Wanita Karir dalam Pandangan Agama Islam

Oleh: Enta Okta Sari

Rasulullah Saw., dalam sebuah hadisnya memuji orang yang memakan rizki dari hasil usahanya sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhâri yang Artinya:

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan itu lebih baik daripada mengkonsumsi makanan yang diperoleh dari hasil kerjanya sendiri, sebab Nabi Allah, Daud, memakan makanan dari hasil kerjanya.” (H.R. al-Bukhari).

Hadis ini menunjukkan perintah bagi setiap muslim untuk bekerja dan berusaha untuk mencari nafkah dengan usaha sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Nabi Daud As. yang senantiasa bekerja mencari nafkah dan makan dari hasil jerih payahnya tersebut. Syariat Islam tidak membedakan hak antara laki-laki dan wanita untuk bekerja, keduanya diberi kesempatan dan kebebasan untuk berusaha dan mencari penghidupan di muka bumi ini.

Para ulama masih memperdebatkan bolehkah seorang wanita (istri) bekerja di luar rumah. Untuk mengetahui bagaimana hukum wanita yang bekerja atau berkarir dapat dilihat dari fatwa-fatwa para ulama. Ada dua pendapat tentang boleh tidaknya wanita bekerja di luar rumah. Pendapat yang paling ketat menyatakan tidak boleh, karena dianggap bertentangan dengan kodrat wanita yang telah diberikan dan ditentukan oleh Tuhan. Peran wanita secara alamiah, menurut pandangan ini, adalah menjadi istri yang dapat menenangkan suami, melahirkan, mendidik anak, dan mengatur rumah. Dengan kata lain, tugas wanita adalah dalam sektor domestik.

Pendapat yang relatif lebih longgar menyatakan bahwa wanita diperkenankan bekerja di luar rumah dalam bidang-bidang tertentu yang sesuai dengan kewanitaan, keibuan, dan keistrian, seperti pengajaran, pengobatan, perawatan, serta perdagangan. Bidang-bidang ini selaras dengan kewanitaan. Wanita yang melakukan pekerjaan selain  itu dianggap menyalahi kodrat kewanitaan dan tergolong orang-orang yang dilaknat Allah karena menyerupai pria.

Alasan mengapa para wanita harus ikut bekerja, karena pada setiap negara banyak dijumpai kaum wanita yang belum menikah ataupun wanita yang terpaksa bercerai dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, ataupun wanita yang telah bersuami namun dia juga terpaksa harus bekerja mencari nafkah karena himpitan kemiskinan atau karena suami tidak mampu atau malas bekerja. Atau ada sebagian wanita yang telah menikah tetapi tidak memiliki anak. Dalam kondisi-kondisi seperti inilah para wanita tidak boleh dilarang bekerja atau berkarir di luar rumah.

Secara garis besar, para ulama sesunguhnya sepakat untuk membolehkan seorang wanita untuk bekerja di luar rumah, tetapi mereka memberikan batasan-batasan yang jelas yang harus dipatuhi jika seorang wanita ingin bekerja atau berkarir terutama harus didasari dengan izin dari suami. Di mana istri yang bekerja dengan ridho sang suami, dia tetap berhak mendapatkan hak nafkahnya, sebaliknya istri yang tetap bekerja (berkarir) sementara suaminya melarangnya, maka istri dianggap telah durhaka terhadap suami, dan mengakibatkan gugurnya hak nafkah istri.

Dalam hal ini, agama Islam dan agama-agama Samawi terdahulu  sepakat bahwa izin suami merupakan kunci penentu boleh tidaknya seorang istri bekerja. Artinya, jika seorang istri bekerja tanpa izin suaminya, maka dia dianggap telah nusyûz (membangkang) kepada suaminya. Meskipun demikian, izin suami tidak bisa diterjemahkan secara mutlak dan mengikat tanpa batasan. Suami hanya boleh melarang istrinya bekerja (dengan tidak memberi izin) jika pekerjaan yang akan dilakoni sang istri dapat membawa kemudharatan bagi dirinya dan keluarga. Dalam kondisi seperti inilah suami berkewajiban untuk mengingatkannya. Akan tetapi jika bekerjanya istri adalah untuk memenuhi (nafkah) kebutuhan hidup dirinya dan keluarga akibat suami tidak mampu bekerja mencari nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lainnya, maka suami tidak berhak melarangnya.

Sumber: https://media.neliti.com

Tinggalkan komentar