Wabah virus corona yang melanda dunia global, termasuk dunia Islam, berakibat merevolusi tatanan kehidupan hingga struktur demografi manusia, di mana menurut data statistik yang dikutip dari laman Organisasi Konferensi Islam (www.oic-oci.org), untuk negara-negara mayoritas berpenduduk Islam tercatat hingga 13/6/2020, total kasus berjumlah 1.155.328 dengan angka kematian 26.827 orang.

Wabah shirawih

Sebenarnya dunia Islam tidak hanya sekali ini saja mengalami pandemi, tercatat wabah pertama kali dalam sejarah Islam terjadi pada masa kenabian sekitar tahun 627-628 M, dikenal dengan wabah shirawaih karena dinisbahkan kepada nama raja Dinasti Sasanian Persia saat itu Siroes (Kobad III) dan muncul pertama kali di kota Ctesiphon (Mada’in, Irak sekarang), pun Siroes meninggal karena wabah ini. Wabah ini hemat penulis menjadi salah satu sumber kemunculan riwayat-hadits tentang wabah pada era kenabian khususnya di Madinah, di mana Nabi berhijrah tahun 622 M.

Wabas amwas

Namun yang paling banyak diingat di awal sejarah Islam adalah wabah amwas (Emmaus) atau wabah Siria yang terjadi sekitar tahun 17/18 H atau 638/639 M, 6 tahun setelah Nabi wafat, atau pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khatab ra. Nama wabah yang dinisbahkan pada sebuah kota kuno di Palestina yang termasuk wilayah Syam saat itu (Suriah sekarang) ini ditimbulkan oleh kutu yang terinfeksi bakteri yersinia pestis yang dibawa oleh binatang kecil semacam serangga.

Dianggap salah satu wabah besar karena saat itu menewaskan kurang lebih 25.000 pasukan muslim yang sedang berhadapan dengan tentara Bizantium, termasuk para sahabat senior antara lain Abu Ubaidah bin Jarrah ra, Muadz bin Jabal ra, Syurahbil bin Hasanah ra, Yazid bin Abi Sufyan radan Harits bin Hisyam bin Al-Mughirah ra. Yang menarik di sinilah terjadi dialog bersejarah antara Umar dengan Abu Ubaidah dengan latarbelakang keinginan Umar untuk menarik pasukannya dari kamp (tenda pasukan) di Amwas untuk menghindari wabah, khususnya para sahabat yang turut serta di dalamnya.

Termasuk panglimanya yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah ra Namun Ubaidah menolak dan berdalih dengan hadits Nabi akan larangan meninggalkan wilayah terdampak wabah di Siria tersebut, pun demikian adalah kehendak-takdir Tuhan, hingga Umar berinisiatif mendatangi Ubaidah di Siria dan bertemulah keduanya di kota Sargh. Dengan bijak Umar merayu dengan memberi pilihan kepada Ubaidah lewat analogi metaforis, mana yang akan engkau pilih, “suatu wilayah yang subur penuh rerumputan di mana unta bisa tercukupi makanannya, atau wilayah kering kerontang yang tiada rerumputan?”.

Dalam riwayat lain ucap Umar, “kita berpindah dari satu takdir Allah ke takdir Allah yang lain”. Artinya Umar tidak mengajak melawan kehendak Tuhan, namun berikhtiar menyelamatkan pasukan Muslim ke daerah yang lebih sehat dan aman, yaitu kembali ke Madinah.

Sebuah analogi yang mencerminkan bagaimana umat Islam merespons wabah penyakit dan mengubah paradigma terhadap wabah sebelumnya yang paling tidak berkutat pada tiga hal yaitu: a) wabah adalah keberkahan dan kesyahidan dari Tuhan serta hukuman untuk orang yang ingkar (kafir); b) orang Islam tidak boleh meninggalkan dan atau memasuki wilayah yang terpapar wabah; c) adanya kepercayaan bahwa penyakit itu tidak ada apalagi menular (hadits “la ‘adwa-tidak ada penularan penyakit”) karena Tuhanlah yang mengirimkan penyakit hingga menimbulkan sikap jabr-pasrah (Dols: 1974).

Wabah black death

Wabah terparah selanjutnya adalah black death (maut hitam) yang awal penyebarannya dari Eropa, Asia dan Afrika pada abad ke 14 M, hingga memasuki dunia Islam melalui kota-kota besar di Timur Tengah (1347-1349 M): Mekah, Madinah, Kairo, Kairouan (Tunisia), Damaskus, Mosul, Basrah, Baghdad, Palestina, Konstantinopel dan menyebabkan kematian di seluruh dunia saat itu kurang lebih 200 juta orang.

