PADANG, sippfm.com- Beberapa waktu terakhir kasus kejahatan seksual menjadi fenomena mencolok di Sumatera Barat. Data BPS tahun 2019 menunjukkan Sumbar menjadi provinsi tertinggi dengan kasus pemerkosaan yang terjadi di perdesaan. Ditambah dengan peningkatan kasus kejahatan seksual yang terjadi tiap tahunnya di Sumbar. Tentunya hal tersebut mencoreng Sumbar yang menampilkan diri sebagai provinsi religius dengan filosofi Adat Basandi Syara, Syara Basandi kitabullah (ABS-SBK).

Berdasarkan jajak pendapat yang dilakuikan oleh Ranah Institue secara online pada 18-25 Januari 2022 lalu, lebih dari setengah responden setuju bahwa kejahatan seksual terjadi karena korban berduaan di suasana yang sepi(95,5%) dan lingkungan pergaulan yang salah (93.8%).

Jajak pendapat ini dilakukan secara online yang dilakukan pada 18-25 Januari 2022. Responden tersebar di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat kecuali Mentawai dengan presentase responden terbesar terdapat di Padang. Adapun jenis kelamin presentase yang mengisi kuisoner adalah laki-laki sebanyak 47,6 persen dan perempuan 52,4 persen.

“Dua penyebab utama di atas terbukti menjadi faktor yang di temukan pada sebagian besar kasus kejahatan seksual. Pada kasus yang terjadi di tahun 2021 terdapat kejadian kejahatan seksual saat malam minggu bersama pacar di lokasi camping, saat pulang dari karaoke bersama teman SMA, saat berpacaran di rumah pelaku, berpacaran hingga dini hari, menginap di rumah pacar dan berpergian ke luar kota bersama pacar,” papar Fajri Syukri MIP, peneliti Ranah Institute.

Lebih dari setengah responden setuju bahwa pelaku terdorong untuk melakukan pelecehan seksual karena faktor kehampaan spiritual (90,6%) dan tidak adanya kontrol keluarga (93,1%). Faktor pertama (kehampaan spiritual) tidak terhimpun dalam berita yang dirilis media karena perlu pendalaman informasi mengenai profil pelaku secara lebih mendalam terhadap kondisi keagamaan dan keluarga pelaku. Faktor kedua (tidak adanya kontrol keluarga) dapat terlihat dalam kasus pacaran, seperti pacaran ke luar kota hingga menginap di rumah pelaku dan berbagai kasus kejahatan seksual yang di awali dengan hubungan pacaran anak di bawah umur. Hal ini menunjukkan lemahnya kontrol keluarga.

Selain itu, responden setuju bahwa seringnya menonton video porno menjadi pendorong utama seseorang melakukan kejahatan seksual (96%). 84,7% responden setuju bahwa cara berpakaian korban juga menjadi faktor kejahatan seksual terjadi. Lebih dari setengah responden juga setuju bahwa pelecehan secara verbal di media sosial terjadi kerena korban memajang foto dengan pakaian ketat (93,8%) dan video goyangan yang tidak pantas (96%).

Berkaitan dengan respon ketika mendengar terjadinya kekerasan seksual, 98% responden marah ketika mendengar terjadinya kekerasan seksual di lingkungannya. Dan menurut 55,3% responden berpandangan bahwa memukul pelaku kejahatan seksual adalah tindakan yang pantas, sedangkan 44,7% mengatakan tidak boleh memukul pelaku. Mayoritas responden (97,1%) akan melaporkan kasus kejahatan seksual yang mereka tau, dengan 76,9% responden akan berhati-hati dalam bertindak ketika mengetahui kasus tersebut karena bersifat sensitif dan privat. Ini memperlihatkan bagaimana kesadaran responden sangat tinggi terkait kejahatan seksual ini.

Dalam hal pelaporan, lebih dari setengah responden (58,3%) akan melaporkan kasus kejahatan seksual yang mereka ketahui ke polisi. Di samping itu ada juga yang melaporkan ke  pihak berwenang lainnya (26.1%), pemerintah seperti RT/RW/Jorong/Nagari (8.4%), KPAI (3.3%), pemuka masyarakat/Niniak Mamak (1.3%), ulama (1.3%), komnas HAM (1%), dan pejabat kampus (0.3%). Mayoritas responden (76,5%) menilai saat ini Sumatera Barat sedang darurat kejahatan seksual.

Terkait pandangan responden tentang hukuman atas pelaku kejahatan seksual, lebih dari setengah resonden (55%) berpandangan bahwa hukuman saat ini tidak sesuai bagi pelaku kejahatan seksual. Soal hukuman mati atas pelaku, melihat dari sisi HAM, 40,8% setuju dengan pandangan HAM yang menentang hukuman mati, namun melihat dari sisi korban, 84% responden berpandangan bahwa pelaku kejahatan seksual atas anak pantas untuk dihukum mati. Adapun terkait hukuman kebiri, mayoritas (88,3%) setuju dengan hukuman kebiri atas pelaku kejahatan seksual.

Selain menyebarkan kuisoner di atas secara online, Ranah Institute juga mencoba untuk melihat siapa pelaku dari kejahatan seksual (perkosaan dan pencabulan) itu sendiri untuk wilayah Sumatera Barat. Sampel diambil dari 30 pelaku yang diberitakan melalui media online di Sumbar untuk kasus pada tahun 2021. Dari olahan data tersebut diperoleh ragam latar belakang pelaku kejahatan seksual mulai dari pacar/teman (40%), kerabat dekat/keluarga (30%), orang tak dikenal (13.3%), pengajar (10%), tetangga (6.7%).

“Dari data terebut tampak bahwa, mayoritas pelaku kejahatan seksual adalah orang-orang yang dikenal oleh korban, baik itu keluarganya, teman atau pacar, tetangga serta pengajar mereka dengan total 86,7%. Adapun orang tak dikenal hanya 13,3%. Artinya, perlu Kerjasama semua pihak untuk mencegah kasus kekerasan seksual ini terjadi, mulai dari keluarga, kepedulian tetangga, peran ulama dan penegak hukum,” tutupnya. (*)