Oleh: Juwita, M.Pd*

Berkomunikasi adalah kebutuhan mendasar manusia dalam menjalankan kehidupan. Tidak ada manusia yang bisa berinteraksi dengan manusia lain tanpa melalui media komunikasi. Dan tidak ada  manusia yang bisa menjadi hamba yang baik jika tidak berkomunikasi dengan baik dengan Penciptanya, Allah SWT. Komunikasi vertikal dengan Sang Pencipta dan horizontal pada sesama makhluk.

Artinya kehidupan manusiapun akan kacau berantakan bahkan bisa punah sia-sia ketika tidak adanya komunikasi antar makhluk dan dengan Sang Khalik. Subhanallah.. Alhamdulillah.. Dia telah memberikan kemampuan berkomunikasi pada semua makhluk untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Nikmat yang sering tidak disadari manusia sebagai sarana untuk membuat hidup lebih baik, harmonis, berharga dan mulia. Sering kita mengabaikan tujuan nikmat ini. Seolah olah kemampuan berkomunikasi adalah hal biasa yang dipunyai semua orang. Keberadaanya tidak terlalu diistimewakan.. Na’uzubillah.

Ketika dalam agama kita ada contoh teladan, aturan, perintah, larangan dan ganjaran dalam berkomunikasi, ini menjadi bukti kasih sayang Allah agar kita tidak salah dalam menggunakan nikmat lisan ini. Agar lisan ini menjadi sumber meraup pahala dengan kebaikan dan kedamaian yang dihasilkannya. Agar lidah ini menjadi saksi pemberat timbangan amal kebaikan kita diakhirat kelak. Agar ada amal-amal jariyah yang terus mengalir walau kita tidak lagi ada didunia. Jangan sampai justru sebaliknya, lisan kita yang mengakibatkan kita dilemparkan Allah masuk neraka, jangan sampai lidah kita menjadi dosa jariyah yang teris menyengsarakan kita ketia telah tiada, jangan juga lisan kita menjadi sumber malapetaka dalam hubungan dengan seksama.

Kenapa kita sebut kemampuan berkomunikasi ini sebagai soft skill? Karena ini lebih banyak dipelajari melalui media kehidupan dan kematangan jiwa. Kalaupun ada ilmu akademik tentang komunikasi dan ada juga sarjana dibidang tersebut, tidak ada jaminan bahwa pengetahuan mereka otomatis membuat mereka selalu baik dalam berkomunikasi ketika teori-teori tersebut hanya sebatas diwacanakan, didiskusikan tapi tidak diterapkan.


Alam takambang jadi guru, banyak dicaliak, banyak bajalan, banyak baraja dan banyak maraso,
itulah prinsip soft skill. Tidak adapun gelar sarjana, bisa jadi lebih bagus soft skill berkomunikasinya dibanding sarjana ketika kehidupan menjadi sumber pembelajaran baginya. Berbicara santun, menghargai orang, mendamaikan orang, bijak memilih narasi yang digunakan, tidak menyombongkan diri, selalu berkata yang baik, jujur, dan lain-lain.

Perempuan sebagai makhluk yang sering merasa ‘bangga’ dengan kemampuan berkomunikasinya justru harus lebih hati-hati dibanding laki-hati. Hasrat mengeluarkan 20.000 kata/hari itu bisa jadi masalah dunia akhirat ketika tidak diasah dengan baik. Hobby chat dan ngumpul, ngobrol dan melepaskan uneg-uneg dengan sesama perlu dikawal dengan baik. Kebiasaan ngomel, menggurui, menasehati orang perlu disadari sebagai nasehat untuk diri sendiri. Jangan sampai justru kita termasuk dlm orang yang diancam Allah dalam Al Quran surat Ash Shaff ayat 2 dan 3

“Wahai orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Dan sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.

Untuk menjauhkan diri kita dari murka Allah swt, kita perlu terus belajar dan belajar. Moga Allah memudahkan ilmu yang baik masuk kedalam jiwa kita. Aamiin.

Soft skill apa yang perlu kita pertajam dalam berkomunikasi?

  1. Selalu memperbaiki dan membersihkan perasaan dan pikiran kita pada orang lain sebelum berbicara. Perasaan dan persepsi kita pada orang lain akan sangat berpengaruh pada ucapan yang kita keluarkan dalam berkomunikasi. Ketika orang tersebut kita anggap baik dan berharga, biasanya lisanpun akan cendrung berkata baik, santun, sabar, dll. Sebaliknya ketika ada kemarahan, kebencian, tidak disenangi dalam diri seseorang, cendrung kita akan berkata kasar, tidak santun dan meremehkan. Kenapa ini terjadi? Karena lisan ini ini adalah bagian dari prajurit pikiran dan perasaan kita. Yang dia respon adalah apa yang disampaikan oleh komandannya, perasaan. Kalaupun ada kemuflase karena berbagai alasan, tetap itu tidak akan lama dan bertahan. Itulah kenapa kita kenal istilah bermulut manis, bermuka dua, dan kamuflase tersebut akhirnya akan muncul juga kepermukaan.Untuk melakukan ini perlu kita melakukan ‘self talk’ setiap saat. Bertanya kedalam diri tentang perasaan kita pada saudara-saudara kita. Membayangkan sikap-sukap dan ucapan kita yang terlontar padanya. Memaafkan dan memohon bimbingan Allah agar kita dimudahkan untuk melupakan segala kesalahannya, memohon ampun atas penyakit-penyakit hati kita. Ibarat teko air, dia akan mengeluarkan apa yang ada didalammya. Jika air didalamnya air kopi tentu yang akan keluar air warna hitam dan berasa pahit. Jika air bening, tentu yang akan keluar juga air bening dan menyegarkan. Semakin banyak kekeruhan perasaan yang kita rasakan pada sesama akan semakin keruh juga bahasa lisan kita. Jadi jangan biarkan itu terjadi.

