Sipp FM- Musa as baru saja diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul. Ketika itu ia berada di lembah yang suci lagi berkah disamping kanan bukit Thursina. Allah berbicara langsung dengannya tanpa perantara. Sehingga Musa as digelari sebagai Kalimullah. Artinya orang yang diajak bicara langsung oleh Allah.
Begitu resmi menjadi Nabi dan Rasul, Musa as langsung mendapat tugas dari Allah. Tugasnya teramat berat dan sangat menantang lagi beresiko. Tugas itu adalah mendatangi Firaun dan mendakwahinya. Allah berfirman:
وَإِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (10) قَوْمَ فِرْعَوْنَ أَلَا يَتَّقُونَ (11).
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan Firman-Nya), “Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir’aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?” (QS Asy Syu’ara: 10-11).
Ini memang tugas dan misi yang sangat berat bagi Musa as. Ia harus mendatangi Firaun dan kaumnya, dan juga ia harus mengajak mereka untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah. Misi yang pertama saja sudah menjadi beban. Apalagi misi yang kedua.
Nabi Musa punya alasan kenapa misi itu sangat berat. Baik misi pertama maupun misi yang kedua. Namun, ia lebih dahulu mengemukakan alasan untuk misi kedua. Ia khawatir misi itu tidak berhasil. Sebab, ia memiliki kelemahan dalam berkomunikasi. Karena ada kekakuan pada lidahnya. Sehingga ia kurang fasih berbicara. Jangan-jangan ia dan dakwahnya malah ditolak dan didustai. Disamping itu ia juga akan cepat emosi bila dakwahnya didustai. Allah berfirman menyebutkan alasan Nabi Musa:
قَالَ رَبِّ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ (12) وَيَضِيقُ صَدْرِي وَلَا يَنْطَلِقُ لِسَانِي…
Artinya: “Berkata Musa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku…”. (QS Asy Syu’ara: 12-13).
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat di atas bukanlah berarti Nabi Musa menolak menjadi Rasul dan menolak untuk berdakwah. Akan tetapi, ia mengadu kepada Allah agar kelemahannya tersebut ditutupi oleh Allah. Agar kemudian ia bisa lancar berdakwah. Semakna dengan ayat ini, firman Allah di surat lain:
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي * وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي * وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي * يَفْقَهُوا قَوْلِي *.
Artinya: “berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS Thaha: 25-28).
Nabi Musa juga meminta kepada Allah agar ia dibantu dalam berdakwah oleh satu orang lagi. Yaitu saudara kandungnya sendiri. Ia meminta supaya Harun juga menjadi Nabi (didatangi Jibril). Sehingga ia merasa terbantu dan bertambah kuat. Musa berkata: “Utus jugalah (Jibril) kepada Harun.” Dalam surat yang lain, permintaan Musa as lebih rinci:
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي * هَارُونَ أَخِي * اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي * وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي * كَيْ نُسَبِّحَكَ كَثِيرًا * وَنَذْكُرَكَ كَثِيرًا * إِنَّكَ كُنْتَ بِنَا بَصِيرًا.
Artinya: “dan Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan Dia kekuatanku, dan jadikankanlah Dia sekutu dalam urusanku, supaya Kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha melihat (keadaan) kami.” (QS Thaha: 29-35).
Semua kendala yang dirasakan oleh Nabi Musa untuk keberhasilan misi kedua, Beliau sampaikan kepada Allah, agar mendapatkan solusi dan penguatan dariNya. Maka Allah mengabulkan semua permintaannya:
قَالَ قَدْ أُوتِيتَ سُؤْلَكَ يَا مُوسَى.
Artinya: “Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, Hai Musa.” (QS Thaha: 36).
Namun, masih ada satu kendala lagi terkait misi pertama mendatangi Firaun dan kaumnya. Bagaimana mungkin datang menemui Firaun dan kaumnya, sementara Musa as punya kesalahan masa lalu telah membunuh seorang Qibti pengikut Firaun. Justru ia lari dari mesir 10 tahun sebelumnya untuk menghindari kejaran pasukan Firaun. Nah sekarang datang kepada mereka, bisa-bisa malah akan dibunuh oleh mereka. Musa berkata dalam firman Allah:
وَلَهُمْ عَلَيَّ ذَنْبٌ فَأَخَافُ أَنْ يَقْتُلُونِ (14).
Artinya: “Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.” (QS Asy Syu’ara: 14).
Kekhawatiran kedua Nabi Musa as ini juga ditepis oleh Allah. Allah berfirman, “Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat) sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan).
