Oleh: Ustadz H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
Kalau kita ingin dapat hidayah dan inspirasi dari seorang wanita mulia, Ummul Mukminin, ‘Aisyah ra, maka yang harus kita kenal adalah tentang kemuliaan dan keutamaannya. Bukan tentang romantisnya dia dengan Rasulullah SAW atau apalagi tentang fisik atau kecantikannya. Sebab, Rasulullah SAW sudah menegaskan standar kemuliaan itu bukan pada tampilan fisik, melainkan pada kesucian hati dan keunggulan amal. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim).
Maka, kemuliaan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra itu terletak pada iman dan kesuciannya, ilmu dan amal shalehnya, serta derjat mulia yang Allah SWT berikan kepadanya.
Diantara kemuliaan Beliau adalah:
Pertama, Allah SWT membebaskannya dari tuduhan bohong (haditsul ifki) yang menimpa dirinya, dalam bentuk ayat-ayat Al Quran yang turun khusus untuk itu, dan dibaca abadi sampai hari kiamat. Semua Allah tuangkan dalam surah An-Nuur ayat 11-20.
Ayat-ayat tersebut selalu dan akan terus dibaca oleh para imam dalam shalat dan jutaan penghafal Al Quran di seluruh dunia. Ayat-ayat itu juga memposisikan Ibunda ‘Aisyah ra temasuk orang baik, dijanjikan ampunan dan rezeki yang baik. Allah juga menjelaskan bahwa berita bohong yang menimpanya adalah baik baginya dan bukan merendahkannya. Bahkan Allah mengangkat derajatnya pada derajat yang sangat tinggi.
Kedua, ‘Aisyah adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Al-‘Ash, ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:
أَىُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ « عَائِشَةُ » . فَقُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ فَقَالَ « أَبُوهَا.
Artinya: “Siapa orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah”. Ditanya lagi, “Kalau dari laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya (yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Posisi sebagai orang yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW adalah sebuah penghormatan. Sebab itu menjadi jaminan bagi Ibunda ‘Aisyah bahwa dia akan bersama Rasulullah SAW di surga kelak. Sesuai dengan janji Beliau dalam haditsnya: “Seseorang akan bersama orang yang dicintainya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Ketiga, Syariat tayamum sebagai pengganti wudhuk, turun lantaran ‘Aisyah ra. Yaitu saat bepergian dengan Rasulullah SAW, kalung Aisyah yang dipinjam dari Asma’ hilang. Rasulullah SAW lantas mengutus beberapa orang mencarinya. Lalu ditemukanlah kalung tersebut. Kemudian masuk waktu shalat, sementara tidak ada air bersama mereka. Maka mereka pun shalat tanpa berwudhuk.
Kemudian mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah SAW. Maka Allah SWT menurunkan ayat tentang tayammum. Sehingga Usaid bin Hudhair pernah berkata kepada ‘Aisyah:
جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا ، فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلاَّ جَعَلَ اللَّهُ ذَلِكِ لَكِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا
Artinya: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Demi Allah, tidaklah menimpamu sesuatu yang engkau benci melainkan Allah menjadikan padanya kebaikan bagimu dan bagi kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keempat, Ibunda ‘Aisyah ra adalah salah seorang sahabat yang paling Faqih (ahli hukum). Sehingga Ia seringkali menjadi rujukan dan tempat bertanya bagi banyak sahabat. Hal ini karena ‘Aisyah ra sangat sering berada disisi Rasulullah SAW. Sehingga Ia mendapatkan ilmu langsung dari sumber pertama. Wajar kemudian dalam masalah yang sulit, para sahabat meminta fatwa kepada ‘Aisyah ra.
Kelima, Tatkala istri-istri Nabi SAW diberi pilihan untuk tetap bersama Nabi dengan kehidupan apa adanya, atau diceraikan lalu akan mendapatkan ganti dunia yang lebih baik. Maka ‘Aisyah ra adalah orang pertama yang menyatakan tetap ingin bersama Nabi SAW, bagaimana pun kondisi Beliau. Itulah yang dinyatakan dalam FirmanNya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28) وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآَخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا
(29)
Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah (suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami, pen.) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 28-29).
