Bukan Wali

Oleh: Irsyad Syafar
Kalau ada orang yang bisa terbang ke udara, atau berjalan di atas air, jangan cepat terpesona. Apalagi buru-buru menganggapnya wali. Adu dulu perangainya dengan Al-Quran dan Sunnah.
Kalau dia sering tidak shalat berjamaah di masjid, bahkan mungkin tidak pergi shalat Jum’at, atau katanya shalat Jum’at di Masjidil Haram tapi jasadnya di Indonesia, maka dia bukanlah wali. Rasulullah Saw teladan kita, tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah. Baik saat muqim maupun saat Beliau musafir.
Bila ada seseorang yang kebal senjata tajam, tidak mempan dibacok atau ditusuk, atau kebal terhadap peluru, jangan cepat terpesona. Apalagi langsung mengaguminya dan menganggapnya sebagai wali. Bandingkan dulu dia dengan para sahabat Nabi yang Mulia.
Umar bin Khattab yang oleh Rasulullah Saw dinyatakan ditakuti syetan, justru mati syahid kena tikam oleh seorang majusi saat Imam shalat shubuh. Utsman bin Affan menantu Rasulullah Saw yang Malaikat malu kepadanya, mati syahid kena tikam padahal dia lagi berpuasa. Dan Imam Ali bin Abi Thalib juga mati syahid ditikam oleh orang khawarij saat beliau mengimami shalat shubuh. Jelas, 3 orang mulia tersebut adalah para wali Allah karena sudah dijamin masuk surga. Tapi mereka tidak kebal sama sekali.
Bila ada seorang yang mengaku punya benda-benda “keramat” katanya. Punya potongan kain Ka’bah, punya pecahan hajar aswad, atau potongan rambut Rasulullah Saw, atau menyimpan pedang Nabi ataupun sahabat, jangan cepat terpesona. Apalagi langsung menganggapnya sebagai seorang wali.
Ingat, benda-benda tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap seseorang. Juga tidak bisa memberikan pertolongan di akhirat kelak. Umar bin Khattab ketika berdiri di depan hajar aswad berkata: “Sesungguhnya aku tahu engkau hanyalah batu. Engkau tidak memberi manfaat ataupun mudharat. Kalau aku tidak melihat Rasulullah Saw menciummu, niscaya aku juga takkan menciummu.” (HR Bukhari dan Muslim). Jadi, Beliau mencium hajar aswad hanya karena mengikuti Rasulullah Saw. Bukan karena menganggap batu itu keramat.
Jika ada orang yang berjubah gagah, bersorban tebal berlapis lapis, ditangannya batu tasbih bergerak-gerak, tapi waktu-waktunya jarang dengan Al-Quran, tilawahnya belepotan tidak memenuhi kaedah tajwid, maka dia bukan wali.
Wali Allah itu adalah orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Paling tidak, hatinya khusyuk dan ikhlas, jasadnya tawadhuk. Hari-harinya adalah keistiqamahan dalam ibadah dan amal shaleh. Ia juga tidak sibuk menunjukkan karomah kepada orang lain.
Dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 62-63, Allah telah menjelaskan definisi waliNya:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ.
Artinya: “Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga – (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS Yunus: 62-63).
Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan (di ayat tersebut). Sehingga setiap orang yang beriman dan bertaqwa maka dia adalah wali Allah.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/278).
Berdasarkan kriteria yang disebutkan dalam ayat di atas, Imam Abu Ja’far At-Thahawi memberikan sebuah kaidah:
والمؤمنون كلهم أولياء الرحمن، وأكرمهم عند الله أطوعهم وأتبعهم للقرآن.
Artinya: “Setiap mukmin adalah wali Allah. Dan wali yang paling mulia di sisi Allah adalah wali yang paling taat dan paling mengikuti Al Qur’an.” (Aqidah Thahawiyah).
Wallahu A’laa wa A’lam.

Tinggalkan komentar