Akhlak-Akhlak Rasulullah (5)

Oleh: Irsyad Syafar

5. PEMALU

Malu dalam bahasa Arab disebut dengan Haya’, yang berasal dari kata Al Hayah, artinya adalah hidup atau kehidupan. Lalu malu itu dikaitkan dengan hidup atau matinya hati seseorang. Bila hatinya hidup, maka rasa malunya menjadi baik dan sempurna. Bila hatinya mati maka rasa malunya akan berkurang dan bisa hilang.
Malu menurut istilah maksudnya adalah menjauhi segala hal yang dibenci dan enggan untuk melaksanakannya. Dalam kitab Madarijus Salikin, Imam Al-Junaid rahimahullah mengatakan, “Hakikat malu ialah sikap yang mendorong seseorang untuk meninggalkan keburukan dan mencegah dari bersikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.”
Dengan demikian malu dalam perspektif Islam adalah akhlak yang membuat seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga menghalanginya dari melakukan dosa dan maksiat, serta mencegahnya dari sikap melalaikan hak orang lain. Contoh dari sikap malu adalah: seseorang tidak mau membuka auratnya, atau marah kalau terbuka auratnya, atau merona merah wajahnya ketika terlambat datang ke kantor, atau tidak menyerahkan tugas tepat pada waktunya, atau melakukan sebuah kesalahan lainnya.
Sejalan dengan itu, ada sifat lain yang agak mirip dengan malu yang sering dipakai dalam bahasa sehari-hari, yaitu sifat minder. Minder artinya rendah diri dan kurang percaya diri. Akibatnya seseorang kurang berani melakukan kebaikan. Minder bukanlah malu. Hanya saja kebanyakan orang sudah salah dalam pemakaiannya. Malu itu akhlak yang mulia dan terpuji. Sedangkan minder adalah sikap yang kurang terpuji. Contoh minder: Seseorang tidak mau mengumandangkan adzan, karena merasa suaranya kurang bagus. Atau orang yang tidak berani berbicara di depan orang ramai, dan lain-lain.
Rasulullah saw menyandingkan antara sifat malu dengan sifat kasar. Malu itu adalah kebaikan dan kasar itu akan membawa kepada keburukan. Dalam haditsnya Rasulullah saw bersabda:
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ. (رواه أحمد والترميذي)
Artinya: “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga. Sedangkan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, dan tabiat kasar tempatnya di Neraka.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Malu adalah akhlak mulia yang telah diwariskan dari generasi ke generasi sejak zaman awal-awal Nabi terdahulu, artinya malu adalah akhlak asli manusia yang masih dalam fitrahnya (kesuciannya). Diriwayatkan dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. (رواه البخاري ).
Artinya: “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari).
Rasulullah Saw sangat Pemalu. Sampai-sampai dinyatakan lebih pemalu dari anak gadis yang dalam pingitannya. Sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri ra. ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا, فَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِيْ وَجْهِه. (رواه البخاري).
Artinya: “Nabi Saw lebih pemalu dari pada gadis yang dipingit di kamarnya. Jika beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, kami dapat mengetahuinya dari wajahnya.” (HR Bukhari).
Sifat pemalu Rasulullah saw berasal dari dua sumber sekaligus, pertama tabiat Beliau yang sudah pemalu, kedua bimbingan Allah kepada Beliau untuk bersifat malu. Sumber yang kedua inilah sifat malu yang utama. Sedangkan sumber pertama hanya sebagai penopang dan penguat. Bila terjadi suatu yang membuat malu, Beliau sangat waspada setelah itu agar tidak terjadi kembali. Itu sudah nampak dalam dirinya sebelum menjadi Nabi dan Rasul.
Di dalam shahih Bukhari, Jabir bin ‘Abdullah bercerita: “Dahulu ketika Ka’bah direnovasi dan diperbaiki, Rasulullah Saw dan ‘Abbas bekerja mengangkut bebatuan. Kemudian ‘Abbas berkata kepada Beliau Saw: “Tariklah kainmu hingga sebatas lututmu agar kamu tidak terluka oleh bebatuan.” Namun ternyata Beliau terjatuh ke tanah dalam posisi terlentang, sedangkan kedua mata beliau mengarah ke langit (pingsan). Kemudian tak beberapa lama Beliau siuman, sembari berkata: “Mana kainku! mana kainku!” Lalu Beliau mengikat kembali kain tersebut dengan kuat. Dan dalam riwayat yang lain dinyatakan: “Maka setelah itu, tidak pernah lagi ‘aurat Beliau kelihatan.” (HR. Bukhari).

