Oleh: Irsyad Syafar

Dalam suasana fitnah dan ujian-ujian besar yang menimpa suatu bangsa, atau yang terjadi antara dua kelompok dalam barisan umat Islam sendiri, baik di dalam satu negara ataupun beberapa negara yang berbeda, ketika sulit dan rumit untuk memandang secara benar dan tepat, dan kadang bisa berakibat ada kezhaliman dalam sikap karena rumitnya menatap persoalan tersebut, maka kondisi itu harus dihadapi dengan beberapa kaedah penting agar dapat membantu memperjelas cara pandang sekaligus sikap, sehingga dapat mencapai hukum (sikap) yang adil.

a. Kaedah pertama: Bersikap adil terhadap kezhaliman

Berdasarkan firman Allah Swt di dalam surat Al Maidah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ. (المائدة: 8).

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maidah: 8).

 

Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya, maksudnya adalah jangan sampai kebencian kamu kepada suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil kepada mereka. Pakaikanlah keadilan itu kepada semua, baik kepada kawan maupun kepada lawan. Karena itulah Allah Swt kemudian berkata: “Berlaku adillah, sebab adil itu sangat dekat kepada taqwa.”

Jika terjadi sebuah kezhaliman dari sekelompok kaum tertentu karena mungkin Allah Swt murka dengan menghadirkan sebuah fitnah, maka tidaklah adil kalau kita lupakan semua kebaikan dan kontribusi sekelompok kaum muslimin tersebut. Disamping tentunya kita wajib memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka agar mereka melepaskan diri dari perbuatan zhalim.

Begitu juga kezhaliman musuh kepada kita tidak boleh melupakan kita akan sikap adil dalam mengambil keputusan. Sehingga kebenaran tetap harus kita ungkap dan kita tidak boleh membuat-buat atau merekayasa berita tentang mereka.

b. Kaedah kedua: Pemimpin tidak sama dengan yang dipimpin.

Diantara ujian yang menimpa umat kita hari ini ialah kebiasaan mengeneralisir segala sesuatu. Apabila seseorang dari sebuah negeri atau dari suatu kelompok/komunitas melakukan sebuah kesalahan atau kekeliruan, maka sebagian kita kadang cenderung menuduh semua penduduk negeri tersebut atau kelompok tersebut ikut serta bersalah. Ini merupakan sikap yang tidak adil dan menyelisihi akal sehat dan logika yang jernih.

Realita yang benar adalah tidak mungkin suatu masyarakat semuanya buruk, atau semuanya baik (shaleh). Karena itulah tidak boleh mengeneralisir. Sebagian pemimpin ada orang-orang yang jiwanya lemah. Tak peduli kecuali dirinya, keluarganya dan hartanya. Sehingga ia ikut sertakan bangsanya dalam sikap yang salah tersebut. Padahal mayoritas rakyat yang dipimpinnya tidaklah sepakat dengan sikapnya itu. Namun ketidaksepakatan mereka tersebut tenggelam dan tidak terlalu muncul ke permukaan. Disebabkan karena media dan kaki tangannya berada dibawah kendali penguasa yang zhalim tersebut.

Dengan tangan-tangan para buzer yang mencari sesuap nasi, opini bisa dibangun dan dikuasai untuk menutupi realita sebenarnya. Opini yang seperti ini tidak boleh menipu kita, sehingga kemudian kita memusuhi sebuah bangsa atau kelompok secara keseluruhan atas opini (kebohongan) yang dibuat oleh media. Dan realitanya, kebanyakan umat Islam di berbagai negara berada pada posisi tertindas atau termarginalkan atau belum mampu bersuara lepas untuk kebenaran.

c. Kaedah ketiga: Tinggalkan sikap fujur ketika bertikai

Sikap fujur adalah sikap keluar dari kebenaran. Ini merupakan salah satu sifat kaum munafikin. Sebagaimana dalam hadits riwayat Abdullah bin Amr, Nabi Saw bersabda:

أَربعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً ، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ. (رواهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

Artinya: “Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: (1) jika berkata, berdusta; (2) jika berjanji, tidak menepati; (3) jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; (4) jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Makna kandungan hadits ini terkait salah satu watak orang munafik yaitu bila ia berdebat dengan orang lain, maka ia akan melampaui batas dalam membantah, menyakiti lawan debat melebihi kesalahannya. Karena itu kita harus menjaga adab disaat fitnah agar tetap sesuai Islam. Tidak boleh kita membalas orang zhalim melebihi keburukan yang dilakukannya kepada kita. Kita hanya berhak membalikkan sebatas kezhalimannya yang menimpa kita. Tidak melebihi dari itu. Sebagai ilustrasi, bila ia merusak sebuah rumah, maka tidaklah kita balas dengan merusak sebuah negeri. Jangan karena seekor tikus, seisi rumah yang diobrak-abrik.

d. Kaedah keempat: Jangan sampai melupakan orang yang dizhalimi

Pihak yang teraniaya (dizalimi) adakalanya seseorang dan ada kalanya sekelompok orang, atau bahkan satu negeri sekaligus. Melupakan orang atau kelompok yang terzhalimi, menyia-nyiakan mereka dan tidak ada langkah kongkrit untuk membebaskannya dari kezhaliman adalah sebuah dosa besar yang berhak diadzab oleh Allah Swt. Melupakan mereka adalah bentuk kezhaliman lain, terutama bagi yang memiliki kemampuan untuk melakukan pembelaan tersebut.

