Ustadz Irsyad Syafar

Seringkali terjadi di tengah masyarakat, seseorang itu dihormati karena pangkat dan jabatannya. Atau karena kekayaan hartanya. Sehingga bila bertemu dengan orang berpangkat atau kaya, orang-orang menghormatinya, melayaninya, menyambutnya dengan senyuman, sapaan yang ramah dan sejenisnya.

Sikap seperti ini, kalau tidak berlebihan, masihlah dianggap wajar dan manusiawi. Toh dalam Islam menghormati orang yang lebih tua atau senior atau lebih terhormat, adalah sikap yang dianjurkan. Tapi kalau berlebihan, dibuat-buat, bahkan terkesan “ngambil muka”, maka adalah perilaku yang tidak baik.
Apalagi kalau yang bersangkutan tidak lagi punya jabatan, tidak lagi punya harta dan kekuatan, lalu ia tidak dihormati lagi, diabaikan saja, tidak dibalas sms/WA darinya, tidak diangkat telponnya, dan lain-lain. Maka sikap ini juga tidak terpuji. Jelas sekali penghormatan selama ini hanyalah pura-pura alias kebohongan.
Sikap seperti ini cendrung menjadi perilaku seorang penjilat. Abdullah bin Mas’ud mencela perbuatan menjilat ini dan bisa berakibat seseorang kehilangan agamanya:
إن الرجل ليخرج من بيته ومعه دينه فيلقى الرجل وله إليه حاجة فيقول له: أنت كيت وكيت!-يثني عليه-؛ لعله أن يقضي من حاجته شيئاً فيسخط الله عليه، فيرجع وما معه من دينه شيء.
Artinya: “Sesungguhnya ada lelaki yang keluar dari rumahnya dan masih memliki agama, kemudian dia bertemu seseorang yang dia punya keperluan dengannya. Lelaki ini pun berkata, “Sesungguhnya engkau itu begini dan begitu”, lelaki ini memuji orang tersebut sambil berharap agar mau menolong keperluannya.
Maka Allah pun murka kepada lelaki itu, diapun kembali ke rumahnya dalam keadaan tidak memiliki agama.” (Riwayat Ahmad dan Al Hakim).
* * * * *
Sebaliknya, ada juga orang yang berubah gayanya setelah memiliki jabatan atau kekayaan lebih. Maunya dihormati dan dilayani. Tersinggung berat kalau tidak dihargai. Omongannya harus didengarkan, dan pendapat orang lain sering direndahkannya.
Teman-teman mulai dipilihnya. Tempat duduknya juga tidak mau sembarangan. Maunya disapa dan enggan memulai menyapa. Ada rasa lebih mulia atau lebih utama dari orang lain. Pendapatnya tidak boleh dikoreksi apalagi dibantah.
Kekuasaan dan harta memang seringkali membuat seseorang menjadi sombong. Yaitu, menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Kalau keduanya bergabung dalam diri seseorang, maka ia akan semakin “otoriter alias diktator”. Bagaikan Fir’aun dan Qarun. Sulit untuk dinasehati, dan menjauh dari hidayah.Rasul kita yang mulia, walaupun menjadi manusia terbaik di sisi Allah Swt, tidak mau dihormati dan diagungkan berlebihan. Sehingga Beliau lebih senang dianggap sebagai Hamba Allah. Rasulullah Saw bersabda:
لا تُطْروني كما أَطْرت النصارى ابنَ مريم؛ إنما أنا عبده، فقولوا: عبد الله ورسوله
Artinya: “Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka katakan (panggil aku), ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (HR Bukhari).
* * * * *
Siapapun kita, bila menjadi salah satu dari dua jenis manusia di atas, usahakanlah untuk biasa-biasa saja. Bila menghormati seseorang, jangan berlebihan dan jangan semata karena jabatan hartanya. Hormatilah dengan tulus dan ikhlas. Saat orang itu tak lagi punya jabatan dan harta, tetap menghormatinya seperti sebelumnya. Tidak ada perubahan.
Atau kalau kita yang menjadi orang yang berkuasa atau berharta, tampillah biasa-biasa saja. Tetap ramah kepada siapa saja, tidak membeda-bedakan orang dan lawan bicara. Tidak tersinggung kalau ada yang lupa menyapa atau tidak ditempatkan sebagaimana semestinya.
Sebab, kekuasaan dan harta itu hanya sementara. Kapan saja bisa dicabut oleh Yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya. Jangan terpesona dengan penghormatan dan penghargaan orang lain. Saat tidak berkuasa dan tidak berdaya, biasanya semua penghormatan itu juga akan hilang dan tiada. Beralih ke yang berkuasa berikutnya. Itulah dunia yang banyak sandiwara.
Wallahu A’laa wa A’lam.