Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum Ustadz. Melihat kondisi hari ini dimana sudah dua kali belum bisa shalat Jum’at, ada yang mengatakan kalau tidak shalat Jum’at tiga kali maka akan jatuh kafir. Bagaimana sebenarnya?

Jawaban:
Sangat boleh jadi seseorang tidak dapat menunaikan perintah Allāh ﷻ sebagaimana Surat Al-Jumu’ah [62] ayat 9 dikarenakan Allah mengujinya dengan hal-hal yang tidak memungkinkan baginya untuk melaksanakan shalat Jum’at seperti diuji dengan penyakit berat atau kondisi peperangan atau berada di wilayah yang tidak ditemukan penyelenggaraan shalat Jum’at di sana atau sedang dalam kondisi safar ke berbagai wilayah dan keseluruhan kondisi di atas harus dialaminya lebih dari 3 (tiga) Jum’at, maka pada seluruh kondisi di atas dia boleh menggantinya dengan shalat Zhuhur berjama’ah.

Hal ini karena minimal terdapat 3 (tiga) alasan yang dibolehkan dalam syari’at Islam untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at yakni: 1) Terdapat udzur syar’i; 2) Kondisi darurat yang dibenarkan agama; 3) Tidak dalam konteks meremehkan agama. Dalam hal ini terdapat beberapa teks hadits dengan derajat shahih atau hasan yang menjelaskan prinsip-prinsip ini.

  1. Udzur syar’i atau halangan yang dibenarkan agama
    Rasūlullāh ﷺ pernah bersabda,

من ترك ثلاث جمع متواليات من غير عذر طبع الله على قلبه
“Barangsiapa meninggalkan Jum’atan 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa udzur, Allah akan mengunci mati hatinya.”
[HR. At-Thayalisi No. 2548]

  1. Kondisi darurat yang dibenarkan agama
    Rasuūullāh ﷺ pernah bersabda,

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ، ثَلَاثًا، مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ، طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan Jum’atan 3 (tiga) kali, bukan karena kondisi darurat, Allah akan mengunci hatinya.”
[HR. Ibnu Majah No. 1126]

  1. Tidak meremehkan agama
    Rasūlullāh ﷺ pernah bersabda

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
”Barangsiapa meninggalkan 3 (tiga) kali Jum’atan karena meremehkan, maka Allah akan mengunci hatinya.”
[HR. Ahmad No. 15498, an-Nasai No. 1369, dan Abu Daud No. 1052]

Kondisi yang kita alami bersama hari ini terkait wabah epidemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) adalah kondisi mengkhawatirkan yang telah merenggut puluhan ribu jiwa manusia, tidak saja dialami di Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan juga dialami di seluruh dunia. Wabah yang tadinya baru berpusat di Kota Jakarta, bahkan telah menyebar ke 31 propinsi di Indonesia dengan cepat. Kondisi mengkhawatirkan ini disepakati oleh seluruh organisasi ulama di dunia.

Solusinya adalah memutuskan mata rantai penularan dengan menghindarkan untuk sementara waktu dari kerumunan manusia termasuk dalam konteks ritual ibadah karena manusia dalam hal ini tidak bisa memastikan secara zhahir siapa yang sehat dan tidak terkena wabah, mengingat banyak penderita yang bahkan tidak memiliki ciri-ciri zhahir sama sekali.

Ingat, dulu Rasūlullāh ﷺ pernah safar dalam rangka perang Tabuk selama 50 hari. Ingat, bahwa dulu juga seseorang pernah ragu-ragu untuk melakukan safar dan menyampaikan keraguannya kepada ‘Umar r.a., dan ‘Umar r.a. memerintahkan untuk tetap safar karena urgensinya:

اخرُج فإِنَّ الجمعة لا تمنع من سفر
”Berangkatlah, karena jumatan tidaklah menghalangi orang untuk melakukan safar.”
[HR. Ibnu Abi Syaibah No. 5107]

Maka dalam kondisi yang berbeda, kondisi yang tidak normal, kita disyariatkan untuk beramal sesuai kondisi yang baru sesuai bimbingan Rasūlullāh ﷺ, di antaranya adalah dengan tidak melaksanakan shalat Jum’at untuk sementara waktu sampai kondisi kembali normal, ujian ini diangkat kembali oleh Allāh ﷻ.

Tidak melaksanakan shalat Jum’at di wilayah yang telah terwabah epidemi ini adalah salah satu bentuk amal shalih yang bernilai ibadah dan pelakunya mendapatkan pahala dari Allāh ﷻ. Bernilai ibadah karena kita melakukannya karena ilmu, bukan karena hawa nafsu. Bukankah seluruh bentuk ibadah yang kita lakukan hendaknya dilakukan di atas ilmu. Ingat, bahwa ada 2 (dua) syarat diterimanya amal yakni: 1) Niat yang bersih karena Allāh ﷻ semata; dan 2) Mengikuti bimbingan Rasulullah ﷺ.

Seorang ahli ‘ibadah belum tentu beribadah di atas ilmu, namun seorang ahli ‘ilmu niscaya akan selalu ingin menjaga ibadahnya dengan benar sesuai bimbingan Rasūlullāh ﷺ.

Semoga Allāh ﷻ menjaga umat dan bangsa ini dari ujian yang tidak mampu kita melewatinya dengan kesabaran, ikhtiar dan do’a, dan semoga Allāh ﷻ mengembalikan kondisi sebagaimana sedia kala sehingga kita dapat kembali memakmurkan Masjid sebagaimana biasa. Yā Rabbanā, kabulkanlah do’a kami.

Wallāhu a’lam,

____________________
Rubrik edisi ini diasuh oleh ustaz Dr. H. Wido Supraha, Wakil Sekretaris Komisi Ukhuwah MUI Pusat. e-Mail: wido.supraha@uika-bogor.ac.id