Jangan Ikuti Kebanyakan Orang

Oleh: Irsyad Syafar
Waktu saya sekolah di SD dulu, orang tua saya seringkali menasehati saya: “Kalau informasi tentang sekolah, jangan percaya saja kata teman!” Maksudnya adalah, harus pastikan dulu kebenaran informasinya langsung ke guru atau pihak sekolah. Pernah beberapa kali kejadian, saya berangkat ke sekolah. Di tengah jalan bertemu beberapa teman yang berjalan pulang. Teman-teman ini katakan ke saya, “Pulang lagi kawan, kita gak sekolah hari ini, guru ada rapat!” Maka sayapun pulang dan gak jadi ke sekolah.
Akan tetapi, sesampai di rumah Ibu saya nanya, “Kok cepat pulangnya?” Saya jawab, “Kata teman tadi kita gak sekolah. Karena guru rapat.” Ibu saya langsung marah. “Gak ada cerita, balik lagi ke sekolah. Tanya betul ke guru di sana, apakah betul tidak sekolah hari ini!” Tentu saja saya sudah malas balik ke sekolah. Tapi karena kena marah, akhirnya saya balik lagi ke sekolah. Beberapa kali kejadian memang ada libur hari itu. Tapi juga ada beberapa kali ternyata sekolah tidak libur. Teman-teman ini saja yang pemalas yang mengajak orang lain ikut cabut seperti dia.
Dalam skala yang lebih besar, banyak sekali informasi yang tidak akurat bersileweran di tengah masyarakat. Lalu kemudian menjadi sebuah asumsi bersama. Setelah itu menjadi sebuah kesimpulan umum dan dijadikan acuan dalam bersikap dan berpendapat. Hal seperti ini sudah sering terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Suatu masyarakat bisa terpengaruh oleh cerita-cerita kebanyakan orang (qiila dan qaala). Tidak merujuk ke sumber berita yang valid dan terpercaya.
Apalagi di era kemajuan tekhnologi informasi saat ini. Opini publik bisa digiring oleh ulah dan rekayasa segelintir orang. Baik dalam bentuk penyebaran berita bohong (hoaks) ataupun dengan memotong dan mendistorsi sebuah informasi. Atau banyak orang yang punya perilaku menyimpang dan tidak baik. Mereka ingin orang lain ikut tidak baik seperti mereka. Akibatnya kemudian adalah kita terjerumus kepada kesalahan sikap, cara pandang dan pola pikir serta perilaku. Bahkan dalam urusan kehidupan beragama dapat membawa kepada penyimpangan dan kesesatan.
Oleh karena itu Allah Swt memberikan petunjuk agar kita jangan mudah ikut-ikutan kebanyakan orang. Karena hal itu bisa menyebabkan kita tersesat dari jalanNya. Allah Swt berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (الأنعام: 116-117).
Artinya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-An’am: 116-117).
Dalam menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa Allah Swt memberitahukan tentang keadaan sebagian besar penduduk bumi ini yang berada dalam kesesatan. Sehingga kalau kita mengikuti (ikut-ikutan) mereka dan tidak mengikuti petunjuk dari Allah dan RasulNya, kita akan bisa dan mudah tersesat.
Di dalam banyak ayat Al Quran, Allah Swt telah menegaskan tentang kondisi kebanyakan manusia. Yang karena kondisi tersebut, mamang kita tidak boleh mengikuti kebanyakan mereka. Khususnya urusan beragama dan keselamatan hidup di dunia dan Akhirat. Diantara kondisi kebanyakan manusia adalah:
Pertama, Allah Swt menegaskan bahwa kebanyakan manusia itu tidak mengetahui alias jahil (bodoh). Kalau kita mudah saja mengikuti mereka, maka kita juga akan ikut bodoh dan jatuh kepada kesalahan. Ada 11 ayat berakhir dengan firmanNya:
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ.
Artinya: “Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dan ada belasan ayat lagi yang semakna yang menyatakan manusia itu kabanyakan bodoh, tidak paham dan tidak mengetahui. Tentunya kalau kita sering ikut saja dengan kebanyakan orang yang tidak tahu/paham, niscaya kita akan celaka.