Karena itu hendaklah kita perhatikan disekitar kita, barangkali ada seseorang atau sekelompok orang yang pada posisi terzhalimi. Bisa jadi mereka adalah orang-orang yang sangat dekat dengan kita, yang kadang kita tidak menyadarinya. Bisa jadi ia adalah istri kita, anak-anak kita, orang tua kita, kerabat kita, atau teman-teman dekat kita, atau rekan dalam pekerjaan kita. Perlu diingat, doa orang yang terzhalimi dikabulkan oleh Allah Swt.

e. Kaedah kelima: Menyikapi orang yang nyata keburukannya

Allah Swt menegaskan dalam firmanNya:

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا. (الكهف: 28).

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al Kahfi).

 

Para ulama kita mengajarkan bahwa tidak boleh kita berburuk sangka kepada orang yang secara lahiriah adalah baik dan bertaqwa. Ini adalah prinsip dasar. Karena itu, terhadap orang yang perbuatan dan perkataannya terkenal baik, tidak boleh kita meragukannya atau berprasangka negatif. Sebab kita hanya bisa melihat yang lahir saja. Yang batin itu hanya Allah yang tahu.

Adapun orang-orang yang kenyataan dan tampilan luarnya jelas-jelas buruk, berbuat keji, menghalalkan dosa, riba dan pelacuran, sering tampil tidak menutup aurat di media massa atau di depan umum, untuk orang-orang seperti ini bila mereka seolah-olah menyuarakan Islam, atau mengajak kebaikan, maka tidak bisa langsung dipercayai. Jangan sampai tertipu dengan gaya seperti ini. Sebab ucapan dan “kampanyenya” tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan perbuatan dan tampilannya. Orang beriman tidak boleh “tersengat” dua kali dalam lobang yang sama.

Sudah sering terjadi di berbagai negeri dan belahan dunia, orang-orang yang mengusung slogan-slogan Islam dan kebaikan, namun kemudian tersingkap bahwa ternyata mereka hanya berbohong dan menipu. Dan sudah berulang kali pula umat ditipu dan diperdaya.

f. Kaedah keenam: Bersandar kepada Ulama dan ahlinya

Kadangkala tidak jelasnya cara pandang disebabkan oleh sangat kuatnya fitnah dan ujian. Karenanya sangat berbahaya ketika itu bila hanya mengandalkan pemikiran pribadi atau individu. Urgen sekali untuk merujuk kepada pemikiran bersama para ulama dan ahli fikir/dzikir yang lurus, yang memiliki wawasan, ilmu dan pengalaman secara empiris di medan dakwah, dan selalu berkomitmen kepada Al Quran dan sunnah Rasul Saw yang mulia.

Lazimnya hati akan lebih tenang kepada sikap bersama para Ulama dan ahli dzikir. Dan mereka biasanya tidak khawatir dan takut kecuali hanya kepada Allah Swt, juga tidak mengharapkan perhiasan dunia yang akan menghalangi sikap mereka terhadap kebenaran. Lebih dari itu, hati manusia berada dalam genggaman jari-jari Allah, Dia bolak-balikkan sekehendakNya. Dari hadits Abu Najih Al ‘irbadh bin Saariyah, Rasulullah Saw telah bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. (رواه أبو داود والترميذي).

Artinya: “Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigit-lah dia dengan gigi geraham kalian.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

 

g. Kaedah kedelapan: Kembali kepada Allah

Sejalan dengan berbagai-langkah-langkah manusiawi di atas, tetap saja manusia berpeluang jatuh kepada kesalahan dan kelalaian atau juga mendapatkan kebenaran. Yang selamat dari kesalahan dan kekurangan hanyalah Allah Pencipta seluruh langit dan bumi. Karena itu tempat bersandar sebenarnya tetaplah kepada Allah. kita harus senantiasa memohon petunjuk dariNya, sejak dari awal munculnya fitnah dan musibah sampai akhirnya.

Jangan sampai kita menyandarkan sepenuhnya kepada akal dan otak kita. Atau bersandar sepenuhnya kepada makhluk, betapapun ia punya data, perangkat, strategi dan segalanya. Sebab makhluk akan tetap makhluk karena keterbatasannya. Orang yang meyakini ini semua niscaya ia akan memperoleh harta karun dari surga. Sebagaimana sabda Rasul Saw kepada Abu Musa:

ألاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزِ الْجَنَّةِ؟ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّه. (رواه التخاري).

Artinya: “maukah aku tunjukkan kepadamu suatu kalimat yang termasuk dari harta karun surga? Aku menjawab: Tentu. Beliau bersabda: Laa haula wa laa quwwata ilIa billaah (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan AlIah).” (HR Bukhari).

 

Seluruh kekuatan dan daya upaya hanya milik dan kekuasaan Allah sepenuhnya. Dialah yang berkuasa mengatur segala sesuatu. Kita makhlukNya tidak berdaya apa-apa. Wallahu Waliyyut Taufiq.

(dari kitab Adabul Bala: Abdul Hamid Al Bilaliy).