 

Rasulullah Saw malu kepada Allah Swt
Rasulullah saw malu kepada Allah Swt sebagai Nabi yang mulia dan penutup seluruh kenabian, salah satu bentuk sifat malu Rasulullah adalah malu kepada Allah Swt. Yaitu ketika peristiwa isra’ dan mi’raj. Beliau sudah menghadap kepada Allah Swt dan mendapat perintah shalat 50 kali dalam sehari semalam. Lalu Beliau turun dan berjumpa Nabi Musa di langit yang ke 6. Nabi Musa as bertanya kepada Rasulullah Saw:“Apa yang telah diwajibkan oleh Rabbmu kepada umatmu?” Beliau menjawab, “Dia telah mewajibkan kepadaku shalat sebanyak 50 kali.” Musa berkata, “Kembalilah menemui Rabbmu, karena umatmu tidak akan mampu mengerjakan kewajiban itu.”
Maka beberapa kali Beliau bolak-balik kepada Allah Swt meminta keringanan, sampai akhirnya menjadi perintah shalat 5 kali sehari semalam. Ketika itu Nabi Musa as. tetap menyuruh Rasulullah Saw balik kepada Allah Swt untuk meminta pengurangan. Namun Rasulullah Saw tidak berani lagi balik. Beliau berkata:
“قَدِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي “
Artinya: “Aku sudah malu kepada Rabbku”. (HR. Ibnu Majah, no. 1399; Nasai, no. 449. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Rasulullah Saw malu kepada manusia
Adapun sifat malu Rasulullah kepada manusia cukup banyak contohnya. Diantaranya ketika ada seorang perempuan bertanya kepada Beliau tentang tatacara bersuci membersihkan darah haid. Maka Rasulullah Saw menjelaskan: “Ambillah sepotong kain, lalu engkau bersihkan bekas darahnya.” Namun perempuan itu tidak paham juga. Sehingga dia bertanya lagi sampai dua tiga kali. Rasulullah menjawab, “Subhaanallah, bersucilah engkau dengan kain tersebut.”
Rasulullah merasa risih menjawab lebih rinci lagi. Situasi seperti itu dilihat dan dipahami langsung oleh ‘Aisyah ra. dan segera dia tarik tangan wanita tersebut, lalu ‘Aisyah ra menjelaskan lebih jelas kepadanya dengan bahasa wanita. (Dalam hadits riwayat Muslim dari ‘Aisyah).
Dalam kitab shahihain, Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik tentang para sahabat yang makan-makan di rumah Rasulullah Saw pasca nikahnya Beliau dengan Zainab binti Jahsy. Setelah mereka semuanya selesai makan, hampir semua sahabat segera pergi keluar dari rumah Rasulullah Saw, kecuali tiga orang. Mereka masih duduk-duduk mengobrol di sana. Situasi ini telah membuat Rasulullah Saw malu. Beliau tidak mungkin mengusir para sahabat, akan tetapi acara “walimah” sudah selesai. Maka ketika itu turunlah firman Allah Swt:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتَ ٱلنَّبِىِّ إِلَّآ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَٰظِرِينَ إِنَىٰهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَٱدْخُلُوا۟ فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَٱنتَشِرُوا۟ وَلَا مُسْتَـْٔنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى ٱلنَّبِىَّ فَيَسْتَحْىِۦ مِنكُمْ ۖ وَٱللَّهُ لَا يَسْتَحْىِۦ مِنَ ٱلْحَقِّ ۚ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS Al Ahzab: 53).
Diantara sifat malu Rasulullah Saw, beliau kalau mandi, pergi jauh dari keramaian. Atau Beliau mandi bersembunyi di balik dinding. Dan pada waktu itu belum ada kamar mandi di dalam rumah seperti halnya sekarang ini. Dan diantara sifat malu beliau, bila ada seseorang yang datang meminta sesuatu kepadanya, maka Beliau memberikannya. Karena Beliau sangat malu kalau tidak memberi. Kecuali ketika Beliau memang tidak punya apa yang diminta orang tersebut.
Wujud lain dari sifat malu Rasulullah adalah bila ada seorang sahabat yang tersalah, atau melakukan hal yang kurang baik, maka Beliau tidak menegurnya secara langsung. Beliau menenggang perasaan orang tersebut. Seandainya kesalahan tersebut sangat penting dikoreksi, maka beliau naik ke mimbar berpidato, lalu berkata: “Kenapa ada suatu kaum melakukan begini dan begitu.” Beliau tidak menyebut pelakunya, sehingga khalayak tetap tidak tahu siapa yang berbuat.

