Ustadz Kamrizal Syafri
Kita sering bertemu dengan seorang ayah yang kerja keras dan banting tulang demi keluarganya. Setelah kerja siang, dia lembur malam. Bahkan pada hari libur, dia cari pekerjaan tambahan. Mottonya adalah ibadah melalui “kerja, kerja, dan kerja.”
Pakaiannya sederhana, tidak ganti ganti, tidak layak, dan ditambal sana sini. Sandal juga butut, seleranya ditahan dan kebutuhan dirinya sering dikesampingkan, bukan karena ia tak punya uang, tapi ia lebih memprioritaskan keluarga yang disayanginya, ia alokasikan uang sebesar-besarnya untuk kebutuhan dan kebahagiaan keluarga; memenuhi kebutuhan harian, pendidikan dan kesejahteraan orang orang tercinta.
Jika sesekali ada pemasukan tambahan, atau rezeki dadakan, Sang Ayah langsung ingat anak istrinya, dan ia rencanakan pemasukan tambahan itu untuk kebutuhan keluarga yang belum sempat ia penuhi. Padahal ia juga butuh. Kendaraan dan pakaiannya sudah tua, butut. Ia sabar dengan kesederhanaan itu, demi keluarga tercinta.
Ia berkerja keras dan ia berusaha keras untuk melalukan apapun demi keluarganya.
Demi apa ?? ” Untuk Kau dan si Buah hati”
Inilah Ayah Tauladan. Inilah Ayah Idaman.
* * * *
Sebaliknya, tidak sedikit kita temui Ayah yang banyak gaya, hoby bicara, suka nongkrong dan “maota”. Ia suka bersenang-senang, santai, dan bergaya ikut zaman. Pakaiannya licin dan rapi. Rokok dua bungkus sehari. Tak jarang ia punya binatang piaraan, seperti anjing, burung, atau lainnya. dan tentu saja kendaraan pribadi yang nyaman, yang semuanya itu membutuhkan anggaran dan biaya rutin.
Tapi, kebutuhan keluarga tidak jadi prioritas. Anggaran dapur tidak maksimal. Belanja anak-anak tidak memadai. Bahkan, uang sekolah tak jarang menunggak.
Si Ayah, hobi berhutang dan kredit belanja kebutuhan yang “tidak penting”. Kredit rumah, kredit kendaraan, kredit tanah, dan bahkan kredit HP atau kredit pakaian. Hutang menumpuk, dan untuk membayar cicilan hutang bulanan si Ayah kerepotan, karena pemasukan berkurang, tidak seimbang antara belanja dan pemasukkan.
Yang paling mengenaskan adalah, ketika pemasukan makin berkurang, sedang hutang mesti dibayar, dan anggaran hidup tinggi, maka tindakan yang dilakukan oleh Ayah itu mengurangi anggaran keluarga, Memangkas alokasi kebutuhan rumah tangga, dan memotong jatah belanja anak. Si Ayah mengajak keluarga, istri dan anak anak untuk hemat, mengetatkan ikat pinggang, hidup sederhana, dan menahan selera dan hidup prihatin. Anehnya, gaya hidup sang Ayah tidak berubah, anggaran rokok tidak dikurangi, hobi tak perlu yang menguras anggaran tidak dihentikan, seleranya tidak ditahan. Rencana kredit rumah, kredit kendaran tetap dipaksakan, dan dilanjutkan.
Tentu saja keluarga ini bergolak. Anak istri tidak setuju, keberatan dan protes. Tapi Sang Ayah tidak bergeming, tidak peduli, dan ngak mau tahu. Si Ayah, bahkan mengancam dan menghardik anak istrinya, tak jarang tega memukul dan melukai orang yang seharusnya dilindungi, disayangi dan diayomi nya.
Inilah tipe Ayah Hedon, Ayah Kapundung, Ayah kucing Air.
* * * * *
Indonesia pernah punya Ayah penyayang. Pemimpin yang rela menderita, demi anak-anak nya, demi rakyat dan bangsanya.
