Oleh: Irsyad Syafar
Umar bin Khattab adalah sahabat sekaligus Khalifah yang sangat terkenal tegas dan hati-hati dalam hal yang terkait dengan Al Quran. Semangatnya adalah menjaga dan memelihara keaslian Al Quran dan sekaligus mengagungkannya.
Saat banyak sahabat penghafal Al-Quran yang gugur dalam medan jihad, Umar khawatir Al Quran lama-lama akan hilang. Sebab, hafalan para sahabat adalah rujukan utama dalam Al Quran. Sedangkan yang tertulis merupakan rujukan kedua. Maka Umarlah yang pertama mengusulkan pengumpulan Al Quran dalam 1 mushaf.
Awalnya Khalifah Abu Bakar menolak ide ini. Ia tidak mau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Setelah hatinya betul-betul tenteram, bahwa itu justru akan menambah terpeliharanya Al Quran, maka ia pun menyetujuinya.
Kemudian Abu Bakar membentuk tim khusus pembukuan Al Quran yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Begitulah Umar sangat hati-hati dan peduli dalam menjaga Al Quran. Imam Ad Daarimiy dalam sunannya dan Ibnu Asaakir dalam tarikh Damaskus, dengan sanad yang tersambung menceritakan kisah yang terjadi di masa kekhilafahan Umar bin Khattab, bahwa ada orang yang mulai berani bertanya tentang Al Quran. Tapi bukan untuk ilmu yang lurus dan amalan yang benar. Bukan pula untuk mensucikan (tanzih) Al Quran. Melainkan hanya untuk menimbukan fitnah dan keraguan.
Seorang lelaki yang bernama Shabigh bin ‘Asal Al ‘Iraqi, adalah seorang prajurit dari pasukan Abu Musa Al As’ariy. Ia bertanya kepada teman-temannya tentang ayat Al Quran, “Apa itu wadz dzaariyat dzarwa, falhaamilaati wiqra….” dan seterusnya.
Secara makna, jelas terjemahan ayat-ayat tersebut. Demi angin yang menerbangkan debu, demi awan yang membawa hujan. Tapi, Shabigh ini hendak mencari yang lebih dalam lagi. Namun bisa menimbulkan fitnah.
Pertanyaan-pertanyaan yang bernuansa mempertanyakan ini sampai kepada panglimanya, Abu Musa Al Asy’ariy. Beliau langsung melaporkan prajurit ini kepada Umar di Madinah. Mendapat laporan dari bawahannya, Umar langsung intruksikan: “Kirim orang itu ke saya!”. Maka Abu Musa mengirimkannya ke Madinah.
Sesampainya Shabigh di Madinah di hadapan Khalifah Umar, ia langsung dicambuk oleh Umar dengan pelepah korma. Cambukan-cambukan Umar membuat Shabigh terkapar dan punggungnya berdarah. Lalu Shabigh disingkirkan ke suatu tempat sampai lukanya sembuh. Setelah sembuh, kembali ia dibawa kehadapan Umar. Kembali ia dicambuk sampai tumbang dan punggungnya berlumuran darah.
Kemudian ia diasingkan sampai kembali sembuh. Ketika kembali dihadapakan kepada Umar setelah punggungnya sembuh, Shabigh bertanya kepada Umar, “Jika engkau ingin membunuhku, maka bunuhlah aku secara baik. Jika engkau ingin memperbaiki aku, maka aku sudah sadar?”.
Lalu Umar mengirim kembali Shabigh kepada Abu Musa di bashrah. Tapi, Umar juga menitipkan surat untuk sang panglima. Dalam suratnya Umar memerintahkan agar Shabigh ini diasingkan, tidak boleh duduk dan bicara dengan orang lain. Rupanya hukumannya belum selesai. Setelah sekian lama hukuman berlangsung, Shabigh merasa berat melaksanakannya. Ia sampaikan kepada Abu Musa bahwa ia betul-betul telah bertobat, dan berhenti dari mempertanyakan Ayat Al Quran untuk menimbulkan fitnah.
Maka Abu Musa mengirimkan surat kembali kepada Khalifah Umar, menyampaikan bahwa Shabigh telah benar-benar bertaubat dan dengan sebaik-baiknya taubat. Maka Umarpun kemudian membebaskannya dari hukuman.
Sikap tegas Umar ini bukan hanya kepada rakyatnya. Tapi dia mulai dari dirinya sendiri. Dalam atsar yang shahih, diriwayatkan oleh Imam Ath Thabary dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya dan Imam Hakim dalam Mustadraknya, dari Anas bin Malik bahwa suatu hari Umar tengah berkhutbah.
Dalam khutbahnya Umar berkata mengutip ayat Ak Quran, “Wafaakihatan wa abbaa… Kita sudah tahu apa itu faakihah. Tapi apa itu abbaa?” Umar terdiam sejenak. Lalu Beliau melanjutkan, “Inilah yang dinamakan memaksakan diri (takalluf)”.
Umar sudah tahu makna abba yaitu rerumputan. Akan tetapi menanya-nanya lagi untuk sesuatu yang tidak jelas, itu adalah takalluf dan tercela. Lalu Umar memerintahkan kaum muslimin dalam khutbahnya, “Wahai manusia, ambillah yang sudah jelas bagi kalian dari Al Quran ini. Mana yang sudah kalian pahami, maka amalkanlah. Dan yang belum kalian ketahui, maka serahkanlah ilmunya kepada Allah.”
Semoga Allah merahmati Umar dengan seluas-luasnya rahmat. Karena kehati-hatian dan ketegasannya, Al Quran terpelihara dari berbagai penyimpangan. Dan kemudian Al Quran tersebut sampai kepada generasi akhir zaman tetap orisinil dan terpelihara.
Wallahu A’laa wa A’lam.