul Muththalib dengan seorang wanita mulia dan terpandang dikalangan Quraisy. Wanita tersebut adalah Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf. Wahab ayahnya Aminah ini adalah pemimpin Bani Zuhrah waktu itu. Ia juga seorang lelaki terpandang dikalangan Quraisy.

Tidak lama setelah pernikahan ini, Abdullah berangkat bersama rombongan Quraisy menuju negeri Syam dalam sebuah perjalanan bisnis. Saat pulang dari negeri Syam, rombongan singgah di Madinah dan menginap di sana. Ketika mampir di Madinah ini Abdullah jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Ia dikuburkan di Madinah di kampung An Nabighah Al Ja’diy. Abdullah meninggal dunia dalam usia 25 tahun.

Sementara Aminah yang ditinggal di Makkah kondisinya dalam keadaan hamil. Ketika datang berita kematian suaminya di Madinah, Aminah sangat bersedih. Ia lantunkan puisi duka meratapi kepergian suaminya yang belum lama menikahinya. Abdullah meninggalkan warisan beberapa ekor unta dan domba serta seorang budak yang bernama Barakah, atau yang lebih dikenal dengan Ummu Aiman.

Selama mengandung Muhammad, Aminah tidak merasakan susah sedikitpun sampai ia melahirkan. Seolah-olah ia tidak mengalami kepayahan dan kesulitan sebagaimana yang biasa dialami seorang ibu dalam keadaan hamil. Aminah menceritakan tentang kelahiran anaknya yang mulia: “Ketika aku melahirkannya, keluar dari farajku cahaya yang menerangi istana kerajaan di negeri Syam.” (HR Ahmad).

Dalam riwayat lain Rasulullah Saw. menceritakan: “Ibuku menyaksikan ketika ia hamil, seolah-olah keluar dari perutnya cahaya yang menerangi istana-istana Bushra di negeri Syam.” (HR Ahmad). Ini merupakan isyarat dan pertanda yang mulia akan munculnya seorang manusia agung, Nabi dan Rasul Allah kepada seluruh alam. Risalah kenabiannya akan sampai ke negeri Syam tersebut dan kokoh di sana. Bahkan risalahnya akan menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Lahirlah bayi Muhammad sebagai seorang anak yatim, pada hari Senin tanggal 20 atau 21 April tahun 571 M, bertepatan dengan bulan Rabiul Awal. Para ulama berbeda pendapat tentang tanggalnya di bulan Rabiul Awal. Ayahnya sudah tiada saat ia masih dalam kandungan ibunya. Sang ibu sangat bahagia dengan kelahiran anaknya yang luar biasa ini. Terkait dengan kelahirannya pada hari Senin ini, Abu Qatadah al-Anshari ra. mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. ditanya tentang kebiasaan Beliau berpuasa sunat di hari Senin. Beliau menjawab:

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ. (رواه مسلم).
Artinya:“Itu adalah hari dimana aku dilahirkan dan hari aku diutus.” (HR. Muslim).

Bayi Muhammad segera dibawa kepada kakeknya Abdul Muththalib. Sang kakek bahagia penuh suka cita dengan cucunya ini. Apalagi ia mendengar keajaiban yang diceritakan oleh Aminah saat kelahiran cucunya ini. Abdul Muththalib membawa bayi tersebut masuk ke dalam Ka’bah dan bersyukur kepada Allah atas kelahirannya. Bayi itu diberi nama Muhammad, nama yang tidak populer ketika itu di negeri Arab. Sebagaimana kebiasaan bangsa Arab waktu itu, Nabi Muhammad dikhitan pada usia 7 tahun.

Bayi Muhammad disusukan oleh ibunya untuk pertama kalinya. Disamping itu, ada perempuan lain yang juga pernah menyusuinya. Diantaranya adalah Tsuwaibah maula Abu Lahab. Tsuwaibah ini sebelumnya juga pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib dan Abu Salamah bin Abdul Asad. Sehingga mereka berdua menjadi saudara sepersusuan dengan Nabi Muhammad.

Kelahiran Muhammad telah mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa bagi keluarga besar Abdul Muththalib. Kehadirannya seolah-olah menggantikan wafatnya anak laki-laki kesayangannya Abdullah. Dan kasih sayang Abdul Muththalib kepada cucunya ini semakin bertambah karena sang cucu lahir dalam keadaan yatim.

Sudah menjadi budaya juga di kalangan bangsawan Makkah waktu itu, bahwa anak-anak mereka yang baru lahir disusukan oleh wanita lain dari daerah perkampungan. Itu dilakukan dalam rangka menjaga kebersihan dan tumbuh kembangnya bayi di lingkungan yang lebih baik. Di waktu yang sama, ibu-ibu susuan yang datang dari perkampungan ini juga mendapat upah atas pekerjaan mereka menyusui tersebut. Sehingga itu telah menjadi profesi pula bagi mereka.

Tidak lama setelah lahirnya Muhammad, serombongan ibu-ibu susuan dari Bani Sa’ad datang memasuki kota Makkah. Mereka tentunya datang untuk mendapatkan pekerjaan sebagai ibu susuan. Di mana ada rumah yang mempunyai bayi, mereka datangi untuk menawarkan jasa mereka. Salah satu dari rombongan tersebut adalah Halimah yang datang bersama suami dan bayinya. Sebenarnya Halimah As Sa’diyah ini sudah mampir ke rumah Aminah melihat bayi Muhammad. Namun karena melihat bayi ini adalah anak yatim, Halimah agak ragu. Ia khawatir tidak akan mendapat upah yang layak.

Maka kemudian Halimah masih keliling di kota Makkah mencari bayi yang lain. Namun ketika saat rombongan sudah harus kembali ke kampung mereka, Halimah masih belum juga mendapat bayi susuan. Akhirnya ia dan suaminya kembali ke rumah Aminah dan bersedia menyusui bayi Muhammad. Halimah tidak ingin pulang dengan tangan hampa dan tidak mendapatkan pekerjaan. Sementara teman-temannya sudah mendapatkan pekerjaan semuanya. Maka berpindahlah bayi Muhammad dari pengasuhan ibunya ke pengasuhan ibu susuannya Halimah As Sa’diyah.

Bersambung…