Oleh: Irsyad Syafar

Diantara bentuk aplikasi dari menahan lidah adalah melakukan tabayyun. Yaitu mengkonfirmasi kebenaran sebuat berita kepada sumber yang terpercaya. Ini merupakan salah satu kiat paling aman dalam menghindari kesalahahpahaman dan kesalahan sikap dalam pergaulan dengan sesama. Terutama tentunya bagi orang-orang yang beriman. Berikut ini beberapa kejadian yang sangat erat dengan masalah tabayyun, yang digambarkan di dalam Al Quran.

 

a. Asbabun nuzul surat Al Hujurat: 6

 

Imam Ibnu Katsir menukilkan riwayat tentang penyebab turunnya surat Al Hujurat ayat 6. Dimana ayat ini turun setelah terjadinya sebuah peristiwa pada Al-Haris ibnu Abu Dirar Al-Khuza’i ra yang baru saja masuk Islam dan kemudian mengajak kaumnya untuk masuk agama Islam. Ada beberpa jalur yang meriwayatkan kisah kejadiannya. Salah satu yang terbaik adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya.

 

Al Haris menceritakan hadis berikut: Aku datang menghadap kepada Rasulullah Saw. Beliau menyeruku untuk masuk Islam, lalu aku menyatakan diri masuk Islam. Beliau Saw. menyeruku untuk zakat, dan aku terima seruan itu dengan penuh keyakinan. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan kembali kepada mereka (kaumnya) dan akan kuseru mereka untuk masuk Islam dan menunaikan zakat. Maka barang siapa yang memenuhi seruanku, aku kumpulkan harta zakatnya. Dan engkau ya Rasulullah, tinggal mengirimkan utusanmu kepadaku sesudah waktu ini dan ini agar dia membawa harta zakat yang telah kukumpulkan kepadamu.”

 

Setelah Al-Haris mengumpulkan zakat dari orang-orang yang memenuhi seruannya dan masa yang telah ia janjikan kepada Rasulullah Saw telah tiba untuk mengirimkan zakat kepadanya, ternyata utusan dari Rasulullah Saw. belum juga tiba. Akhirnya Al-Haris mengira bahwa telah terjadi kemarahan Allah dan Rasul-Nya terhadap dirinya. Untuk itu Al-Haris mengumpulkan semua orang kaya kaumnya, lalu ia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menetapkan kepadaku waktu bagi pengiriman utusannya kepadaku untuk mengambil harta zakat yang ada padaku sekarang, padahal Rasulullah Saw. tidak pernah inkar janji. Aku merasa telah terjadi suatu hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Karena itu, marilah kita berangkat menghadap kepada Rasulullah Saw. (untuk menyampaikan harta zakat kita sendiri).”

 

Bertepatan dengan itu Rasulullah Saw mengutus Al-Walid ibnu Uqbah kepada Al-Haris untuk mengambil harta zakat yang telah dikumpulkannya. Ketika Al-Walid berangkat ke Bani Musthaliq dan sampai di tengah jalan, tiba-tiba hatinya gentar dan takut. Lalu ia kembali kepada Rasulullah Saw. dan melapor kepadanya: “Hai Rasulullah, sesungguhnya Al-Haris tidak mau memberikan zakatnya kepadaku, dan dia akan membunuhku.” Mendengar laporan itu Rasulullah Saw. marah, lalu beliau mengirimkan sejumlah pasukan kepada Al-Haris.

 

Ketika Al-Haris dan teman-temannya sudah dekat dengan kota Madinah, mereka berpapasan dengan pasukan yang dikirim oleh Rasulullah Saw. itu. Pasukan tersebut melihat kedatangan Al-Haris dan mereka mengatakan, “Itu dia Al-Haris,” lalu mereka mengepungnya. Setelah Al-Haris dan teman-temannya terkepung, ia bertanya, “Kepada siapakah kalian dikirim?” Mereka menjawab, “Kepadamu.” Al-Haris bertanya, “Mengapa?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah mengutus Al-Walid ibnu Uqbah kepadamu, lalu ia memberitakan bahwa engkau menolak bayar zakat dan bahkan akan membunuhnya.” Al-Haris menjawab: “Tidak, demi Tuhan yang telah mengutus Muhammad Saw. dengan membawa kebenaran, aku sama sekali tidak pernah melihatnya dan tidak pernah pula kedatangan dia.”