Allah memastikan kebersamaanNya dengan Musa dan Harun dalam mengemban misi ini. Kebersamaan dalam makna yang lebih khusus, yaitu berupa pertolonganNya, dukunganNya dan penjagaan dariNya. Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ وَنَجْعَلُ لَكُمَا سُلْطَانًا فَلَا يَصِلُونَ إِلَيْكُمَا بِآيَاتِنَا أَنْتُمَا وَمَنِ اتَّبَعَكُمَا الْغَالِبُونَ.
Artinya: “Allah berfirman, “Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang.” (QS Al-Qashas: 35).
Maka dengan penuh keyakinan Nabi Musa as berangkat menuju Firaun dan kaumnya, membawa dakwah tauhid. Musa as menyampaikan kepada Firaun bahwa dirinya dan Harun sekarang telah menjadi utusan Allah. Maka percaya dan berimanlah kepadanya. Dan bebaskanlah Bani Israil (kaum Nabi Musa) dari perbudakan dan penindasan kaum Firaun. Dan biarkan mereka mengikuti Nabi dan Rasul mereka.
Apa yang diprediksi semula oleh Musa as, terbukti. Firaun menyambutnya dengan sinis dan penuh kesombongan. Ia berpaling dan tidak mengindahkan seruan Musa as. Malah kemudian ia menyebut jasa-jasanya kepada Musa as semenjak kecil. Allah berfirman:
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ (18) وَفَعَلْتَ فَعْلَتَكَ الَّتِي فَعَلْتَ وَأَنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ (19).
Artinya: “Fir’aun menjawab, ‘Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih anak-anak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas budi.” (QS Asy Syu’ara: 18-19).
Maksudnya, bukankah kamu orang yang pernah kami asuh di rumah kami dan di atas pelaminan kami? serta kami buat kamu hidup senang selama beberapa tahun? Tetapi setelah itu, kamu balas kebaikan tersebut dengan perbuatanmu tercela; yaitu kamu telah membunuh seseorang dari kami dan mengingkari kesenangan yang pernah kuberikan kepadamu. Karena itulah Fir’aun mengatakan, “Kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas budi.”
Sangat berat memang kalimat-kalimat Firaun ini. Sebagai seorang yang pernah “makan jasa”, tentu Nabi Musa sangat menyadarinya. Tapi, itu semua adalah masa lalu sebelum ia menjadi Nabi dan Rasul. Dan semua fasilitas dari Firaun itu pada hakekatnya adalah nikmat Allah juga.
Sekarang urusannya sudah lain. Musa sudah menjadi Rasul. Kalau Firaun mau beriman, maka ia akan selamat. Kalau tidak, ia akan binasa dan celaka. Dan jasanya kepada seorang bayi Musa sampai remaja tidaklah sebanding dengan kejahatan dan kekejamannya terhadap seluruh Bani Israil (kaum Musa). Seluruh penderitaan Bani Israil, bertahun-tahun dalam perbudakan Firaun adalah untuk kesenangan Firaun dan kaumnya. Musa berkata kepada Firaun dalam firman Allah:
وَتِلْكَ نِعْمَةٌ تَمُنُّهَا عَلَيَّ أَنْ عَبَّدْتَ بَنِي إِسْرَائِيلَ
Artinya: “Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil. (Asy-Syu’ara’: 22).
Artinya, jasamu mengasuhku adalah imbalan dari kamu menyiksa dan memperbudak Bani Israil. Dan itupun sangatlah tidak seimbang.
Firaun tidak berkutik mendebat Nabi Musa as. Sehingga ia beralih kepada tema lain. Ia bertanya kepada Musa as, “Siapa Tuhan semesta alam itu?”. Pertanyaan ini jelas terkait dengan eksistensi dirinya. Sebab ia sudah deklarasi kepada seluruh kaumnya bahwa, “Aku tidak mengetahui tuhan bagi kalian selain aku.” Artinya hanya dirinya yang tuhan. Lalu, Tuhan Musa ini siapa?
Nabi Musa as memberi jawaban yang sangat tegas:
قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (24).
Artinya: “Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi, dan apa-apa yang di antara keduanya (itulah Tuhan kalian), jika kalian (orang-orang) mempercayai-Nya.” (QS Asy Syu’ara: 24).
Firaun tidak mempedulikan jawaban Nabi Musa. Ia terus berciloteh kepada pembesar-pembesar kerajaan yang ada disekitarnya. Ia lecehkan jawaban-jawaban Nabi Musa as. Bahkan ia nyatakan di depan publik bahwa Musa itu telah gila. Namun, Beliau tidak peduli dengan respon Firaun yang melecehkannya. Musa as terus menjelaskan bahwa Tuhannya adalah Tuhannya seluruh nenek moyang Firaun. Tuhan yang menguasai seluruh bumi timur dan barat. Allah berfirman:
قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلَا تَسْتَمِعُونَ (25) قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ (26) قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ (27) قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (28).
