“Anomali” Pembangunan Kota Padang

Oleh: Mulyadi Muslim

Secara usia, saya baru dua puluh tahun menjadi warga kota Padang secara resmi, tetapi bolak-balik ke kota Padang rasanya sejak empat puluh tahun yang lalu. Dalam rentang waktu yang relatif panjang itu saya mencoba mengkontemplasikan rencana dan arah pembangunan kota Padang – kota bingkuang, kota tercinta, kucinta dan kubela.

Jika diukur dengan usia kemerdekaan Republik Indonesia, maka kota kita ini sudah berusia tujuh puluh sembilan tahun, yang secara usia biologis tidak lagi muda, tapi menua dan mulai ringkih. Itu dibuktikan dengan banyaknya gedung-gedung lama yang mulai kusam, runtuh dan roboh dimakan usia ataupun bencana alam seperti gempa. Apalagi jika menilai usia kota dengan pendekatan awal berdirinya kota sejak masa penjajahan, maka usia kota Padang tahun ini sudah menginjak tiga ratus lima puluh lima tahun. Usia yang bukan saja tua dan ringkih tapi sudah sangat uzur dalam menjalani kehidupan peradaban. Empat bahkan sudah lima generasi manusia (cicit atau cucuang) yang hidup di Kota Padang.

Yang menjadi perhatian kita dalam kontemplasi usia kota ini bukanlah kemajuan peradaban dalam pembangunan fisik, tetapi tentang pembangunan manusianya, pembangunan jiwa dan arah religiusitas masyarakatnya, yang menurut hemat penulis, semakin ke sini semakin kontradiktif dan terjadi kesenjangan dan persimpangan yang disebut dengan anomali.

Sekedar menyebut contoh untuk menggugah kita semua. Falsafah hidup masyarakat Sumatera Barat karena suku dan budayanya Minangkabau adalah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang jadi guru sudah sampai puncaknya, karena telah diakui oleh negara dengan disahkannya undang-undang nomor 17 tahun 2022 tentang Sumatera Barat (pasal 5, tentang adat dan budaya). Bahkan sebelumnya telah didahului dengan pengesahan perda nomor 8 tahun 2017 tentang Nagari, yang memberi ruang sangat luas dalam melestarikan adat dan budaya Minangkabau. Tetapi pil pahit yang dirasakan di lapangan adalah ketidakjelasan dalam keberpihakan pemerintah dalam menjalankan undang-undang dan perda dimaksud. Dengan alasan pemerintahan terendah di perkotaan adalah lurah, maka yang namanya lembaga kerapatan adat nagari yang lebih dulu ada dari lurah tidak memiliki kewenangan dan power kecuali dalam urusan adat dan budaya, Tanah Ulayat dan urusan anak keponakan, tapi tanpa anggaran resmi dari pemerintah kota.

Contoh anomali kedua, pemerintah kota mendeklarasikan kota Padang adalah kota penghafal Quran/kota tahfidz. Jumlah siswa SD sebanyak 57.447 orang dan SMP yang mencapai 22.973 orang (data dapodik diknas kota Padang) ditargetkan menjadi para penghafal Quran, minimal satu juz, juz 30 dan akan dilaksanakan wisuda setiap tahun serta diberi reward bagi mereka yang bagus hafalannya serta banyak jumlah hafalannya. Begitu lebih kurang propagandanya ketika kegiatan ini diluncurkan. Tetapi yang menjadi tanda tanya adalah apa kebijakan resmi pemerintah dalam merealisasikan ini? Adakah pelajaran resmi tahfidz di sekolah? Berapa jam sehari atau sepekan? Siapa gurunya? Berapa kebutuhan penambahan guru tahfidz di SD dan SMP negeri? Jika disetujui ada penambahan guru dari mana anggaran honornya, apakah ada dari APBD?

Contoh ketiga, lembaga resmi yang diakui negara dalam mengawal keberagamaan umat adalah Majelis Ulama Indonesia sesuai dengan tingkatannya. Tetapi MUI Kota Padang sampai hari ini belum punya kantor yang permanen (sekarang masih numpang di lantai dua masjid agung Nurul Iman). Biaya operasional pengurus mengandalkan bantuan dari APBD yang dari tahun ke tahun terus dikurangi, sementara ada lembaga non pemerintah, Ormas, Komite Olahraga dan bahkan Cabang olahraga tertentu bisa mendapat pokir dari anggota dewan. Bahkan MTQ untuk tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kota sempat ditiadakan dua tahun terakhir. Dengan alasan klasik yaitu ketiadaan anggaran atau minim atau tidak masuk program unggulan.

Begitu juga dengan penanganan masalah sosial, khususnya kenakalan remaja dalam bentuk LGBT, Narkoba, Judi online ataupun tawuran. Satpol PP dan aparat kepolisian seakan-akan tumpul dan tidak berdaya, sementara Ninik Mamak dan ulama tidak punya kewenangan untuk melakukan tindakan. Bahkan ada sebagian orangtua pelaku juga sudah menyerah dan pasrah. Sementara anak-anak yang terlibat LGBT, Narkoba, Judi online dan tawuran terus bertambah setiap hari. Di sisi lain banyak juga masjid dan musholla yang berdiri. Jika dulu, sepuluh atau lima tahun yang lalu Masjid atau mushollah hanya ada satu atau dua di setiap kelurahan, sekarang tidak saja per RW atau RT, di setiap kompleks pun juga sudah ada, tetapi nyaris yang memakmurkannya adalah orang dewasa.

Sudah saatnya kita duduk bersama, ber iya-iya, bajaleh-jaleh, mau dibawa kemana kota Padang tercinta, ku jaga dan kubela ini dalam urusan agama, adat dan budaya. Jika ada peraturan yang perlu kita revisi, mari kita revisi, jika belum ada regulasinya, mari kita buat bersama. Inilah saatnya pemerintah kota bersama anggota dewan yang baru terpilih, duduk bersama dan serius memikirkan arah pembangunan jiwa dan raga warga kita. Begitu juga bagi warga kota, mari kita cari pemimpin kota yang dekat dengan rakyat, peduli dengan urusan agama, bukan sekedar propaganda tapi ada bukti nyata. Jangan kita terkesima oleh janji-janji belaka, atau iming-iming tim yang sedang mencari suara.

Di usia kota yang ke 355 tahun, mari kita bersyukur atas karunia Allah dengan semangat Taqwa, keluar dari anomali dan kesenjangan dalam membangun jiwa warga. Punya semangat yang sama dalam menghidupkan adat dan budaya serta agama. Kita mulai dari sekarang, apa yang kita bisa, dari diri dan keluarga untuk kota Padang yang kita cintai, kujaga dan kubela.

Tinggalkan komentar