 

Kemudian Al-Haris datang untuk menemui Rasulullah Saw. Maka Beliau Saw bertanya kepada Al Haris, “Apakah engkau menolak bayar zakat dan hendak membunuh utusanku?” Al-Haris menjawab, “Tidak, demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku belum melihatnya dan tiada seorang utusan pun yang datang kepadaku. Dan tidaklah aku datang melainkan pada saat utusan engkau datang terlambat kepadaku, maka aku merasa takut bila hal ini membuat murka Allah dan Rasul-Nya.” Al-Haris melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah ayat dalam surat Al-Hujurat ini, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita. (Al-Hujurat: 6)

 

Peristiwa di ataslah yang menjadi penyebab turunnya surat Al Hujurat: 6. Kalau tidak terjadi tabayyun, dan Al Haris tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tentulah informasi yang tidak akurat dari Al Walid  bin Uqbah tadi bisa menyebabkan sekelompok kaum mendapat musibah. Yaitu mereka akan diperangi oleh pasukan Rasulullah Saw. Betapa fatalnya akibat yang akan terjadi bila bersikap atas dasar informasi yang tidak valid.

 

Disekitar kita sudah sering terjadi sikap main hakim sendiri gara-gara bisikan syetan dan informasi yang tidak valid. Tidak jarang tindakan itu telah mengakibatkan teraniayanya orang lain, terampasnya hak, dan bahkan hilangnya nyawa tanpa bersalah sedikitpun. Seseorang bisa mati karena korban pengeroyokan gara-gara dia diteriaki maling oleh orang lain. Massa yang jahil, bodoh dan tidak tabayyun berubah menjadi beringgas dan sadis. Mereka bahkan bukan saja tidak mampu menahan lidah, malah mereka melakukan tindakan pembunuhan bersama. Sungguh dosanya teramat besar disisi Allah.

 

Dalam kitab Faidhul Qadir Imam Ibnul Qayyim menyatakan: “Sesungguhnya terburu-buru itu berasal dari syetan. Dan terburu-buru itu ringan, liar dan tajam pada diri seorang hamba. Akibatnya ia terhalang dari kehati-hatian, kesabaran dan kesantunan. Ia berakibat timbulnya kezaliman (meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya), mengundang keburukan dan menghambat kebaikan. Dan ia menjadi penyebab lahirnya dua sifat tercela yaitu pecah belah dan bertindak sebelum waktunya.”

 

b. Nabi Musa dengan Khidhir

 

Para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia pilihan Allah di muka bumi. Dan mereka adalah qudwah bagi kaumnya. Karena itu mereka mesti memiliki sifat hati-hati, menahan diri dan tabayyun dalam bersikap. Mereka tidak boleh melakukan kezhaliman. Maka Allah mentarbiyah (membimbing) mereka untuk memiliki kesempurnaan akhlak mulia tersebut. Sebab, sikap terburu-buru, liar dan tidak akurat dalam mengambil keputusan bukan sifat manusia sempurna.

 

Salah satu Nabi Allah yang mendapatkan pendidikan akhlak mulia ini adalah Nabi Musa as. Yaitu saat ia diuji oleh Allah untuk belajr dan menuntut ilmu kepada lelaki shaleh yang terkenal nama Khidhir. Sebelumnya Nabi Musa as sempat merasa sebagai orang yang paling ‘alim di muka Bumi. Tapi Allah berkehendak lain, dengan mempertemukannya dengan lelaki yang punya pengetahuan yang tidak diketahui oleh Nabi Musa as. Khidhir memberikan syarat kepada Nabi Musa as untuk boleh menemaninya dalam perjalanan, yaitu harus bersabar dan tidak boleh berkomentar dan bertanya tetang yang diperbuat oleh Khidhir sebelum dijelaskannya.

