Sipp FM-   Ini adalah kisah fitnah keji dan kebohongan besar yang telah menimpa ‘Aisyah Ummul Mukminin, istri Rasulullah saw. Fitnah ini dimulai oleh seorang gembong kaum munafiq, Abdullah bin Ubay bin Salul. Mari kita simak cerita langsung ibunda ‘Aisyah tentang awal mula fitnah keji yang menimpa dirinya.

“Aku ikut bersama Nabi saw. dalam suatu peperangan, yaitu sesudah diturunkannya ayat mengenai hijab bagi kaum wanita. Setelah Nabi saw. menunaikan tugasnya, lalu ia kembali dan kota Madinah sudah dekat.

Pada suatu malam setelah istirahat Nabi saw. menyerukan supaya rombongan melanjutkan perjalanan kembali. Aku pergi dari rombongan untuk membuang hajat besarku. Setelah selesai, aku kembali ke rombongan yang sedang bersiap-siap untuk berangkat.

Akan tetapi ternyata kalungku putus dan terjatuh. Lalu aku kembali lagi ke tempat buang hajat tadi untuk mencarinya. Sementara, mereka mengangkat sekedupku ke atas unta kendaraanku. Karena mereka menduga bahwa aku telah berada di dalamnya. Karena kaum wanita pada saat itu badannya ringan sekali, disebabkan mereka hanya makan sedikit.

Aku menemukan kembali kalungku yang hilang itu, lalu aku datang ke tempat rombongan. Ternyata mereka telah berlalu. Maka aku duduk di tempat semula, dengan harapan bahwa rombongan akan merasa kehilangan aku, lalu mereka kembali ke tempatku.

Mataku mengantuk sekali, sehingga aku tertidur. Sedangkan Shofwan bin Mu’atthal pada waktu itu berada jauh dari rombongan pasukan karena beristirahat sendirian. Kemudian dari tempat istirahatnya itu ia melanjutkan kembali perjalanannya menyusul pasukan.

Ketika ia sampai ke tempat pasukan, ia melihat ada seseorang sedang tidur, lalu ia langsung mengenaliku. Sebab ia pernah melihatku sebelum ayat hijab diturunkan. Aku terbangun ketika dia mengucapkan Istirja’, yaitu kalimat: Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilaihi Raaji’uun.

Aku segera menutup wajahku dengan kain jilbab. Demi Allah, sepatah kata pun ia tidak berbicara denganku, terkecuali hanya kalimat Istirja’nya. Segera ia merundukkan hewan kendaraannya, kemudian ia turun dengan berpijak kepada kaki depan untanya.

Selanjutnya aku menaiki unta kendaraannya dan ia langsung menuntun kendaraannya yang kunaiki, hingga kami dapat menyusul rombongan pasukan, yaitu sesudah mereka beristirahat pada siang hari yang panasnya terik.

Akhirnya tersiarlah berita bohong yang keji itu. Semoga binasalah mereka yang membuat-buatnya. Sumber pertama yang menyiarkannya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.” Begitulah cerita yang disampaikan ‘Aisyah ra dalam shahih Bukhari dan Muslim.

Ibunda ‘Aisyah ra dengan posisi menunggang onta dan sahabat Shofwan menuntunnya di bawah, keduanya telah dituduh melakukan perselingkuhan (yaitu berzina). Sungguh itu sebuah tuduhan yang sangat keji dan fitnah yang sangat kejam. Menimpa wanita suci dan mulia, istri dari seorang yang paling mulia, yaitunya Rasulullah saw.

Fitnah bohong ini begitu cepat menyebar, dan memporak-porandakan sebagian orang beriman di Madinah. Mereka termakan isu ini tanpa melakukan konfirmasi dan validasi kepada sumber berita, atau bahkan kepada korban yang diberitakan.

Allah memberikan teguran yang sangat keras sekaligus arahan bagaimana seharusnya bersikap. Allah berfirman:

لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ.

Artinya: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. (An-Nur 24:12).

Inilah standar bersikap yang benar setiap muslim dan muslimah dalam kehidupan bermasyarakat. Yaitu, bila ada berita terkait dosa kemaluan (faahisyah) yang menimpa seorang muslim atau muslimah, apalagi orang yang terkenal dengan kebaikan dan keshalehannya, maka pertama yang diambil adalah TIDAK mempercayai berita itu sama sekali, dan menegaskan itu adalah bohong. Lalu mengedepankan husnuz zhon (berbaik sangka) kepada yang dituduh, bahwa dia tidak berbuat sama sekali.

Sikap kedua setelah itu adalah menagih kepada si pembuat berita (sumber berita atau si penuduh) untuk menghadirkan 4 orang saksi yang menyaksikan langsung kejadian selingkuh itu di depan mata kepala mereka. Allah berfirman:

لَّوْلَا جَآءُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ ۚ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا۟ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْكَٰذِبُونَ

Artinya: “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?. Jika mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang pendusta. (An-Nur 24:13).

Para ulama menjelaskan bahwa tuduhan berbuat zina harus mendatangkan 4 orang saksi yang dewasa, adil dan orang yang beriman pula. Jika hanya 3 orang saja, maka tuduhannya batal dan yang menuduh termasuk 3 orang saksi tersebut dikenakan hukuman cambuk 80 kali.

Dan para ulama juga mensyaratkan bahwa 4 orang saksi itu harus betul-betul menyaksikan sepasang manusia sedang berzina. Menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka bagaikan pisau masuk ke sarungnya. Kalau hanya sekedar menyaksikan sepasang manusia keluar dari rumah kosong, atau keluar dari sebuah kamar berduaan, maka kesaksian itu juga batal. Dan yang menuduh dicambuk 80 kali.

