Oleh: Ustadz H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed

a. Defenisi dan Keutamaan Shalat berjamaah

Shalat berjamaah adalah shalat yang dilakukan secara bersama-sama, yang dipimpin oleh seorang imam dan diikuti oleh makmum. Imam adalah pemimpin shalat berjamaah. Sedangkan makmum adalah pengikut imam dalam shalat berjamaah. Jumlah imam dalam shalat berjamaah hanyalah satu orang. Sedangkan jumlah makmum adalah minimal satu orang. Sehingga dapat dikatakan bila terdapat dua orang yang sedang shalat, yang satunya menjadi imam dan lainnya menjadi makmum, maka sudah dikategorikan berjamaah.

Shalat berjamaah adalah ibadah yang sangat mulia di sisi Allah SWT, yang memiliki banyak keutamaan, diantaranya:

Pertama, Pahala yang berlipat ganda.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة

Artinya: “Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, Senantiasa di doakan oleh para Malaikat.

Dalam Hadistnya, Rasulullah SAW bersabda :

صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ

Artinya:“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Terkait shalat Isya dan shalat Shubuh yang dilakukan berjamaah, Rasulullah SAW bersabda:

من صلَّى العشاء في جماعة فكأنما قام نصف الليل ، ومَن صلّى الصبح في جماعة فكأنما قام الليل كله

Artinya: “Barangsiapa shalat isya’ secara berjamaah maka seakan-akan dia melakukan shalat separuh malam. Barangsiapa shalat subuh berjamaah maka seakan-akan dia shalat seluruh malam.” (HR. Muslim)

Ketiga, Kesalahan akan dihapuskan dan derjat akan ditinggikan.

Orang-orang yang melakukan shalat berjamaah akan mendapatkan pengampunan dosa dan derjatnya diangkat oleh Allah SWT. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

أَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ قَالُوا : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ , قَالَ : إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ , وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ , وَانْتِظَارُ الصَّلاةِ بَعْدَ الصَّلاةِ , فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ , فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ

Artinya: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang perkara yang akan menghapuskan kesalahan-kesalahan dan juga mengangkat beberapa derajat?” Para sahabat menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,”Menyempurnakan wudhu’ pada saat yang tidak disukai, banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah melaksanakan shalat. Maka, itulah ar-tibath (berjuang di jalan Allah).” (HR. Muslim)

Keempat, akan terhindar dari gangguan syetan

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

Artinya: “Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya.” (HR. Abu Daud dan An-Nasai)

Kelima, Terhindar dari sifat nifaq

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إلاّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إلاّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

Artinya:“Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah kelak (dalam keadaan) sebagai seorang muslim, maka hendaklah dia memelihara shalat setiap kali ia mendengar panggilan shalat. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sunnanal huda (jalan-jalan petunjuk) dan sesungguhnya shalat berjama`ah merupakan bagian dari sunnanil huda. Apabila kamu shalat sendirian di rumahmu seperti kebiasaan shalat yang dilakukan oleh seorang mukhallif (yang meninggalkan shalat berjama`ah) ini, berarti kamu telah meninggalkan sunnah nabimu, apabila kamu telah meninggalkan sunnah nabimu, berarti kamu telah tersesat. Tiada seorang pun yang bersuci (berwudhu`) dengan sebaik-baiknya, kemudian dia pergi menuju salah satu masjid melainkan Allah mencatat baginya untuk setiap langkah yang diayunkannya satu kebajikan dan diangkat derajatnya satu tingkat dan dihapuskan baginya satu dosa. Sesungguhnya kami berpendapat, tiada seorang pun yang meninggalkan shalat berjama`ah melainkan seorang munafik yang jelas-jelas nifak. Dan sesungguhnya pada masa dahulu ada seorang pria yang datang untuk shalat berjama`ah dengan dipapah oleh dua orang laki-laki sampai ia didirikan di dalam barisan shaff shalat berjama`ah.” (H.R. Muslim).

b. Hukum Shalat Berjamaah

Ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang hukum shalat berjamaah. Secara umum ada 3 pendapat besar:

Pendapat pertama, yaitu pendapat sebagian ulama yang memandangnya sebagai sunnat muakkad. Pendapat ini berlandaskan kepada semua dalil-dalil keutamaan shalat yang sudah dipaparkan di atas. Dan mereka melihat masih sahnya shalat sendirian berdasarkan hadits yang ada.

Pendapat kedua, para Ulama yang menganggap hukumnya Fardhu ‘ain. Bila seseorang tidak berjama’ah tanpa udzur maka ia berdosa. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil:
1) Firman Allah yang menyuruh shalat bersama-sama:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)

Kata “bersama” menunjukkan makna menemani, menyertai. Jadi, ayat ini bermakna “dirikanlah shalat bersama yang lain secara berjamaah!” Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Kebanyakan para ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjamaah.”