Rasulullah Saw malu kepada Utsman bin ‘Affan
‘Aisyah ra pernah menceritakan bahwa pada suatu ketika, Rasulullah Saw sedang duduk berbaring di rumahnya dengan membiarkan kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal).
Lalu Umar bin Khaththab datang dan meminta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk dalam kondisi beliau tetap seperti itu dan terus berbincang-bincang (tentang suatu hal). Kemudian Utsman bin Affan datang dan meminta izin kepada beliau untuk masuk ke dalam rumah beliau. Maka Rasulullah pun mempersilahkannya untuk masuk seraya mengambil posisi duduk dan membetulkan pakaiannya.
Setelah Utsman pergi, ‘Aisyah penasaran dengan perbedaan sikap Rasulullah Saw kepada Abu Bakar dan Umar dibanding dengan Ustman. Maka ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah Saw:
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَلَمْ تَهْتَشَّ لَهُ وَلَمْ تُبَالِهِ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ فَجَلَسْتَ وَسَوَّيْتَ ثِيَابَكَ فَقَالَ أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ. (رواه مسلم).
Artinya: “Tadi ketika Abu Bakar masuk ke rumah, engkau tidak terlihat tergesa-gesa untuk menyambutnya. Kemudian ketika Umar datang dan masuk, engkaupun menyambutnya dengan biasa-biasa saja. Akan tetapi ketika Utsman bin Affan datang dan masuk ke rumah maka engkau segera bangkit dari pembaringan dan langsung mengambil posisi duduk sambil membetulkan pakaian engkau. Kenapa ya Rasulullah’?” Rasulullah Saw menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak merasa malu kepada seseorang yang para malaikat saja merasa malu kepadanya?” (HR Muslim: 4414).

Malu itu semuanya kebaikan
Sifat malu adalah akhlak mulia yang harus dimiliki dan dipelihara oleh setiap muslim. Bukan yang kaum wanita saja. Akan tetapi juga bagi kaum lelaki. Sebab akhlak mulia ini tidak mendatangkan kecuali hanya kebaikan. Rasulullah Saw menyatkan dalam haditsnya:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ.
Artinya: “Sifat malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan” (HR.Bukhari dan Muslim)
Sifat malu merupakan perangai, karakter dan akhlaq Islam. Rasulullah bersabda :
إن لِكُلِّ دِينٍ خُلُقاً ، وَإن خُلُقَ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ
Artinya: “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak,dan akhlak islam itu adalah sifat malu” (HR.Ibnu Majah).
Maksudnya, malu termasuk salah satu akhlaq Islam yang paling utama. Umar bin Khattab menyatakan: “Barangsiapa yang sedikit sifat malunya, maka sedikit pula sifat wara’nya. Dan barangsiapa yang sedikit sifat wara’nya, maka hatinya akan mati.”
Wallahu A’laa wa A’lam.

Tinggalkan komentar