    Kita perlu baca lagi kisah ahli syurga yang selalu membersihkan hatinya tiap malam menjelang tidur. Memaafkan segala salah orang lain kepadanya dan mendoakan kebaikan pada orang tersebut.

  2. Melebur dalam lingkungan yang baik dalam berkomunikasi. Pola komunikasi kita akan sangat ditentukan juga oleh lingkungan sekitar kita. Termasuk budaya masyarakat sekitar termasuk keluarga. Hal ini berarti kita ketika kita ingin baik dalam berkomunikasi, wajib hukumnya mencari teman/lingkungan lain sebagai penyeimbangnya. Tentu ini berangkat dari kesadaran untuk berubah. Walau tidak mudah untuk berubah, tapi kita wajib barusaha mengurangi keburukan dan perlahan menambah kebaikan. Kita punya filter sebenarnya tiap kali berinteraksi dengan orang lain. Ada bisikan-bisikan jiwa yang mengatakan bahwa bersama orang-orang tertentu kita mendapatkan kebaikan dan bersama orang lain kita menjadi lebih buruk, lebih kasar, lebih pemarah, dll. Ketika rasa ini tidak dipedulikan dan dibiarkan mengalir bahkan ikut dalam arusnya, maka kita akan muncul sebagai pribadi seperti itu. Berubahlah.. dengan berinteraksi bersama orang-orang baik juga, seperti di mesjid, pengajian, atau teman-teman yang baik.

 

  1. Biasakan bijak dalam berucap. Bijak disini maksudnya berfikir dulu sebelum berbicara. Tidak semua yang kita ketahui harus disampaikan pada orang lain. Tidak perlu juga mencari tahu jika hal itu tidak ada hubungannya dengan kita. Hanya sebatas nambah-nambah memori kita. Kalau dia buruk, maka akan nambah memori kita tentang yang buruk.Jadi jangan kepoan dan jangan ember bocor. Pikirkan dulu baru ngomong. Apa yang perlu dipikirkan? Waktunya sudah tepatkah, orangnya sdh tepat dan siapkah, Akibat dari ucapan kita, bagaimana kalau kita dalam posisi dia, akankah menjadi lebih baik/tidak. Bukan justru mikirin diri sendiri, yang penting uneg-uneg kita keluar, perasaan tersampaikan, ide/usulan ada, dll. Kalau kita hanya mementingkan ego, tidaklah bijak namanya. Bijak itu ditimbang dari orang yang akan terkena dampak dari ucapan kita. Ketika kita melupakan poin ini, akan banyak korban dari lisan kita. Akan ada yang merasa direndahkan, dilangkahi, disakiti bahkan akan ada perpecahan/pertikaian gara-gara ucapan kita. Na’uzubillah..

    Sebagai contoh: banyak kasus perceraian terjadi kareana adanya hasutan dari pihak ketiga yang memposisikan diri sebagai orang bijak. Bukannya menasehati malah mengompori, bukannya memadamkan justru menyalakan. Hati-hati, karena ini bisa berbuntut buruk didunia apalagi diakhirat.

 

  1. Mohon bimbingan Allah dengan banyak zikir pada-Nya. Zikir menjadi senjata ampuh untuk menjaga lisan ini. Lisan yang sibuk zikir akan dijaga Allah dari ucapan yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Lidah ini tidak mudah berucap buruk ktika slalu kita bimbing untuk berzikir, membaca Al-Quran dan istighfar. Jangan biarkan fikiran berkelana tanpa ada kawalan zikir.. Jangan biarkan perasaan menjadi penentu baik buruknya seseorang dimata kita. Bimbinglah selalu dengan istighfar dan zikir. Rasulullah SAW mengajarkan pada kita betapa banyak beliau berzikir dalam kesehariannya. Seolah-olah tiada ruang untuk memikirkan keburukan dan kesalahan orag lain.

Mari belajar dari keteladanan Rasul yang tiada cacat. Bagaimana beliau berkomunikasi dengan sangat baik dan jernih, dapat difahami semua orang. Jangankan pada para sahabat beliau, para musuhpun beliau hadapi dengan komunikasi yang baik. Semua sahabat merasa paling dekat dan dihargai oleh Rasul. Semua musuh tidak menemukan cacat pada beliau. Hingga akhirnya mereka hanya mampu membuat tuduhan Rasul seorang penyihir, gila, dan sebagainya, namun itupun tidak terbukti.

Jadi, yuk belajar lagi.

*Ketua PD Salimah Kota Padang