 

Setelah Nabi Musa bersedia memenuhi janji dan syarat di atas, maka berjalanlah ia mengikuti Khidhir. Dalam perjalanan tersebut ada 3 kali perbuatan Khidhir yang langsung saja dikomentari dan dipertanyakan oleh Nabi Musa. Ia lupa akan janji dan syarat yang telah ia sepakati. Pertama, Khidir melobangi kapal yang ditumpangi. Kedua, Khidhir membunuh seorang anak kecil. Dan ketiga, Khidhir memperbaiki dinding rumah anak yatim setelah mereka lapar dan haus tapi tidak ada yang mau menjamu mereka untuk makan.

 

Nabi Musa tidak dapat bersabar menahan dirinya. Setiap kali tindakan Khidhir yang aneh itu muncul, langsung saja mengomentarinya. Sehingga kemudian Khidhir menyatakan sebagaimana firman Allah:

 

قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا. (الكهف: 72).

 

Artinya: “Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”. (QS Al Kahfi: 72).

 

Karena sudah tiga kali melaggar syarat dan perjanjian, dan Nabi Musa kurang bersabar dalam menghadapi tindak-tanduk Khidhir, maka berakhirlah masa Nabi Musa as membersamainya dalam perjalanan. Namun Khidhir memberikan penjelasan atas semua sikap yang telah ia lakukan agar menjadi jelas bagi Nabi Musa as. Allah SWT berfirman:

 

قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِى وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا. (الكهف: 78).

 

Artinya: “Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS al Kahfi: 78).

 

Setelah penjelasan Khidhir atas 3 kejadian yang ia lakukan kepada Nabi Musa, merekapun berpisah. Namun melalui peristiwa ini sedang membimbing Nabinya yang mulia untuk mendapatkan akhlak yang tinggi dan agung. Pelajaran ini juga berlaku bagi para da’I dan kaum mukminin agar mampu menahan diri dan tabayyun sebelum mengingkari sesuatu. Dan barang siapa yang memiliki sifat ini, ia telah mendapatkan sebagian dari sifat kenabian. Rasulullah Saw bersabda:

 

السَّمْتُ الحَسَنُ، وَالتُّؤَدَةُ وَالِاقْتِصَادُ جُزْءٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ. (رواه الترميذي).

 

Artinya: “Perjalanan hidup yang baik, tenang, dan pertengahan adalah satu dari dua puluh empat bagian kenabian.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

 

c. Nabi Sulaiman dengan burung Hudhud.

 

Sifat tabayyun dan kehati-hatian ini terdapat dalam diri Nabi yang mulia Nabi Sulaiman bin Daud as. Yaitu kisah Beliau dengan burung hudhud. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

 

وَتَفَقَّدَ ٱلطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِىَ لَآ أَرَى ٱلْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ ٱلْغَآئِبِينَ. لَأُعَذِّبَنَّهُۥ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَا۟ذْبَحَنَّهُۥٓ أَوْ لَيَأْتِيَنِّى بِسُلْطَٰنٍ مُّبِينٍ. (النمل: 20-21).

 

Artinya: “Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang.” (QS An Naml: 20-21).

 

Nabi Sulaiman sangat tegas dan disiplin dalam mengatur seluruh pasukannya. Akan tetapi Ia bukanlah seorang raja yang diktator. Ia belum lagi mendengar alasan burung hudhud kenapa terlambat dan tidak hadir. Maka Nabi Sulaiman tidak langsung mengambil tindakan. Akan tetapi ia berikan peluang bagi burung hudhud untuk menyampaikan argumen dan alasannya. Ia tugaskan burung hudhud untuk membuktikan kebenaran perjalanannya ke negeri Saba. Maka diperintahkannya untuk mengirim surat kepada ratu Balqis. Yang kemudian surat itu mendapatkan balasan dari ratu Balqis diiringi dengan beberapa hadiah. Maka terbuktilah kebenaran informasi dan alasan burung hudhud. Dengan demikian terlihat bagaimana karakter seorang Nabi dan Raja yang adil.

 

Wallahu Waliyyut taufiq.

(dari kitab Adabul Bala: Abdul Hamid Al Bilaliy).