Kedua, Allah Swt menyatakan bahwa kebanyakan manusia itu adalah orang-orang yang tidak bersyukur (berterimakasih) kepada Allah. Bila mendapat nikmat, mereka sombong dan angkuh. Bila mendapat musibah, mereka berkeluh kesah dan tidak sabar. Kalau kita ikuti mereka, niscaya kita juga akan menjadi orang tidak bersyukur dan malah kufur terhadap nikmatNya. Allah berfirman:
اَللّٰهُ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِتَسْكُنُوْا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ. (غافر: 61).
Artinya: “Allah-lah yang menjadikan malam untukmu agar kamu beristirahat padanya; (dan menjadikan) siang terang benderang. Sungguh, Allah benar-benar memiliki karunia yang dilimpahkan kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS Al Ghafir: 61).
Tiap hari nikmat Allah tercurah kepada kita, tiada henti. Baik kita lagi taat ataupun lagi banyak dosa. Nikmat itu terus Dia curahkan kepada kita. Namun kebanyakan manusia tidak memikirkan sama sekali akan nikmat tersebut. Apakah lagi akan bersyukur kepada Pemberi nikmat. Kalau kita ikuti pula gaya kebanyakan orang tersebut, maka kita juga akan lupa dengan banyak nikmat Allah Swt. Bahkan kemudian bisa mengingkarinya. Seperti Qarun yang merasa semua harta dan kekayaannya adalah karena kehebatan dan hasil jerih payahnya. Sama sekali ia tidak mengakui karunia dan nikmat Allah.
ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ. (سبأ: 13).
Artinya: “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS Saba: 13).
Ketiga, Allah Swt menegaskan bahwa kebanyakan manusia itu tidaklah beriman. Mereka cendrung melawan dan ingkar kepada Allah Swt. Kalaupun beriman, itupun setelah melihat mukjizat dari Allah melalui RasulNya. Sangat sedikit yang beriman otomatis tanpa peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Kondisi kebanyakan manusia yang tidak beriman ini, Allah Swt nyatakan dalam firmanNya:
إِنَّ السَّاعَةَ لَآتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيهَا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ (الغافر: 59).
Artinya: “Sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang, tidak ada keraguan lagi padanya. Akan tetapi kebanyakan manusia itu tidak beriman.” (QS Al Ghafir: 59).
Keempat, Allah menegaskan bahwa kebanyakan manusia adalah orang yang fasiq atau orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan jatuh kepada dosa besar. Allah Swt berfirman:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ. (المائدة: 49).
Artinya: “Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al Maidah: 49).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kebanyakan manusia itu tidak patuh kepada Allah dan mereka sering menyelisihi kebenaran serta menjauhinya. Maka ketika ikut-ikutan dengan mereka, kitapun akan menjadi jauh dari kebenaran dan jatuh kepada dosa.
Menghadapi kondisi kebanyakan manusia yang dsebutkan Allah Swt, maka sikap yang tepat bagi orang beriman antara lain adalah:
1. Berupaya untuk memahami dan mengikuti petunjuk dari Allah dan RasulNya yang tertuang di dalam Al Quran dan As Sunnah. Karena dengan cara itulah kita dijamin tidak akan tersesat. Konsekuensinya, kita harus mempunyai waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan kedua rujukan tersebut secara baik.
2. Mengikuti para ulama yang lurus dan terpecaya. Yang kehidupannya dapat dijadikan teladan dan acuan. Apalagi para ulama yang telah wafat dengan husnul khatimah. Mereka adalah rujukan yang sangat aman. Adapun kita yang masih hidup tetap belum aman dari berbagai fitnah dan cobaan.
3. Jangan mudah untuk ikut-ikutan latah dengan gaya, model, trend, yang dilakukan (viral) oleh kebanyakan orang. Karena hal itu akan berpotensi menyimpangkan kita dari jalan kebenaran.
4. Mengoptimalkan pergaulan dan interaksi dengan orang-orang shaleh dan gemar berbuat kebaikan. Sebab kata Nabi Saw, seseorang itu sangat tergantung dengan agama temannya. Karenanya, setiap kita mesti memperhatikan dengan siapa berteman.
Wallahu A’laa wa A’lam.

Tinggalkan komentar