Oleh: Irsyad Syafar

Perbedaaan pendapat dikalangan umat Islam adalah suatu yang tidak bisa dihindarkan. Generasi terbaik umat ini selevel para sahabat, juga berbeda pendapat. Padahal Baginda Nabi Saw masih hidup dan berada di tengah-tengah mereka. Apalagi pasca wafatnya Beliau, potensi perbedaan pendapat itu semakin meningkat. Apalagi bagi generasi-generasi setelah mereka. Tidak ada jaminan untuk terbebas dari perbedaan pendapat.

Disamping itu, rujukan ajaran Islam yang utama yaitu Al Quran dan Sunnah juga memiliki ruang potensi untuk berbeda pendapat. Hal itu karena luasnya kandungan sebuah dalil dan beragamnya pendapat ulama dalam menjelaskan dalil tersebut. Satu ayat tentang masa iddah seorang wanita yang dicerai suaminya bisa menimbulkan dua kesimpulan hukum. Yaitu antara 3 kali suci atau 3 kali haid. Apalagi ketika dalil itu lebih dari satu. Potensi berbeda pendapat itu semakin ada.

Karenanya umat mesti hati-hati dan menahan diri dalam berbeda (berselisih) pendapat. Janganlah larut dalam berselisih dan berbantah-bantahan. Sebab akibat dari itu adalah kerugian bagi umat Islam sendiri. Baik kerugian di dunia, apalagi kerugian di akhirat. Baik kerugian secara individu ataupun secara kolektif. Allah Swt berfirman:

وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُوا۟ فَتَفْشَلُوا۟ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ. (الأنفال: 46).

Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al Anfal: 46).

Dalam ayat ini Allah Swt menggabungkan antara berbantah-bantahan (berselisih pendapat) dengan kegagagan dan kelemahan umat. Penggabungan dua hal ini berulang sebanyak 3 kali dalam Al Quran. Pertama pada surat Ali Imran: 152, kedua pada surat Al Anfal: 43 dan ketiga ayat kita di atas. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini merupakan hubungan sebab akibat. Artinya, bila umat ini banyak berselisih pendapat, maka mereka akan mengalami kegagalan dan kehilangan kekuatan.

Ibnu Jarir Ath Thabary menjelaskan ayat tersebut dan berkata: “Janganlah kalian berselisih karena kalian akan berpecah-belah, dan hati kalian akan saling bertikai. Dan kalian akan gagal, kalian akan melemah dan menjadi gentar. Dan kemudian kekuatan kalian akan hilang.” Ibnu Katsir menyatakan: “Dan janganlah mereka saling berbantahan di antara sesama mereka yang akibatnya akan mencerai-beraikan persatuan mereka, sehingga mereka akan dikalahkan dan mengalami kegagalan. “Dan hilang kekuatan kalian. (Al-Anfal: 46) Artinya, kekuatan dan persatuan kalian akan hilang, keberanian kalian akan menyurut pudar.”

Maka ayat ini telah menjadi kaedah umum dan kesimpulan yang pasti. Bahwa perselisihan di kalangan umat pasti akan menyebabkan kekalahan, kegagalan dan kelemahan umat. Kaedah ini tidak akan berubah kecuali kalau sunnatullah di dunia sudah berubah pula. Karena itu Allah Swt melarang (mengharamkan) perselisihan dan berbantah-bantahan. Dan konsekwensi dari sebuah larangan adalah diperintahkannya lawannya, yaitu bersatu dan saling memahami (tafaahum).

Perselisihan akan berakibat kelemahan dan kegagalan adalah karena ia menimbulkan kebencian dan permusuhan antara sesama kaum muslimin. Lalu menimbulkan perpecahan, karena masing-masing akan mempunyai pendukung (supporter). Kemudian akan hilanglah keakraban, kedekatan dan apalagi rasa saling menolong (ta’awun). Lihatlah yang terjadi kalau sudah berbantah-bantahan, kalimat dan tulisan yang muncul lebih dekat kepada kebencian dari pada persaudaraan.