Sikap ketiga yang harus dilakukan orang beriman bila mendengar berita atau informasi terkait pelaku dosa kemaluan (zina dan sejenisnya) adalah wajib tutup mulut dan tidak menceritakan lagi kepada orang lain. Allah berfirman:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُۥ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِۦ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُۥ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٌ

Artinya: “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya itu suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar (dosanya)”. (An-Nur 24:15).

Maka membicarakannya merupakan suatu dosa yang besar. Apalagi memberitakannya, seperti hari ini media-media yang seenaknya memberitakan perselingkuhan.

Termasuk dalam hal ini, juga dilarang bertanya-tanya kian kemari dengan alasan mau tabayyun (konfirmasi) kebenarannya. Sebab, bertanya kian kemari itu sama saja dengan menyebarkannya. Konfirmasi hanya kepada yang dituduh. Kalau yang tertuduh menyatakan tidak berbuat, maka tidak ada ruang untuk menuduh kecuali punya 4 saksi. Atau pihak penegak hukum yang menyatakannya setelah jelasnya keputusan.

Karenanya, orang beriman bila menerima berita seperti ini, sikapnya adalah diam dan tutup mulut. Biarlah penegak hukum saja yang memprosesnya. Allah berfirman:

لَوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبْحَٰنَكَ هَٰذَا بُهْتَٰنٌ عَظِيمٌ.

Artinya: “Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar”. (An-Nur 24:16).

Bagi orang-orang yang masih saja menyebarkan berita seperti ini, baik dari mulut ke mulut, atau dalam kelompok dan komunitas, atau melalui berbagai media, maka sesungguhnya mereka adalah orang yang suka kalau berita keji dan zina tersebar kemana-mana. Dan mereka mendapat ancaman hukuman yang sangat berat dari Allah, di dunia dan akhirat. Allah berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلْفَٰحِشَةُ فِى ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (An-Nur 24:19).

Di dunia, orang-orang penyebar berita fitnah mendapat hukuman cambuk 80 kali, di depan publik. Dan di akhirat kelak mereka ditunggu oleh siksa neraka bila mereka tidak tobat dengan sebenar-benarnya tobat.

Ayat-ayat dari surat An Nur: 11-20 ini telah mengangkat derjat Ibunda ‘Aisyah disisi Allah dan disisi manusia. Kesucian dirinya telah dinyatakan langsung oleh Allah, dalam bentuk wahyu yang turun, yang akan terus dibaca sampai hari kiamat.

Ditengah isu keji ini merebak dan menjerumuskan sebagian kaum mukminin di Madinah ke dalam dosa dan kesalahan, ada sepasang suami istri yang selamat dari sikap menuduh ini. Mereka berdua adalah Ummu Ayyub dan suaminya Abu Ayyub Al Anshari.

Imam Ibnu Katsir menukilkan riwayat bahwa Abu Ayyub ditanya oleh Istrinya Ummu Ayyub, “Apakah engkau percaya berita tersebut?” Abu Ayyub menjawab, “Tidak. Itu berita bohong. Apakah engkau mempercayainya juga?”. Ummi Ayyub menjawab, “Tidak. Aku tidak percaya. Aisyah lebih baik dariku.” Artinya, mustahil Aisyah akan melakukannya.

Selamatlah mereka berdua sekeluarga dari perbuatan dosa. Dan menjadi terpujilah keduanya seperti dalam ayat 12 surat An Nur.

Pelajaran dari kisah ini:

1. Salah satu senjata kaum munafiq dan juga kaum kafir dalam merusak umat Islam adalah dengan menyebarkan fitnah dan kejelekan terkait orang-orang beriman. Karena dengan cara itu kaum muslimin dan mukminin menjadi tercela dan kotor serta saling tidak percaya lagi saling mencurigai.

2. Setiap mukmin harus berhati-hati dengan propaganda kaum munafiqin dan kaum kafir. Jangan mudah terjebak dalam adu domba mereka. Semua informasi negatif dari mereka tentang umat Islam harus diterima dulu dengan sikap tidak percaya, dan mengangapnya sebagai sebuah kebohongan. Dan mengedepankan husnuz zhon kepada sesama orang beriman.

3. Dalam menyikapi berita tentang perzinaan, perselingkuhan dan dosa-dosa kemaluan lainnya, sikap seorang mukmin yang benar adalah tutup mulut dan tidak bertanya kian kemari. Konfirmasi yang benar adalah kepada pelaku atau yang dituduh sebagai pelaku.

4. Siapapun pihak, perseorangan atau lembaga (media atau wartawannya) yang menuduh atau memberitakan tentang seseorang telah melakukan perbuatan zina, maka wajib menghadirkan 4 orang saksi yang betul-betul melihat langsung kejadiannya. Jika tidak, maka terkena dosa besar dengan hukuman dunia dicambuk 80 kali, dan siksa yang pedih di akhirat.

5. Orang-orang shaleh generasi awal umat ini mempunyai standar keshalehan yang sangat tinggi. Seorang wanita di atas onta, lalu ontanya dituntun oleh lelaki lain di bawah, itu sudah negatif bagi mereka. Bandingkan dengan hari ini, banyak wanita berboncengan dengan laki-laki lain di sepeda motor, suaminya pun tidak marah. Apalagi masyarakatnya, menganggap biasa saja.

Wallahu A’laa wa A’lam.

Oleh: Irsyad Syafar