2) Tetapnya shalat berjamaah di saat shalat khauf ketika perang. Kalau hukumnya hanya sunnat, tentu dibolehkan shalat sendiri-sendiri dikala perang. Sebagaimana dalam firmanNya:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengahtengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu.” (QS an-Nisa: 102)

3) Rencana Rasulullah SAW yang hendak membakar rumah orang-orang yang tidak ikut shalat berjamaah. Jika hukumnya hanya sunnat, tentu tidak ada ancaman pembakaran rumah. Sebagaimana dalam haditsnya:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

Artinya: “Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seorang untuk mengimami manusia. Kemudian pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, lalu aku bakar rumahrumah mereka dengan api.” (HR. Ibnu Majah)

4) Rasulullah SAW tidak memberikan keringanan kepada sahabat yang buta untuk tidak datanag ke masjid, selama masih mendengarkan seruan adzan. Seandainya hukumnya sunnat, tentu orang buta akan dapat keringanan.
أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ
Artinya: Seorang lelaki yang buta mendatangi Rasulullah dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, saya tidak ada orang yang membimbing saya ke masjid.’ Maka ia meminta keringanan untuk shalat di rumah saja. Maka Rasulullah memberikan keringanan. Namun ketika orang tersebut sudah berbalik, Beliau bertanya, “Apakah kamu mendengar suara azan?” Ia pun menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Kalau begitu penuhilah (panggilan azan itu).”(HR Muslim dan Nasai)

Demikian pula hadits yang lain dari Ibnu Abbas ra,
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Artinya: “Barang siapa mendengar azan kemudian ia tidak mendatanginya, tidak sah shalatnya kecuali karena uzur.” (HR. Ibnu Majah)

Bagi yang berpendirian bahwa shalat jama’ah bukan wajib melainkan sunnah, mereka berpendapat bahwa hadits yang menyebutkan Rasulullah mengancam orang yang tidak jamaah akan dibakar rumahnya merupakan ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan jamaah karena nilai nifaq.

Pendapat ketiga, adalah yang pertengahan dari dua pendapat sebelumnya, yaitu yang menganggap hukum shalat berjamaah adalah Fardhu kifayah. Bila sebagian sudah menegakkan, maka yang lain gugur dari dosa kewajiban berjamaah. Dan itu merupakan penggabungan dari dalil-dalil yang telah dipaparkan.

Namun demikian, tetap saja shalat jamaah tetap anjuran yang perlu mendapat perhatian bagi kita. Yang meninggalkannya tanpa udzur yang syar’i tentu akan menerima konsekwensinya. Lebih dari itu, kalaupun dianggap sunnah, maka sunnah itu adalah yang sangat dianjurkan untuk mengerjakannya. Bukan untuk ditinggalkan.

Semua uraian hukum shalat berjamaah di atas adalah hukum bagi kaum lelaki. Adapaun bagi kaum perempuan shalat berjamaah itu hukumnya sunnat. Mereka boleh pergi berjamaah ke masjid dengan tetap menjaga aurat dan kehormatannya. Akan tetapi shalat di rumahnya lebih bagi baginya. Sebagaimana hadits shahih riwayat dari Ibnu Umar ra, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Artinya: “Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian (melakukan shalat) di masjid dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka (untuk shalat para wanita).” (HR Abu Daud)

c. Syarat menjadi Imam pada Shalat Jama’ah

Untuk shalat berjamaah harus dipimpin oleh seorang imam. Syarat menjadi imam adalah:
1) Muslim
2) Berakal
3) Laki-laki. Perempuan boleh mengimami kaum perempuan saja.
4) Baligh, dan dibolehkan anak yang mumayyiz menjadi imam bagi orang yang sudah baligh.
5) Bila ada beberapa orang layak menjadi imam, maka secara berurut mengikuti standar yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
6)
عن عقبة بن عمرو رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه و سلم يؤمّ القوم اقرؤهم لكتاب الله فإن كانوا في القرأة سواء فأعلمهم هجرة فإكانوا في الهجرة سواء فاقدمهم سنّا ولا يؤمن الرجل في سلطانه ولا يقعد في بيته على تكرمته إلا بإذنه

Artinya: Dari Uqbah bin Amr berkata bahwa RasulAllah SAW bersabda: “Hendaklah menjadi imam pada suatu kaum orang yang lebih ahli membaca qur’an, jika dalam hal ini mereka bersamaan maka yang lebih mahir dalam hal sunah (Hadis), apabila dalam hal inipun mereka bersamaan juga, maka yang lebih dahulu mengikuti hijrah, kalau tentang hal ini mereka bersamaan juga maka yang lebih dahulu islamnya (atau yang lebih tua umurnya). (H.R. Ahmad dan Muslim).

Dari hadits ini juga dipahami bahwa yang paling berhak menjadi imam bila ada penguasa (Sultan) adalah penguasa tersebut. Kecuali apabila ia menyerahkan kepada yang dia anggap lebih layak. Dan bila shalat berjamaah di sebuah rumah, maka tuan rumah yang paling berhak menjadi imam.

d. Posisi Makmum dalam shalat berjamaah.

Ada beberapa bentuk posisi imam bersama makmum dalam pelaksanaan shalat berjamaah:

Pertama, Makmum lelaki yang sendirian.

