Etika yang Tinggi dari Hati yang Suci

Oleh: Irsyad Syafar
Suatu hari atau suatu malam Rasulullah saw berjalan keluar rumah. Tiba-tiba Beliau dapatkan Abu Bakar dan Umar juga lagi berjalan keluar rumah. Beliau bertanya, “Apa yang membuat kalian berdua keluar rumah?” Keduanya menjawab, “Lapar wahai Rasulullah.” Beliau berkata: “Demi Allah, aku juga tidak keluar kecuali karena lapar seperti kalian.”
Lalu mereka berjalan menuju rumah seorang sahabat Anshary. Ternyata sesampai disana, lelaki anshar tersebut tidak ada di rumah. Yang keluar adalah istrinya. Perempuan tersebut menyambut Rasulullah saw sambil berkata, “Ahlan wa sahlan, selamat datang yaa Rasulullah.”
Namun Rasulullah dan kedua sahabatnya tidak mau masuk rumah. Beliau malah bertanya, “Dimana si Fulan (suamimu)?” Ia menjawab, “Beliau pergi mengambil air untuk kami.”
Tak lama kemudian suaminya datang. Dan dengan penuh bahagia dia menyambut tamunya yang sangat mulia. Bahkan dia berkata: “Tidak ada orang yang paling mulia tamunya hari ini dari pada saya.” (Kisah dalam HR Muslim dari Abu Hurairah).
Betapa mulia dan tingginya etika Nabi Muhammad saw bersama para sahabatnya. Walaupun beliau adalah penguasa Madinah, dan pemimpin bagi seluruh kaum muslimin, tapi Beliau tidak begitu saja masuk ke rumah salah seorang rakyatnya. Beliau tahu ada “penguasa” di rumah tersebut. Walaupun istrinya sudah menyambut dengan baik, tapi Nabi tetap tidak masuk kecuali setelah penguasa setempat memberikan izin.
* * * * *
Suatu hari Rasulullah saw sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Maka Beliau berkata kepada mereka:
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِي فِي الجَنَّةِ، فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ، فَقُلْتُ: لِمَنْ هَذَا القَصْرُ؟ فَقَالُوا: لِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ. فَذَكَرْتُ غَيْرَتَهُ فَوَلَّيْتُ مُدْبِرًا، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: أَعَلَيْكَ أَغَارُ يَا رَسُولَ اللهِ.
Artinya: “Suatu saat aku tertidur, dan aku bermimpi berada di sorga. Ketika itu ada seorang wanita yang sedang berwudhu disamping sebuah istana. Lalu aku bertanya, “Siapakah pemilik istana ini?” Mereka (penduduk sorga) menjawab, “Itu istana miliknya Umar bin Khattab.” Mendengar jawaban tersebut aku teringat akan pencemburunya Umar. Maka Aku segera berbalik (pergi).”
Mendengar ucapan Rasulullah saw tersebut, Umar langsung menangis dan berkata, “Tidaklah aku akan cemburu kepadamu wahai Rasulullah.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
“دَخَلْتُ الجَنَّةَ، فَإِذَا أَنَا بِقَصْرٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَقُلْتُ: لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ؟ فَقَالُوا: لِفَتًى مِنْ قُرَيْشٍ. فَظَنَنْتُ أَنَّهُ لِي، قُلْتُ: مَنْ هُوَ؟ قِيلَ: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ”. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يَا أَبَا حَفْصٍ لَوْلاَ مَا أَعْلَمُ مِنْ غَيْرَتِكَ لَدَخَلْتُهُ”. فقال: يا رسول الله، مَنْ كُنْتُ أَغَارُ عَلَيْهِ، فَإِنِّي لَمْ أَكُنْ أَغَارُ عَلَيْكَ.
Artinya: “Aku masuk ke sorga. Ketika aku berada di depan sebuah istana dari emas, aku bertanya, “Siapa pemilik istana ini?” Mereka (penduduk sorga) menjawab, “Milik seorang pemuda dari Quraisy.” Aku mengira istina itu adalah milikku. Aku tanya lagi, “Siapa pemuda tersebut?” Maka dijawab, “Umar bin Khattab.”
Rasulullah berkata, “Wahai Abu Hafash (Umar), seandainya aku tidak ingat cemburumu, sungguh aku akan masuk ke istana tersebut.” Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, siapalah aku ini akan cemburu kepadamu. Aku tidaklah cemburu kepadamu.” (HR Ibnu Hibban).
Betapa mulianya adab dan etika Rasulullah saw dalam menjaga perasaan sahabatnya. Walaupun Beliau seorang Nabi yang dimuliakan Allah dapat masuk sorga saat malam isra’ dan mikraj, namun Beliau tidak semena-mena terhadap hak dan perasaan orang lain. Beliau sangat menyadari bahwa bila istana itu milik Umar, maka pastilah di dalamnya ada istri atau bidadari miliknya Umar.
Dan itu terbukti dalam hadits mimpi Rasulullah yang di atas. Sehingga Beliau tidak mau mendekat ke istana megah itu, walaupun hanya dalam mimpi. Beliau langsung berbalik dan meninggalkan istana tersebut. Itu semua karena demi menjaga perasaan Umar yang menjadi “penguasa” istana tersebut.
Begitu juga sebaliknya Umar, juga sangat beradab dan sangat sopan kepada Rasulullah SAW. Beliau langsung menangis demi mendengar betapa Rasulullah SAW menimbang perasaannya. Padahal, sedikitpun ia takkan ada kecemburuan atau perasaan negatif kepada Rasulullah.
Sesungguhnya, etika yang tinggi ini hanya akan lahir dari orang-orang yang berhati suci.
Waffaqanallah waiyyaakum.

Tinggalkan komentar