Rasulullah SAW ketika itu mengatakan, “Aku benar-benar ingatkan padamu. Janganlah engkau terburu-buru sampai engkau meminta izin kepada orang tuamu.” ‘Aisyah ra berkata, “Tentu kedua orang tuaku tidak menginginkanku cerai.”
Bahkan ‘Aisyah ra menegaskan:
فَفِى أَىِّ هَذَا أَسْتَأْمِرُ أَبَوَىَّ فَإِنِّى أُرِيدُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ
Artinya: “Apakah dalam masalah ini saya harus meminta izin orang tua, karena saya menginginkan Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat?”
Akhirnya, ‘Aisyah menjadi contoh bagi istri-istrinya yang lain, mereka akhirnya berkata sebagaimana ‘Aisyah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keenam, ‘Aisyah ra adalah salah satu wanita termulia di dunia bersama wanita-wanita mulia lainnya seperti Maryam, Asiyah (istri Firaun), Khadijah dan Fathimah binti Muhammad SAW. Bahkan Rasulullah SAW pernah menyatakan ‘Aisyah ra lebih mulia:
كمل من الرجال كثير ولم يكمل من النساء غير مريم بنت عمران وآسية امرأة فرعون وإن فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام.
Artinya: “Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imran dan Asiyah istri Fir’aun, dan keutamaan ‘Aisyah atas semua wanita seperti keutamaan tsarid atas segala makanan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tsarid adalah makanan terbaik bangsa arab dibanding makanan-makanan yang lain. Jelas sekali hadits ini menjadikan ‘Aisyah ra sangat terhormat dan mulia.
Ketujuh, Ibunda ‘Aisyah ra adalah wanita yang sangat terjaga. Jauh dari dosa, kemaksiatan dan bahkan pergaulan dengan orang lain. Saat orang-orang sekota Madinah sudah ribut menggunjingkan tuduhan bohong kaum munafiqin terhadapnya, Beliau malah tidak tahu sama sekali gunjingan-gunjingan itu. Kalaulah pembantu Beliau tidak keceplosan di depan Beliau saat menemaninya, takkan pernah tahu Beliau bahwa orang-orang menggunjingkannya. Begitulah saking terpeliharanya kehormatan Beliau dan terhijabnya Beliau dari dunia lelaki.
Dan para sahabat kalau datang berkonsultasi dalam urusan agama kepada Beliau, atau meminta sesuatu kepadanya, maka mereka bertanya dan memintanya dari balik hijab. Tidak langsung berhadapan apalagi bertatapan. Dan itu berlaku untuk semua istri Rasulullah SAW. Allah SWT menyebutkan dalam firmanNya:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ.
Artinya: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS Al Ahzab: 53).
Banyak lagi kemuliaan Ibunda ‘Aisyah ra, yang kesemuanya menunjukkan keunggulan Beliau dalam iman, taqwa, ilmu, ‘iffah, zuhud, kepatuhan dan loyalitas kepada Allah dan RasulNya. Dan itu semua sangat layak sebagai sumber hidayah dan inspirasi.
Adapun menggambarkan ‘Aisyah ra dalam hal romantisnya dengan suaminya (Rasulullah SAW), apalagi menyebutkan unsur fisik yang memang wanita sering kali dieksploitasi dari sisi ini, sama sekali takkan menjadi sumber hidayah. Wanita yang tak berkulit putih, dan tak berpipi merah bisa putus asa untuk menjadi wanita mulia.
Apalagi kalau semua itu diekspresikan oleh wanita-wanita cantik yang genit, hanya akan memporak-porandakan iman di dada para lelaki. Bahkan bisa-bisa membubarkan rumah tangga yang sudah ada. Dikarenakan yang dirumah tidak seperti fisik yang dinyanyikan dan menyanyikan…
Hadaanallahu wa iyyaakum ajma’in.