Allah Swt menurunkan syariat-Nya adalah untuk diamalkan dan dilaksanakan. Bukan sekedar untuk dibicarakan, didiskusikan atau apalagi hanya sebatas kenikmatan ilmiah belaka. Karena itu, Allah Swt mengutus seorang Rasul untuk mencontohkannya kepada manusia. Makanya, Rasul itu juga seorang manusia, bukan Malaikat. Agar tidak ada manusia yang nanti “ngeles” bila tidak melaksanakan ajaran Allah. “Saya gak malaikat, maka saya gak mampu seperti dia.”
Begitulah manusia, sangat membutuhkan contoh (qudwah) dalam beragama. Agar ada pedoman aplikatif yang nyata dalam kehidupan. Bukan sekedar teori di dalam pikiran. Kalau tidak ada qudwah, manusia akan semakin jahil. Dan mereka bisa berbuat seenaknya saja.
Dalam kontek dakwah, qudwah (keteladanan) adalah cara berdakwah yang paling utama dan paling ampuh. Merubah perilaku orang lain, lebih efektif dengan qudwah dibanding dengan ceramah. Satu perbuatan akan lebih berkesan dari pada seribu ucapan.
Karena itu, tugas sebagai da’i di jalan Allah adalah tugas yang mulia sekaligus amanah yang berat. Sebab, seorang da’i harus menjadi teladan bagi para mad’unya. Ia mesti menjadi cerminan dari apa yang ia dakwahkan. Ia menjadi cahaya dikala gelap gulita, dan menjadi pedoman bila ada yang tersesat jalan.
Tidak ada artinya dakwah untuk berkata jujur kalau yang mengajaknya suka berdusta. Tak ada maknanya seruan untuk bersikap adil bila yang menyeru sering berbuat zhalim. Dan tak bernilai himbauan untuk hidup sederhana bila yang mengimbau bergelimang kemewahan.
Sehingga dalam perjalanan dakwah banyak “rambu-rambu” yang diajarkan oleh ulama dan para da’i yang telah berpengalaman. “Bagaimana mungkin bayangan akan lurus, kalau tiangnya bengkok”. “Orang yang tidak punya apa-apa tidak akan memberikan apa-apa”. Dan “orang yang bicara tidak sama dengan orang yang berbuat”.
Inilah kunci kesuksesan dakwah Rasulullah Saw. Sebab, Beliau menjadi uswah dan qudwah dalam berbagai hal. Sebagai ayah, sebagai suami, sebagai saudara dan kerabat, sebagai pemimpin dan panglima. Sehingga Ummul Mukminin Aisyah ra. menyatakan tentang akhlak Rasulullah: “Akhlak Beliau itu adalah Al Quran.”
Beratlah tugas para da’i, menjadi teladan dalam dakwahnya. Ancaman dunia dan akhirat menantinya, bila ia tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya. Allah Swt berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ.
Artinya: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS Al Baqarah: 44).
Allah Swt juga berfirman:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS Ash Shaff: 3).
Rasulullah Saw juga menggambarkan betapa nestapanya nasib orang yang bertentangan antara apa yang dia dakwahkan dengan apa yang dia perbuat. Dari Abu Zaid Usaman bin Zaid bin Haritsah ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah bersabda:
يُجَاءُ بِرَجُلٍ فَيُطْرَحُ فِي النَّارِ إِلَّا أَنَّهُ زَادَ فِيهِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَطْحَنُ فِيهَا كَطَحْنِ الْحِمَارِ بِرَحَاهُ فَيُطِيفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ.
“Seseorang didatangkan pada hari kiamat kemudian dilemparkan ke dalam neraka hingga ususnya terburai keluar; dan (ia) berputar-putar di neraka layaknya keledai mengitari alat penumbuk gandum. Kemudian penduduk neraka mendekatinya.
فَيَقُولُونَ يَا فُلَانُ أَلَسْتَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ
Maka mereka berkata: Hai Fulan! Bukankah dulu engkau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran?
فَيَقُولُ إِنِّي كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا أَفْعَلُهُ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَأَفْعَلُهُ.
Ia menjawab: “Benar, dulu aku memerintahkan kebaikan namun tidak kulakukan dan mencegah kemungkaran namun aku melakukannya.”
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Ibnu Jarir Ath Thabary menceritakan bahwa Umar bin Khattab, bila akan naik mimbar untuk menyuruh atau melarang rakyatnya tentang sesuatu, maka ia terlebih dulu mengumpulkan anak-anaknya. Lalu ia berkata: “Aku akan melarang manusia untuk ini dan itu. Dan mereka akan melihat kalian terlebih dahulu. Demi Allah, tidaklah aku temukan salah seorang kalian melakukan apa yang aku larang, melainkan akan aku lipatgandakan hukumannya!”
Imam Syafi’i memberi arahan kepada murabbi (pengasuh) anak-anak Khalifah Harun Ar Rasyid: “Hendaklah yang paling pertama engkau lakukan dalam memperbaiki anak-anak Khalifah, adalah memperbaiki dirimu sendiri. Sebab, di mata mereka yang baik itu adalah yang kamu anggap baik. Dan yang buruk itu adalah yang kamu tinggalkan.” Perhatikan kata-kata Imam Syafi’i, “yang engkau tinggalkan” bukan “yang engkau anggap buruk”.
Disitulah tinggi dan pentingnya qudwah dalam berdakwah. Wallahu Waliyyut taufiq.