Kita punya Agus Salim; Tokoh nasional, Perumus pembukaan UUD 1945, Diplomat ulung, dan mantan Mentri Luar Negeri. Pemimpin kita ini, sampai wafatnya tetap ngontrak. Rumah nya sempit di gang sempit. Tidak sanggup bayar listrik, dan sering makan dengan menu sangat sederhana.
Juga ada M. Natsir; Ulama, Politikus, dan Pejuang kemerdekaan, Mantan menteri dan Perdana Mentri RI, Presiden liga Muslim Dunia, Ketua Dewan Mesjid se-Dunia. Tokoh ini masih memakai pakaian bertambal dan bertahun tahun hidup menumpang di paviliun milik Prawoto Mangku Sasmito, dan hanya punya mobil tua De Soto, yang Ia beli setelah menabung bertahun- tahun.
Sebagaimana Bung Hatta; Tokoh Proklamator, Wakil Presiden. Namun ia tak mampu bayar listrik dan sampai akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu Bally, yang diidam-idamkannya.
Ada Sutami; Menteri Pekerjaan Umum paling lama dalam sejarah Indonesia, yang membeli rumah secara mencicil, yang baru lunas setelah dia pensiun.
Ada Ki Mangun Sarkoro; mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Selama menjadi menteri pun pakaiannya tetap sederhana, dan hanya pakai sarung ke kantornya.
Juga ada Jaksa Agung dan Menkumham Baharuddin Lopa. Hanya punya rumah sederhana dan mobil sederhana Toyota Kijang.
Para pemimpin kita dulu adalah Ayah-ayah sederhana, rela susah dan menderita, demi kita anak-anak nya, demi bangsa dan negara nya.
Mereka hidup sederhana, maka mereka peduli pada orang-orang duafa. Mereka juga menderita, maka mereka mengerti tentang penderitaan rakyat nya. Mereka juga sering lapar, maka mereka faham derita orang-orang miskin dan kesusahan rakyat jelata, wong cilik yang tak berdaya. Mereka ada bersama rakyatnya, mereka juga menderita jika rakyatnya menderita.
Kebahagiaan rakyat adalah kebahagiaanya. Derita rakyat adalah deritanya. Jika rakyatnya kenyang, mereka yang paling terakhir kenyang. Ketika rakyat nya kelaparan, mereka yang pertama lapar. Mereka lah pemimpin kita. mereka Ayah idaman dan ayah teladan bangsa.
* * * * *
Kita sungguh berharap, hadir kembali ayah-ayah penyayang. Pemimpin yang punya rasa iba. punya simpati dan empati pada rakyat dan bangsa yang susah, miskin, duafa, dan wong cilik.
Ketika negara ini kesulitan keuangan, maka tindakan yang diambil oleh Ayah kita adalah mengeluarkan pengumuman: “gaji saya dipotong, gaji para pejabat di potong, fasilitas komisaris dan pejabat teras BUMN yang fantastis dikurangi, proyek-proyek ambisius ditunda atau dibatalkan, gaya hidup hedonisme dilarang, dan itu dimulai oleh Ayah itu sendiri. Semua jabatan negara, badan-badan, lembaga lembaga, komisi-komisi, dan organ-organ yang menghabiskan anggaran dibubarkan, dan diefisienkan.
Adapun subsidi dan bantuan untuk rakyat kecil tidak boleh dipotong apalagi dicabut. Jika tidak ditambah, jangan dikurangi. Pajak kalau tidak dihapus, jangan ditambah.
Sungguh saya rindu “Ayah penyayang, Ayah Peduli, Ayah Idaman, dan Ayah teladan”.
“Ya Allah beri kami pemimpin penyayang. Beri kami Ayah-Ayah yang punya rasa iba, siap menderita bersama anak anak nya, rela susah demi kami rakyatnya”. ” Ya Allah kabulkan, Ya Allah wujudkan”