Hendaklah ia berdiri di sebelah kanan imam dan sejajar dengan imam. Hal ini sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ، فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَجِئْتُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ

Artinya: “Saya pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah (binti Al Harits, istri Rasulullah). Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya (di masjid), kemudian beliau pulang, dan shalat 4 rakaat. Lalu beliau tidur. Kemudian beliau bangun malam. Akupun datang dan berdiri di sebelah kiri beliau. Lalu beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Beliau shalat 5 rakaat, kemudian shalat dua rakaat, lalu tidur kembali” (HR. Bukhari no. 117, 697).

Kedua, bila makmum lelaki lebih dari satu orang.

Maka makmum bershaf di belakang imam. Hal ini berdasarkan dari hadits Jabir bin Abdullah ra, ia berkata:
قام النبي صلى الله عليه و سلم يصلّى المغرب فجئت فقمت عن يساره فنهانى فجعلنى عن يمينه ثم جاء صاحب لى فصفّفنا خلفه.

Artinya: “Nabi SAWberdiri mengerjakan shalat maghrib, lalu aku datang dan aku berdiri di sebelah kiri Nabi, maka Nabi menahanku. Kemudian Nabi SAW meletakkanku di sebelah kanannya, kemudian datanglah sahabatku, maka kami membuat shaf di belakang Beliau.(H.R.Abu Dawud)

Ketiga, Jika seorang lelaki mengimami wanita.

Maka kondisi ini penjelasan yang agar terperinci. Kita mengutip pernyataan Imam An Nawawi yang menjelaskan:

قال أصحابنا : إذا أمَّ الرجل بامرأته أو محرم له , وخلا بها : جاز بلا كراهة ; لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة . وإن أمَّ بأجنبية ، وخلا بها : حرم ذلك عليه وعليها , للأحاديث الصحيحة التي سأذكرها إن شاء الله تعالى . وإن أمَّ بأجنبيات وخلا بهن : فقطع الجمهور بالجواز

Artinya: “Para ulama madzhab kami berkata, jika seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan hanya berdua, hukumnya boleh tanpa kemakruhan. Karena lelaki boleh berduaan dengan mereka (istri dan mahram) di luar shalat. Adapun jika ia mengimami wanita yang bukan mahram, dan hanya berduaan, maka haram bagi si lelaki dan haram bagi si wanita. Karena hadits-hadits shahih yang akan saya sebutkan menunjukkan terlarangnya. Jika satu lelaki mengimami beberapa wanita dan mereka berkhalwat, maka jumhur ulama membolehkannya” (Al Majmu’, 4/173).

Adapun posisi wanita jika bermakmum pada lelaki, baik wanitanya hanya seorang diri ataupun banyak, maka posisinya adalah di belakang imam. Berdasarkan keumuman hadits Anas bin Malik ra, ia berkata:

صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

Artinya: “Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi SAW dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat, Bila wanita mengimami sesama wanita.
Jika seorang wanita menjadi imam bagi kaum wanita, maka imam berada di tengah shaf, bukan di depan shaf seperti imam laki-laki. Hal ini berdasarkan hadits dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :

أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ
Artinya: “Aisyah pernah mengimami para wanita dan ia berdiri diantara mereka dalam shalat wajib” (HR. Abdurrazaq dalam Al Mushannaf dan Al Baihaqi).

Dalam hadits lain dari Hubairah, ia mengatakan bahwa :
أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا

Artinya: “Ummu Salamah pernah mengimami para wanita dan ia berada di tengah-tengah”. (HR Abdurrazaq dalam Al Mushannaf dan Al Baihaqi).

Kelima, dalam kondisi sempit atau kurang kondusif.

Bila dalam kondisi ruangat yang sempit sehingga tidak bisa posisi makmum yang ideal di belakang imam, maka dapat menyesuaikan dengan keadaan. Hal ini berdasarkan hadits dari Al Aswad bin Yazid, ia berkata:

دخلتُ أنا وعَلقمةُ علَى عبدِ اللَّهِ بنِ مَسعودٍ فقالَ لَنا أصلَّى هؤلاءِ ؟ قُلنا : لا! قالَ قوموا فَصلُّوا. فذَهَبنا لنقومَ خلفَهُ فجعلَ أحدَنا عن يمينِهِ والآخرَ عن شمالِهِ . وقالَ : هكَذا رأيتُ رسولَ اللَّهِ فعلَ

Artinya: “Aku bersama Alqamah masuk ke rumah Ibnu Mas’ud. Lalu beliau berkata kepada kami: apakah kalian sudah shalat? Kami berkata: belum. Beliau mengatakan: kalau begitu bangunlah dan shalat. Maka kami pergi untuk shalat bermakmum kepada beliau. Beliau memposisikan salah satu dari kami di sebelah kanan beliau dan yang lain di kiri beliau. Beliau lalu berkata: demikianlah yang aku lihat dari perbuatan Rasulullah SAW.” (HR. Muslim dan An Nasa-i)

Wallahu A’laa wa A’lam

(bersambung Insya Allah)