Oleh: Ustadz H. Zulfi Akmal, MA

Bagi saya yang sangat berkesan dari bunda Siti Aisyah istri Rasulullah adalah kesabaran beliau yang luar biasa ketika menghadapi wafatnya Rasulullah di pangkuan beliau. Musibah paling pedih yang pernah menimpa kehidupan manusia sepanjang masa terjadi dalam dekapan beliau.

Seorang istri dari seorang suami yang biasa-biasa saja ketika ditinggal mati oleh suaminya ada yang meratap, menangis bahkan pingsan karena beratnya menahan perasaan. Dan musibah berat itu diakui oleh syari’at Islam, hingga perempuan yang kematian suami boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari.

Namun bunda Aisyah bisa bersikap tenang ketika tubuh suci Rasulullah terkulai lemas di dalam pangkuannya. Manusia paling agung, paling dicintai, suami beliau sendiri, sementara umur beliau waktu itu masih 17 tahun. Terbayang di usia muda sudah janda dan akan menjanda sampai akhir hayat. Dan yang meninggalkan beliau bukan suami manusia biasa.

Di sinilah kelihatan betapa kokohnya iman beliau. Beliau sadar bahwa hidup berdampingan dengan Rasulullah bukan untuk bermanja dan bermesraan. Bukan untuk bersenang-senang dengan penuh senda gurau. Beliau sadar bahwa Rasulullah hanya sebagai pesuruh Allah untuk menyampaikan risalah terakhir. Setelah misi itu selesai kembalilah beliau keharibaan ilahi.

Yang lebih hebat lagi, beliau langsung sadar bahwa bila tugas Rasulullah berakhir maka tugas beliaulah dan para shahabat yang lain untuk melanjutkan risalah itu kepada generasi selanjutnya dan terus saling sambung menyambung sampai dunia ini berakhir.

Beliau sebenarnya punya rasa sedih, kasihan dan melankolis sebagaimana manusia biasa. Akan tetapi iman dan ilmu yang mengarahkan sifat itu semua menjadikan beliau tegar berdiri kokoh bagaikan gunung tinggi menjulang berdiri dengan gagah perkasa. Itu semua hasil tarbiyah Rasulullah juga.

Sepeninggal Rasulullah hal itu beliau buktikan. Jiwa raganya dihabiskan untuk mendidik umat dengan menyampaikan Al Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah. Beliau menjadi orang ketiga terbanyak penyampai hadits Rasulullah setelah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar.

Beliau tidak terumuk dalam sedih dan duka. Tidak larut dalam suasana melankolis membayangkan hari-hari indah bersama Rasulullah yang sudah berlalu dalam waktu sangat singkat. Hanya tujuh tahun hidup berumah tangga dengan Rasulullah.

Sebenarnya keistimewaan ini dimiliki oleh seluruh shahabat Rasulullah yang tegar dalam iman sepeninggal beliau. Namun pada diri Siti Aisyah menjadi lebih istimewa, karena beliau yang mendampingi Rasulullah secara langsung dan menjadi orang yang paling dicintai Rasulullah.

Sejenak memang para shahabat seperti kurang sadar, seperti yang terjadi pada Sayyidina Umar bin Khattab. Akan tetapi ketika kesadaran itu dibangkitkan lagi oleh ayahndanya Siti Aisyah yaitu Abu Bakar, mereka semua segera kembali kepada “rusyd” (sikap matang dalam iman).

Kawan, lau kunna makanahum (andaikan aku atau anda berada pada posisi mereka) apakah kita ini akan tetap dalam iman dan Islam atau justru berbalik murtad seperti sebagian besar manusia saat itu? Allah Maha Tahu makanya kita tidak jadi salah seorang di antara mereka.

Shahabat Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk menjalankan tugas kita masing-masing, yaitu menjadi pelanjut risalah yang dibawa Rasulullah. Baik untuk dipakai sendiri maupun untuk disampaikan kepada generasi berikutnya. Kita beriman dan berislam bukan karena Rasulullah ada di samping kita. Kita beriman karena Allah semata yang tidak akan pernah mati dan sirna.

Rabbana, tawaffana musliman wa alhiqna bish shalihin.