Dan setelah itu masing-masing (apalagi para supporter) akan saling intai, menanti-nanti kesalahan lawannya, atau mungkin mencari-carinya. Bahkan bisa juga disusupi oleh pihak-pihak ketiga yang “berkepentingan”. Sehingga perselisihan kecil bisa menjadi besar, dan yang sudah besar bisa semakin tajam dan parah. Akibatnya umat semakin terkotak-kotak tidak bisa dikonsolidasikan, dan disibukkan dengan agenda yang tidak penting, memusuhi yang seharusnya menjadi teman, dan berteman dengan yang seharusnya menjadi musuh.

Mungkin akan ada yang berdalih bahwa ini adalah perdebatan ilmiah. Dan perdebatan ilmiah dibolehkan dalam Islam. Kita katakan, iya betul berdebat secara ilmiah itu boleh. Tapi lakukanlah dalam ruang-ruang ilmiah juga. Yang para pendengarnya terbatas, yaitu yang punya kemampuan untuk memahami dan mengerti apa yang diperdebatkan. Bukan di depan publik yang kemudian masing-masing supporter akan bersorak-sorai mendukung “idolanya”, lalu mengklaim “kemenangan” sendiri-sendiri. Padahal publik tidak punya kapasitas dan kemampuan untuk menilai dan menghakimi.

Disamping kerugian dunia bagi umat berupa kelemahan, perpecahan dan rasa gentar terhadap musuh, perselisihan pendapat juga akan menghilangkan peluang untuk mendapatkan surga yang mulia. Beliau memberikan arahan, kalaupun kita merasa benar, sebaiknya menghindari perdebatan dan berbantahan. Nabi Muhammad Saw bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ. (رواه أبو داود).

Artinya: “Aku menjamin sebuah rumah di pinggir surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran (al haq), juga sebuah rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan berbohong walaupun ia sedang bercanda, serta sebuah rumah di puncak surga bagi siapa saja yang berakhlak mulia.” (HR. Abu Daud, No. 4800)

Perdebatan hanya akan menimbulkan amarah, menyebabkan dengki yang merupakan salah satu penyakit hati, serta menimbulkan celaan terhadap orang lain. Sebaiknya kita meninggalkan debat dan bersikap mengalah meskipun kita ada di pihak yang benar. Kelamaan berdebat dan berbantah-bantahanan, kita akan kehilangan rumah di surga. Dan kita akan kehilangan banyak waktu untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah Swt. Kemudian hubungan kita dengan sesama kaum muslimin juga tidak menjadi baik.

Apalagi saat ini umat perlu kesejukan dan suasana yang kondusif. Berbagai faktor dan peristiwa telah memporak-porandakan barisan kaum muslimin. Kebesaran hati dan jiwa para da’I akan menjadi jalan keluar dari posisi dan kondisi yang tidak ideal ini. Hal ini telah dicontohkan oleh Sahabat Ibnu Mas’ud, yang tetap shalat berjamaah di belakang Utsman 4 rakaat di Mina. Padahal dia sendiri berpendapat harusnya 2 rakaat saja (qashar). Sebab Beliau mengatakan: “Berselisih itu buruk, berselisih itu buruk, berselisih itu buruk.”

Imam Syafi’I juga pernah tidak berqunut ketika Beliau shalat shubuh di masjid Imam Hanafi yang tidak jauh dari kuburan Imam Abu Hanifah. Hal itu Beliau lakukan karena menjaga adab, dimana Abu Hanifah berpendapat tidak qunut pada shalat shubuh. Imam Ahmad juga tetap shalat di belakang imam yang lagi mimisan. Padahal Beliau berpendapat mimisan itu membatalkan wudhu. Akan tetapi Beliau juga tahu bahwa ada Ulama yang lebih senior yang menyatakan mimisan tidak membatalkan wudhu, semisal Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Sa’id bin Musayyab, Malik dan Syafi’i.

Apalah artinya menang berdebat dan berhasil mengalahkan argument orang lain. Kalau kemudian hati menjadi rusak, ukhuwwah menjadi lemah dan umat berpecah belah. Lebih baik sibuk meningkatkan amalan dan terus merawat hati untuk pertemuan abadi dengan Allah Swt. Wallahu A’laa wa A’lam.