Sejarawan Al-Maqrizi melukiskan penyebaran wabah ini di Kairo pada Ramadhan 749 H/Januari 1349 M, di mana banyak orang yang tertular dengan tanda awal meludah darah, demam tinggi, mual lalu meninggal, sehingga masjid ditutup dan ibadah shalat jum’at ditiadakan. Sejarawan lain, Al-‘Aini, menambahkan, ketika orang lain bertatap muka dengan orang yang terkena virus, maka dalam beberapa langkah, ia langsung meninggal. Sejarawan Al-Dzahabi mencatat di Cordoba masjid-masjid ditutup, sedang Ibnu Hajar Al-Asqalani melaporkan di Mekah setiap hari rata-rata sekitar 40 orang meninggal.

Penyikapan muslim akan wabah ini paling tidak terbagi dari sudut pandang teologi dan sains, bahkan keduanya berlawanan kontradiktif selain juga terjadi konvergensi, di mana dalam kasus Ibnu al-Khatib (1313-1375 M), seorang dokter ahli epidemiologi di Granada Andalusia (Spanyol sekarang), yang melakukan penelitian empiris mengenai penyebab wabah black death saat itu, namun dituduh melakukan bidah (heresy) oleh para ulama konservatif, yang bisa jadi ia dituduh melawan kehendak Tuhan melalui wabah hingga ia malah dipenjara dan meninggal di dalamnya.

Lewat bukunya Muqni’at as-Sa’il ‘an Maradh al-Ha’il, ia dianggap ilmuwan pertama yang membedakan antara wabah bubonic dan pneumonic. Jika wabah penyakit pes atau sampar (bubonic) menyerang kelenjar getah bening sebagai bagian penting sistem kekebalan tubuh yang banyak membantu melawan virus yang dibawa bakteri, wabah pneumonic yang dibawa oleh bakteri yersinia pestis menyerang paruparu manusia. Ia juga ilmuwan pertama yang menganalisa siklus wabah, mulai dari organisme penyebab penyakit, hewan yang membantu penularan (vektor) hingga tempat bersarang dan berkembangbiaknya (reservoir) (Ober & Aloush 1982).

Penyikapan dari sisi sains akan wabah di dunia Islam juga dilakukan oleh banyak namanama ulama cum ilmuwan antara lain Ali bin al-Abbas Al-Majusi (w. 998 M), Ibnu Sina (w. 1037 M), Ibnu an-Nafis (w. 1288), Ibnu Al Wardi (w. 1349 M), dan Ibnu Abi Hajalah (1362 M), Ibnu Khatimah (w. 1369 M).

Di mana selain mereka melakukan penelitian empiris mandiri perihal penyebab wabah, juga terpengaruh oleh karya-karya Yunani yang diterjemahkan pada masa kejayaan Islam, antara lain karya Gallen (129-210 SM), De Differentiis Febrium dan Of The Epidemics-nya Hippocrates (460-370 SM).

Buku Hippocrates diberikan kritik dan komentar lewat penelitian empiris Ibnu an-Nafis (1210-1288 M) dalam bukunya, Syarh Kitab al-Epidema, di mana ia berpendapat bahwa penyebaran wabah tidak hanya terkait dengan kondisi lingkungan geografis asal muasal wabah, namun juga terkait faktor biologis manusia, yaitu usia dan jenis kelamin.

Dari sisi teologi dan sejarah Islam, banyak karya-karya khusus mengenai wabah (tha’un) yang dihasilkan oleh para ulama berkisar ratusan (termasuk dari sisi sains) dan yang terpopuler adalah Badhlu al-Ma’un fi Fadhli at-Tha’un oleh Ibnu Hajar AlAsqalani (w. 1449 M) dan Jalaludin As-Suyuthi (w. 1505 M) seorang ulama multi keahlian (polymath) dalam Ma Rawahul-wa’un fi Akhbar at-Tha’un.

Demikian menandakan bahwa wabah dalam sejarah Islam direspons dengan sangat dinamis oleh para pemeluknya dan menunjukan bahwa Islam adalah ajaran yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dalam hal ini kesehatan, wabil khusus epidemiologi.

sumber : (https://suaramuhammadiyah.id/2020/09/07/sejarah-wabah-di-dunia-islam/)