Ustaz H. Irsyad Syafar, Lc, M.Ed
(Pembina Yayasan Waqaf Ar Risalah Padang)

Orang yang benar-benar ikhlas adalah orang yang tidak peduli kalau seluruh penghargaan terhadap dirinya hilang dari dalam hati seluruh makhluk, demi untuk kebersihan hati dan dirinya. Ia tidak suka manusia mengetahui secuilpun amalan kebaikannya. Dan ia tidak benci jika keburukannya diketahui oleh banyak orang. Sebab kalau ia membenci hal itu, berarti ia memang berharap bertambahnya penilaian manusia terhadap dirinya. Dan itu bukanlah ciri orang yang benar-benar ikhlas. (Ibnul Qayyim-Madarijus Salikin).

Keikhlasan adalah ketika hanya Allah yang menjadi maksud dan tujuan seseorang dalam beribadah. Dan ketika itulah akan muncul “hikmah” dari dalam hatinya melalui lidahnya. Dan setiap kali keikhlasan seseorang menguat, maka semakin sempurnalah (meningkat) ‘ubudiyahnya kepada Allah. (Ibnu Taimiyah-Al Fatawaa).

Orang yang suka berbuat riya tidaklah (selalu) mempertimbangkan manusia (makhluk) melainkan karena ia bodoh (jahil) terhadap keagungan Allah (Al Khaliq). (Ibnu Rajab-Kalimatul Ikhlas).

Pemahaman (beragama) yang benar merupakan cahaya yang Allah anugerahkan ke dalam dada hambaNya, yang ditopang oleh ketaqawaan kepadaNya dan bagusnya niat (maksud) hamba tersebut. (Ibnul Qayyim-A’lam Al Muwaqi’in).

Orang yang benar-benar ikhlas obsesinya adalah mencari ridha Allah, menunaikan perintah-perintahNya dan mengikuti segala yang disukaiNya. Maka, ia selalu berputar dan beredar disana, berjalan bersamanya dimana pun berada, berpindah kemana pun hal tersebut  berpindah. Adakalanya ia dalam shalat, atau ia dalam dzikir, atau di dalam peperangan (jihad), atau tengah berbuat baik kepada makhluk dengan mengajar mereka, atau bentuk-bentuk kebaikan (yang bermanfaat) lainnya. (Ibnul Qayyim-Madarijus Salikin).

Barang siapa yang senantiasa memperbaiki batinnya niscaya akan semerbak wangi berbagai kemuliaannya, dan hati manusia akan senang menyebarkan kebaikannya. Maka sungguh demi Allah, memperbaiki batin itu sangatlah utama. Karena tiadalah berguna bagusnya tampilan lahir seseorang jikalau batinnya rusak. (Ibnul Jauzi-Shaidul Khathir).

Betapa banyaknya cacat di dalam hati, obsesi dan keinginan-keinginan yang dapat menghalangi keikhlasan beramal kepada Allah, dan menghalangi sampainya amalan tersebut kepadaNya. Karena itulah, kadang ada seorang hamba melakukan sebuah amal shaleh, yang tak seorang pun menyaksikannya, tapi ia tidak ikhlas. Sebaliknya, ada juga hamba yang melakukan sebuah amal shaleh, banyak mata menyaksikannya, tapi ia mampu untuk ikhlas. Tidak ada yang bisa membedakannya kecuali para pakar bashirah dan dokter-dokter hati, yang tahu penyakit hati dan obatnya. (Ibnul Qayyim-Madarijus Salikin).

Tidak akan pernah bersatu ikhlas di dalam hati dengan cinta pujian dan sanjungan serta tamak kepada (balasan) manusia, sebagaimana tidak akan pernah bersatunya air dengan api. Dan beramal tanpa ikhlas hanya bagaikan musafir yang memenuhi bungkusannya dengan pasir. Itu akan menjadi beban dan tidak bermanfaat baginya. (Ibnul Qayyim-Al Fawaid).

Seluruh amal shaleh, yang lahir maupun yang batin, sumbernya adalah kejujuran (kepada Allah). Dan seluruh perbuatan buruk, baik lahir maupun batin, sumbernya adalah kebohongan. (Ibnul Qayyim-Al Fawaid).

Seiring dengan semakin sempurnanya keikhlasan, dzikrullah, dan semangat kepadaNya, maka semakin kecil peluang (hamba) jatuh kepada dosa. Dan seorang hamba yang ikhlas, tidak akan memandang dirinya melainkan (masih) lalai. Karenanya ia akan sibuk mengagungkanNya, dan menganggap kecil dirinya, serta sibuk dengan aib-aibnya. (Ibnul Qayyim-Madarijus Salikin).

Seorang yang benar-benar ikhlas, ketika merasakan bahwa kata-katanya, perbuatannya, dan nasehat-nasehatnya, sepertinya membuat orang lain tergugah dan tersentuh, maka ia segera menyendiri bersama Allah, memohon ampun kepadaNya, agar dihatinya tetap hanya Dia, tiada sekutu bagiNya.

Seorang ulama yang sudah tua ditanya oleh seorang anak muda dengan penuh semangat, “Ya Syaikh, dengan apa Engkau akan menghadap Allah, sedangkan jenggotmu sangat tipis?” Ulama tersebut menjawab, “Aku akan menghadapNya dengan hati yang bersih (qalbin salim).” Lalu ia membacakan penggalan hadits yang maknanya: “Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang kepada fisik dan bentuk kalian. Akan tetapi Allah SWT memandang hati dan amalan kalian.”

Muhammad bin Ishaq menceritakan bahwa sekelompok orang di kota Madinah, hidup dengan makanan yang mereka tidak tahu dari mana makanan tersebut (entah siapa yang memberikan). Ketika Yusuf bin Al Husein meninggal dunia, mereka tidak dapatkan lagi makanan itu di malam hari…

Allahumma…. urzuqnal ikhlas fil qauli wal ‘amal.