Selain dari menunaikan ibadah, selaku hamba-Nya kita juga harus menghadirkan ruh dari ibadah itu sendiri. Dimana semua ibadah yang Dia perintahkan adalah mengandung kepatuhan dan ketundukan kepada-Nya, sekaligus penghapusan tuhan-tuhan lain selain Allah Swt.
Tentulah akan menjadi lucu dan kontradiktif kalau kita patuh dan khusyuk saat beribadah kepada Allah, lalu selesai dari ibadah itu kita berperilaku yang tidak disukai olehNya. Seolah-olah kita hanya menyembah Allah sesaat saja.Diluar waktu ibadah, kita tidak menyembahNya.
Sebagai contoh, kita melakukan puasa ‘Asyura setiap tanggal 10 Muharram. Dengan penuh semangat dan antusias kita laksanakan puasa sunnah ini. Dan kita rutinkan di setiap tahunnya. Karena kita mengetahui bahwa puasa tersebut dapat menggugurkan dosa-dosa kita selama setahun yang lalu.
Namun perlu diketahui juga, bahwa yang melatarbelakangi puasa ‘Asyura adalah bersyukurnya Nabi Musa As. atas selamatnya dari kejaran Firaun. Dan kemudian kaum Yahudi berpuasa juga sebagai tanda bersyukur. Lalu kemudian Rasulullah Saw menyatakan bahwa, “Kami lebih berhak ikut bersyukur seperti Musa dibandingkan mereka (kaum Yahudi).” Maka Rasulullah berpuasa pada tanggal 10 Muharram dan menyuruh para Sahabat berpuasa.
Berarti ada ruh dibalik puasa ‘Asyura tersebut. Yaitu bersyukur atas selamatnya Nabi dan orang-orang shaleh, serta hancurnya kezhaliman dan orang zhalim. Karena itu jangan sampai kita rajin dan rutin puasa ‘Asyura, tapi kita masih akrab dengan kezhaliman, berpihak dan membela orang-orang yang zhalim (Firaun-firaun kontemporer).
Contoh ibadah lain misalnya adalah melontar Jumrah saat pelaksanaan haji. Ibadah ini tentunya perintah Allah melalui RasulNya yang menjadi bagian dari ritual ibadah haji. Dalam pelaksanaannya, melontar jumrah bukanlah melempar syetan dengan batu yang terikat di tiang-tiang jumrah. Melainkan semata-mata berdizikir dan mematuhi ajaran/tuntunan Rasulullah saw.
Akan tetapi, kalau kita lihat latar belakang ritual ini sebagaimana dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim, bahwa Ibnu Abbas menukilkan dari Rasulullah tentang kisah Nabi Ibrahim As. yang akan menyembelih anaknya Ismail. Maka iblis menghadangnya di Jumrah Aqabah, wustha dan Ulaa. Dimasing-masing tempat itu Nabi Ibrahim as, melemparnya dengan 7 batu kerikil.
Maka ibadah jumrah adalah salah satu bentuk dzikir dan ibadah selama masa berhaji. Sekaligus sebagai ekspreksi kepatuhan kepada Allah dan permusuhan kepada iblis dan syetan. Makanya saat melontar itu disyariatkan sambil mengucapkan kalimat Allahu Akbar sebagai tanda berdzikir mengagungkan Allah. Bukan membaca a’udzubillahi minasysyaithan, sebab yang dilempar waktu jumrah bukanlah syetan.
Maka jangan sampai kita yang pernah berhaji dan melakukan jumrah, kemudian menjadi jauh dari Allah, tidak mengagungkanNya, dan malah banyak berteman dengan syetan. Baik syetan dalam berpakaian, berpenampilan, gaya dan kebiasaan, makan dan minum dan seluruh kehidupan kita.
Dan banyak lagi contoh ibadah lain, yang diantara ruh dan semangat dari ibadah tersebut adalah kepatuhan kepada Allah dan menjadikan musuhNya sebagai musuh yang nyata dalam kehidupan. Wallahu A’laa wa A’lam.