Oleh: Ustadz H. Irsyad Syafar, Lc, M.Ed*

Ada dua peristiwa yang terjadi pada saat perang Khaibar di zaman Rasulullah SAW. Keduanya terkesan agak mirip dan mengandung nilai yang juga hampir sama. Kisah kejadiannya termaktub di dalam kitab hadits yang shahih.

Kisah pertama adalah tentang seorang lelaki yang bernama Rifa’ah bin Zaid. Ia adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh seorang lelaki dari Juzam kepada Rasulullah SAW. Pada saat perang Khaibar ia ikut dalam barisan para sahabat.

Imam Bukhari yang meriwayatkan hadits ini, menukilkan cerita Abu Hurairah, bahwa setelah Allah memenangkan pasukan Rasulullah SAW di Khaibar, mereka bergerak menuju sebuah lembah. Disaat itulah Rifa’ah ini terkena serangan panah dari seorang yahudi. Akibatnya Rifa’ah meninggal dunia oleh tusukan panah tersebut.

Para sahabat yang menyaksikan peristiwa yang berlangsung cepat itu, secara spontan mengatakan, “Selamat, dia telah mendapatkan mati syahid.” Tapi Rasulullah SAW membantah. “Tidak!” kata Beliau. “Sungguh kain selempangnya akan melilitnya dan membakarnya di neraka.” Dalam riwayat Umar bin Khattab, Rasulullah SAW menyatakan, “Tidak, aku melihatnya di neraka, gara-gara jubah (selempang) yang dia curi dari rampasan perang (ganimah).

Rupanya budak ini telah mencuri selembar kain atau jubah dari harta rampasan perang. Padahal dia tidak berhak mendapatkan kain tersebut. Perbuatan ini dinamakan ghulul, seperti firman Allah dalam QS Ali Imran:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ.

Artinya: “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS Ali Imran: 161).

Perbuatan ghulul atau berkhianat dengan harta rampasan perang, mengambil yang bukan menjadi bagiannya adalah sebuah dosa besar yang berakibat siksa neraka.

Kisah kedua adalah tentang seorang lelaki yang bernama Quzman Azh Zhufry. Ia juga ikut dalam pasukan Rasulullah SAW pada perang Khaibar. Ketika itu ada banyak benteng Yahudi yang ditaklukkan. Sehingga, perang berlangsung beberapa hari, menaklukkan satu-persatu benteng yang ada.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad As Saa’idi dan juga oleh Abu Hurairah, diceritakan bahwa Quzman ini dalam pertempurannya sangat luar biasa. Satu persatu pasukan musuh berhasil dibunuhnya. Sehingga banyak sahabat yang terkagum dengannya. Sampai ada yang berkomentar, “Tidak ada yang seberani lelaki ini dalam pasukan kita hari ini.”

Akan tetapi, Rasulullah SAW berkomentar, “Adapun orang ini, maka dia termasuk penghuni neraka.” Para sahabat terheran-heran mendengar pernyataan Rasulullah SAW tersebut. Salah seorang diantaranya malah langsung mengamati Quzman selama pertempuran berikutnya.

Rupanya kemudian lelaki ini mendapatkan Quzman dalam kondisi terluka parah akibat pertempuran di Khaibar. Quzman tidak sabar menahan sakitnya luka-luka tersebut. Akhirnya ia meletakkan gagang pedangnya di tanah dan ujung pedangnya di tengah dadanya. Kemudian ia tekan badannya sampai ia mati dengan pedang menembus ke punggungnya. Ia telah mati bunuh diri.

Dua orang dalam kisah di atas sama-sama mati di medan jihad, dan tengah bersama dengan Rasulullah SAW. Secara kasat mata atau dari “casingnya”, itu status mati yang sangat mulia. Betapa tidak, sebab mati di medan jihad adalah mati syahid. Berbagai kehormatan dan kemuliaan menantinya di sorga.

Namun ternyata keduanya dihukum masuk neraka. Dan ternyata “isinya” kebalikan dari “casingnya”. Keduanya telah mati dalam dosa dan maksiat, bukan mati syahid di jalan Allah.

Hadits ini mengisyaratkan bahwa adanya orang-orang yang kesan lahirnya dalam kebaikan dan menyembah Allah. Akan tetapi jiwanya menyimpan banyak keburukan, dan hatinya dipenuhi oleh fitnah dan ketidakbaikan.

Hadits ini menjadi dalil yang kuat bahwa seorang mukmin wajib menjaga kesucian hati dan jiwa, serta keaslian ibadah yang dilakukannya, melebihi tampilan luarnya. Idealnya adalah orang beriman itu selalu menjaga tampilan luarnya (casing), apalagi kondisi jiwa dan hatinya (isi).

Kebalikan dari dua kisah di atas, seorang Najasyi yang menjadi raja di sebuah kerajaan Nashrani di Etiopia. Seluruh menteri dan rakyatnya adalah Nashrani. Tapi dia sendiri masuk Islam dan wafat dalam keislamannya. Sehingga Rasulullah SAW memuliakannya dengan shalat ghaib di Madinah ketika ia wafat di Etiopia tahun 9 H.

Begitu juga seorang Asiyah, istri raja Firaun. Ia hidup di istana Firaun yang kafir lagi mengaku sebagai tuhan. Secara lahiriyah kesannya ia adalah bagian dari kekafiran Firaun dan kerajaannya. Namun ternyata ia menyimpan keimanan kepada Allah. Dan dia mendapat kemuliaan dariNya dengan diabadikan dalam QS At Tahrim: 11, dan mendapat istana di sorga di sisi Allah.

Karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan sepenggal episode dari kehidupan seseorang. Dan tidak buru-buru membuat kesimpulan karena sepotong peristiwa. Apalagi hanya sebuah framing dari media. Seorang Ustadz ada yang bertanya menguji jamaahnya, “Mana yang mulia, seseorang yang mati di tempat karaoke, atau seseorang yang wafat di dalam masjid?”

Sekilas orang akan spontan menjawab bahwa yang wafat di dalam masjid yang lebih mulia. Tapi, itu adalah casing. Kalau kemudian terdapat penjelasan tambahan, bahwa yang mati di tempat karaoke tengah melakukan amar makruf dan nahi mungkar, sedangkan yang mati di masjid sedang mencuri kotak infaq? Pastilah penilaian akan berubah 180 derjat, karena peristiwa aslinya (isi) berbanding terbalik dengan tampilan luarnya (casing).

Sangatlah tepat arahan Rasulullah SAW kepada kita:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim).

Terus menjaga diri berada dalam lingkungan dan suasana kebaikan adalah penting. Dan lebih penting lagi dari itu adalah menjaga hati dan amalan agar benar-benar dalam ketaatan kepada Allah.

Wallahu A’laa waA’lam.

*Pembina Yayasan Waqaf Ar Risalah Padang