Oleh: Irsyad Syafar
Gen Y dan Z adalah generasi yang terlahir di atas tahun 80an. Mereka adalah generasi yang tumbuh dan berkembang dalam perkembangan teknologi dan pengetahuan yang luar biasa. Mereka hidup dan berinteraksi dalam suasana keterbukaan dan sangat mudahnya akses informasi. Semua hanya dalam genggaman tangan dan sentuhan jari-jemari.
Gen Y sering juga disebut dengan generasi millenial. Kemajuan teknologi telah membuat mereka menjadi generasi internet dan sosial media yang sangat terbuka. Sedangkan gen Z adalah generasi setelah gen Y yang mendapatkan kemajuan teknologi informasi yang lebih dahsyat lagi.
Kehidupan mereka ini sangat diwarnai dan terpengaruh dengan perkembangan teknologi. Mereka cenderung suka dengan tantangan, ingin serba cepat dan instan, bahkan juga mudah memiliki kepribadian yang lebih dari satu karena efek dari munculnya group-group media sosial.
ciri lain dari gen ini adalah cenderung cepat bosan, selalu ingin senang dan pandangan kesetaraan yang sangat kental. Kadang sekat-sekat usia, posisi kemasyarakatan, strata sosial, bahkan status gender menjadi hilang dalam pergaulan gen ini. Bagi mereka, kita ini semua sama dan setara.
Kondisi dan fenomena generasi millennial ini menjadi tantangan (baca: ancaman) serius bagi kehidupan dan keharmonisan keluarga, serta kesinambungan kehidupan berumah tangga. Betapa tidak, hidup berumah tangga itu pilar utamanya adalah kesinambungan dan kesabaran, tanggung jawab dan pengorbanan, kepemimpinan dan kasih sayang.
Berumah tangga dalam ajaran Islam adalah untuk diam dan menetap (litaskunuu ilaihaa) selama-lamanya sampai ajal menjemput. Tidak ada kata bosan lalu bubar tiap sebentar. Berumah tangga artinya mengambil tanggung jawab dan menyiapkan diri untuk berjuang dan bersabar. Ada istri dan anak-anak yang harus dinafkahi dan dibimbing. Ada suami dan anak-anak yang harus dilayani dan dirawat.
Tiang kekokohan dan keberlangsungan rumah tangga adalah adanya kepemimpinan suami yang wajib dipatuhi oleh istri dan anak-anak. Bagaimanapun situasinya, tidak boleh ada “dua matahari” dalam satu rumah tangga. Istri tidak bisa setara dengan suami. Jelas dan tegas Allah menyatakan:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ.
Artinya: “Laki-laki itu adalah pemimpin bagi wanita…… ” (QS An Nisa: 34).
Maksudnya seorang suami adalah pemimpin bagi istrinya, yang wajib ditaati (selama bukan maksiat). Suami istri bukanlah teman atau kawan yang setara. Bila seorang istri tidak siap untuk bersikap patuh kepada suami dan menjaga dirinya saat suami pergi, maka ia harus mendapatkan teguran (nasehat) atas kesalahan itu. Kalau tidak terjadi perbaikan, bisa naik kepada hukuman kedua yaitu dipisah tempat tidur. Bila semakin tidak membaik maka bisa diberi hukuman berupa pukulan yang tidak menciderainya. Bahkan kemudian bisa ke tahap bercerai.
Bahkan Rasulullah SAW menyampaikan bahwa salah satu syarat seorang istri bisa mendapatkan sorga secara mudah adalah dengan mentaati suaminya. Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شئت.
Artinya: “Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan ta’at kepada suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya; ‘Masuklah kamu ke dalam syurga dari pintu mana saja yang kamu inginkan’.” (HR Ahmad).
Tidak sekedar kepatuhan, malah juga kasantunan dan kesopanan kepada suami. Bagaimana istri menyambut suaminya saat pulang ke rumah dengan senyuman, menghidangkan minuman hangat dengan penuh kasih sayang, menyapanya dengan lemah-lembut, menyiapkan air hangat untuk mandi dan lain sebagainya. Semua itu menjadi sikap dan karakter istri terhadap suaminya karena ia sadar bahwa suami adalah pemimpinnya, bukan teman sejawatnya.
Tidak dipungkiri saat ini, karena pengaruh gaya hidup millenial dan arus kesetaraan gender yang begitu massif, ditambah lagi tingkat pendidikan yang mungkin sama dan sejajar (bahkan mulai banyak istri yang berpendidikan di atas suami), tidak sedikit istri yang ringan saja menyuruh suaminya mengambil nasi sendiri di meja makan, membuat sendiri teh atau kopi, dan menyetrika pakaian sendiri pakaiannya serta lain sebagainya.
Sebaliknya, suami generasi millenial juga mengalami perubahan perilaku dan sikap terhadap istrinya. Kasih sayang yang tidak tulus, cepat bosan, mudah marah karena kesalahan sepele dari istri, membiarkan istri mengerjakan tugas-tugas berat yang tidak selayaknya ditanggung seorang perempuan, akibat pandangan kesetaraan yang sudah kebablasan. Bahkan sebagian suami millennial betah berlama-lama dengan teman-temannya di luar rumah, padahal istri dan keluarganya membutuhkan kehadirannya dan kepemimpinanya.
Dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, kita menyaksikan betapa banyaknya istri yang sangat hormat kepada suaminya, menyapanya dengan panggilan “tuan”, menjauhkan hal-hal yang tidak disukainya dan sangat menjaga perasaannya. Sebaliknya, suami jaman dahulu juga adalah suami yang penuh tanggung-jawab. Mau bersabar dan bertahan dalam kesulitan hidup demi kebahagiaan istri dan anak-anaknya. Rela melarat dan menderita di luar rumah demi hadirnya kebahagiaan di dalam rumah. Itu karena ia sangat mencintai dan bertanggung-jawab terhadap istri dan keluarganya.
Hari ini gaya hidup gen millennial menjadi ancaman serius bagi keutuhan rumah tangga. Kalau tetap dengan sikap ego masing-masing, cepat bosan dan tidak mau bersabar, hilang rasa hormat, santun dan kasih sayang, pupusnya ketulusan dan munculnya kepribadian ganda, maka rumah tangga tersebut akan sangat cepat bubar dan berantakan.
Tidak ada pilihan bagi gen millennial kecuali berpegang teguh dengan bimbingan dan syariat Allah SWT. Dia dan RasulNya telah menetapkan aturan dan pola hubungan suami istri. Bila aturan itu dipakai dan dilaksanakan dengan maksimal, rumah tangga millenial akan langgeng dan sampai ke tujuan. Dan cita-cita “baiti jannati” akan dapat dicapai.
Wallahu A’laa wa A’lam