Oleh: Irsyad Syafar
Walimah atau pesta perkawinan adalah suatu yang disyariatkan dalam Islam. Hukumnya adalah sunnah. Sebagian Ulama menyatakan sunnah muakkadah (sunat yang sangat dianjurkan).
Dalilnya antara lain dari sabda Rasulullah Saw:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya: “Buatlah walimah walau pun hanya dengan hidangan seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah sendiri ketika menikahi Shafiyyah, membuat jamuan makan berupa korma, minyak dan roti. Begitu juga ketika menikahi Zainab, juga mengajak beberapa sahabat makan di rumah Beliau.
Tujuan walimah menurut Islam antara lain adalah untuk memberi tahu masyarakat bahwa sepasang pengantin ini sudah halal dan sah hidup serumah. Juga untuk mengekspresikan rasa syukur atas nikmat Allah yang telah mempertemukan kedua mempelai dalam kebaikan. Sekaligus juga untuk meminta doa kebaikan bagi kedua penganten dari para kerabat dan tetangga.
Karena walimah adalah sebuah amalan sunnah, tentunya harus berjalan sesuai dengan tuntunan syariat dan memenuhi tujuan yang dimaksudkan. Walimah harus dilaksanakan dengan ikhlas, tidak maksud mencari nama dan popularitas. Jauh dari rasa ujub dan pamer kekayaan. Serta sesuai dengan kemampuan, tidak dipaksa-paksakan.
Namun bila kita perhatikan dari tahun ke tahun, walimah itu sekarang sudah semakin berkembang. Dan sayangnya perkembangannya tidak ke arah yang positif. Bukan sekedar memberi tahu khalayak bahwa keduanya sudah menikah, tapi sudah mengarah kepada prestise dan pamer kekayaan, memperlihatkan kemewahan, dan unsur-unsur duniawi lainnya.
Begitu juga dalam menyiapkan makanan walimah, bukan lagi nilai kesyukuran yang menonjol, tapi kental terasa kemubadziran, pemaksaan dan biaya yang sangat mahal. Hari ini kalau undangannya sampai 500 orang, tidak kurang dari 1000 porsi harus disiapkan. Apalagi kalau undangan sampai 1000 orang. Biaya walimah bisa melebihi angka 50 bahkan 100 juta.
Sebagian keluarga, karena alasan malu, atau gengsi dan prestise, malah memaksakan adanya walimah dengan segala pernak-perniknya. Sehingga berhutang kian-kemari untuk terlaksananya walimah. Setelah walimah, pusing untuk membayar hutang. Jelas ini sudah menyimpang dan tidak sejalan dengan tujuan walimah itu sendiri.
Disamping itu, para tamu undangan kadang menunjukkan perilaku yang sering mubadzir dalam mengkosumsi makanan. Kadang diambilnya banyak, tapi bersisanya juga banyak, tidak dimakan habis. Kemudian banyak terbuang ke tempat sampah.
Kemudian, seringkali pelaksanaan pesta pernikahan yang menutup jalan umum, membuat fasilitas publik terpakai beberapa hari. Bila walimahnya hari sabtu, sejak hari rabu tenda-tenda sudah mulai dirakit di separo jalan. Nanti hari senin atau selasa baru dibuka oleh pemilik rentalnya. Alih-alih pernikahan akan dapat doa restu, malah umpat dan caci yang munncul dari mulut para pengendara kendaraan yang terjebak macet disana.
Rasulullah Saw melarang para sahabat duduk-duduk dipinggir jalan. Karena itu akan mengganggu kenyamanannya banyak orang. Apalagi kalau menutup separo jalan, justru semakin terlarang secara syariat. Kalau ada yang beralasan, “Sudah seizin pemerintah atau pihak berwenang!” Maka kita katakan, hukum syariat tidak berubah gara-gara izin tersebut. Sesuatu yang terlarang dalam Islam tidak berubah menjadi mubah hanya karena izin pemerintah.
Apalagi kalau pesta perkawinan tersebut tidak mengindahkan arahan syariat selama pelaksanaannya. Mengabaikan waktu shalat, adzan berkumandang musik terus berdendang, membuka aurat, musik dan penyanyi yang tidak senonoh, acara yang sampai larut malam, dan lain-lain sebagainya. Semua itu membuat status walimah semakin jauh dari mubah. Apalagi akan mengharapkan berkah.
Tidakkah kita berpikir bagaimana supaya walimah itu menjadi murah, berkah dan mendatangkan kebaikan? Dahulu para sahabat menikah, tidaklah semua sahabat datang ke rumahnya. Dan tidak semua sahabat pula harus tahu. Bahkan Abdurrahman bin Auf menikah, Rasulullah Saw tidak tahu. Hanya ketahuan ketika jumpa dengan Rasul, tercium aroma yang wangi. Sehingga Rasulullah Saw bertanya:
مَا هذَا؟ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنّى تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: فَبَارَكَ اللهُ لَكَ. اَوْلِمْ وَ لَوْ بِشَاةٍ. مسلم
Artinya: “Apa ini ?”. Ia menjawab, “Ya Rasulullah, saya baru saja menikahi wanita dengan mahar seberat biji dari emas”. Maka beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahimu. Selenggarakan walimah meskipun (hanya) dengan (menyembelih) seekor kambing.” (HR Muslim).
Mungkinkah walimah atau pesta pernikahan hari ini diformat ulang? Misalnya, cukup yang diundang itu kerabat laki-laki dan kerabat perempuan. Lalu ditambah dengan tetangga terdekat. Maksimal hanya 100-200 orang saja yang hadir. Teman dan kenalan yang tidak diundang tidak perlu pula marah atau tersinggung. Sebab, mengundang itu juga tidak wajib. Maka biaya walimah akan bisa ditekan di bawah 10 juta rupiah saja.
Selebihnya, pernikahan ini diumumkan di koran, media online dan group-group medsos. Yang penting khalayak tahu bahwa sepasang manusia ini sudah halal. Kalaupun seseorang punya uang katakanlah 50, 100 sampai 150 juta untuk biaya pernikahan anaknya, kira-kira mana yang lebih baik kalau seandainya dana sebesar itu diserahkan saja kepada kedua pengantin sebagai modal untuk memulai hidup baru membangun usaha dan ekonomi keluarganya? Itu jauh lebih berkah dan berguna.
Apalagi kalau memang belum ada biaya yang memadai, atau bagi keluarga yang kurang mampu, maka pola seperti ini jauh lebih meringankan. Dan tidak perlu malu apalagi gengsi bila walimahnya sedikit orang saja. Dan pasti, tak perlu banyak tenda dan tanpa menutup jalan raya untuk kepentingan pribadi. Walimah karena malu atau gengsi pasti akan kehilangan berkahnya.
Bagaimana menurut Bapak Ibu dan teman-teman bila walimah seperti ini kita laksanakan?
Wallahu Waliyyut taufiq.