Artinya: “Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kalian tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula), “Tuhan kalian dan Tuhan nenek moyang kalian yang dahulu.” Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Rasul kalian yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila.” Musa berkata, “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya (itulah Tuhan kalian) jika kalian mempergunakan akal.” (QS Asy Syu’ara: 25-28).
Ketika sudah merasa kalah berdebat melawan Nabi Musa, dan Firaun sudah kehabisan argumen dan alasan untuk membantahnya, maka Firaun mengambil jalan pintas. Yaitu jalan kekuasaan dan kekuatan. Ia beralih mengancam Musa as dengan penjara. Dan ini adalah logika diktator sepanjang masa. Karena diktator tidak siap beradu argumen dan dalil. Bagi mereka hanya ada bahasa kekuasaan dan senjata. Allah berfirman:
قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ (29).
Artinya: “Fir’aun berkata, “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (QS Asy Syu’ara: 29).
Jelas ini sudah sebuah ancaman. Tidak lagi dialog yang sehat dengan akal dan pikiran yang jernih. Namun Nabi Musa masih berusaha untuk menambah argumen lagi. Yaitu dengan menunjukkan bukti-bukti kebenaran bahwa ia adalah seorang Nabi dan Rasul. Maka ia perlihatkanlah mukjizatnya dihadapan Firaun dan para pembesarnya. Allah berfirman:
فَأَلْقَى عَصَاهُ فَإِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُبِينٌ (32) وَنَزَعَ يَدَهُ فَإِذَا هِيَ بَيْضَاءُ لِلنَّاظِرِينَ (33).
Artinya: “Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Dan ia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.” (QS Asy Syu’ara: 32).
Dua mukjizat sekaligus ditampilkan Nabi Musa dihadapan mereka. Yaitu tongkat berubah menjadi ular besar dan tangannya yang mengeluarkan cahaya putih yang terang benderang.
Karena kesombongan dan keangkuhannya, Firaun bukannya beriman melihat bukti-bukti kerasulan dan kenabian Musa. Malah ia semakin membangkan dan menuduh itu semua hanyalah sihir. Persis seperti perangai dirinya dan orang-orang dekatnya yang sangat suka bermain sihir.
Tidak cukup dengan melontarkan tuduhan sebagai tukang sihir kepada Musa, Firaun juga melakukan provokasi kepada para pakar dan tukang sihir yang ada disekitarnya. “Kalian akan terusir gara-gara tukang sihir yang baru ini. Eksistensi kalian terancam dengan keberadaannya”. Ini hasutan yang sangat provokatif. Targetnya adalah tukang sihir itu akan terdorong untuk mengeroyok Musa, sehingga Firaun tak perlu bersusah-susah menghabisinya.
Dan memang terbukti provokasi Firaun ini berhasil. Para tukang sihir menjadi terusik dan tertantang. Mereka meminta ditangguhkan untuk mengumpulkan seluruh pakar sihir dalam sebuah acara besar adu sihir didepan khalayak ramai.
Pelajaran dari kisah ini:
1. Selalu saja awal kenabian adalah saat yang sangat sulit bagi seorang Nabi dan Rasul. Imannya kepada Allah baru tumbuh, sementara tantangan yang segera akan dihadapi begitu berat. Namun keimanan para Nabi dan Rasul selalu dalam kondisi naik, seiring perjalanan dakwahnya bersama pertolongan Allah.
2. Dialog dan adu argumen adalah pilihan utama dan pertama dalam dakwah para Nabi dan Rasul. Begitu juga yang dilakukan para sahabat Nabi. Karena pada prinsipnya ajaran Allah akan sejalan dengan akal pikiran yang bersih dan jernih.
3. Para pembangkang dan orang-orang sombong berpotensi sulit untuk mendapat hidayah. Sebab, mereka seringkali butuh mukjizat (kejadian luar biasa) untuk bisa beriman. Sementara, mukjizat itu tidak selalu ada. Dengan berakhirnya kenabian, berakhir pulalah mukjizat.
4. Para penguasa diktator selalu tidak siap berdialog dengan rakyatnya. Mereka cendrung lebih mengedepankan kekuasaan dan kekerasan dalam memaksakan kehendaknya. Dan kediktatoran adalah ciri keterbelakangan.
5. Dalam sejarah perjuangan para Nabi dan Rasul, mereka selalu berhadapan dengan hasutan, fitnah dan provokasi. Musa dituduh membuat kerusakan di muka bumi, dan Muhammad dituduh menyesatkan orang lain. Padahal kenyataannya adalah sebaliknya.
Wallahu A’laa wa A’lam.
Oleh: Irsyad Syafar