4. PEMBERANI (شجاعة)
Pemberani berasal dari kata berani. Artinya adalah mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya. Berani adalah lawan dari takut atau pengecut (gentar, kecut). Di dalam Islam, keberanian adalah sikap tegas dan kuat dalam membela kebenaran, serta bersabar terhadap semua rintangan yang akan dihadapi saat membela kebenaran tersebut.
Keberanian adalah sebuah sifat terpuji dan akhlak mulia yang banyak diinginkan orang. Tentunya yang dimaksud adalah keberanian dalam kebenaran. Adapun berani melakukan perbuatan tercela atau mengambil hak orang lain secara tidak sah, itu bukanlah akhlak mulia dan bukanlah keberanian yang benar. Berani yang benar adalah kemantapan hati dan rasa percaya diri dalam melakukan kebenaran. Dan berani tak melulu bermakna maju bergerak mengambil tindakan. Karena mengalah pun kadang bisa menaklukkan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, mungkin tidak mudah kita temukan seseorang yang begitu sempurna. Bersifat santun dan lemah lembut, namun juga memiliki keberanian. Disatu sisi dia pemaaf, tapi disisi lain juga memiliki ketegasan. Orangnya penuh kasih sayang sekaligus juga seorang pejuang di medan perang. Kalau ada orang yang mampu mengompromikan sifat-sifat yang terlihat bertentangan ini dengan sempurna, maka dialah Nabi Allah yang mulia, Muhammad bin Abdullah Saw.
Rasulullah Saw memiliki sifat berani dalam mengemban dakwahnya. Sebagai konsekwensi dari dakwah yang dibawanya dan ajaran “baru” yang berbeda dengan mayoritas kaumnya, Beliau harus menghadapi tekanan lahir dan batin dan ancaman nyata secara fisik dan mental. Bahkan demi kejayaan umat dan agama yang dibawanya, nyawa adalah taruhannya. Baik itu di periode dakwah tanpa perang di Makkah, apalagi ketika masuk periode Madinah yang banyak peperangan.
Datang ke medan perang, sudah menunjukkan bagaimana kuatnya mental dan keberanian seseorang. Tidak sedikit orang yang kakinya yang gemetar, hati-hati yang kokoh sekejap menjadi pudar, karena dalam peperangan itu batas kehidupan dengan kematian begitu dekat. Antara perisai dan sebilah pedang. Kadang tanpa diduga sebuah anak panah bisa menancap tepat di leher. Atau tiba-tiba tombak melayang dan menancap di dada. Terlebih lagi bila perang jarak dekat, bertatap muka langsung dengan musuh. Setiap kayuhan pedang musuh adalah kesempatan hidup atau jemputan ajal.
Menantang Tokoh-Tokoh Quraisy
Urwah bin az-Zubair pernah berbincang-bincang dengan Abdullah bin Amru bin Ash. Ia bertanya, “Berapa sering engkau lihat kafir Quraisy mengintimidasi Rasulullah Saw karena ia menampakkan permusuhannya?” Abdullah bin Amr menjawab, “Aku pernah melihat dalam sebuah majelis mereka, pada suatu hari pembesar-pembesar mereka berkumpul di Hijir Isma’il. Mereka memperbincangkan Rasulullah Saw.
Diantara mereka berkata, “Kita tidak pernah melihat kesabaran kita dalam menghadapi sesuatu, lebih besar kecuali terhadap orang ini (Muhammad). Ia telah menganggap bodoh orang-orang pintar kita, mencela agama kita, menghina bapak-bapak kita dan memecah belah persatuan kita, serta mencela tuhan-tuhan sembahan kita. Sungguh kesabaran kita kepadanya adalah perkara yang besar.”
Ketika mereka dalam perbincangan tersebut, muncullah Rasulullah Saw yang berjalan thawaf di sekeliling Ka’bah. Beliau mengusap rukun Yamani sambil mengelilingi Baitullah. Dan tentu saja beliau melewati mereka. Ketika mereka melihat Nabi Saw mereka langsung menghinanya dengan kata-kata cacian.
Abdullah bin Amr melanjutkan, “Aku mengetahui hal itu dari ekspresi wajah beliau. Kemudian beliau berlalu. Ketika beliau melewati mereka untuk kali yang kedua, mereka kembali mencelanya seperti semula. Dan aku bisa mengetahui hal itu dari wajahnya. Beliau tetap berlalu (tidak memperdulikannya). Lalu beliau melewati mereka untuk kali yang ketiga, mereka kembali mencelanya seperti semula. Maka Rasulullah Saw bersabda:
تَسْمَعُونَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، أَمَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِالذَّبْحِ
Artinya: “Dengarlah wahai orang-orang Quraisy, demi Dzat yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya, sungguh aku datang untuk menyembelih kalian!!!”
Maka kata-kata itu menjadikan mereka merasa ngeri. Sehingga, tidak ada seorang pun dari mereka kecuali seakan-akan di atas kepalanya ada seekor burung yang hinggap”. (HR. Ahmad 6739).
Artinya mereka semua langsung terdiam dengan bentakan (kata-kata) Rasulullah, dan saking terdiamnya mereka, burung pun bisa hinggap di atas kepala mereka, karena mengira mereka hanyalah patung.
Rasulullah Saw paling terdepan menjaga keamanan
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Saw adalah seorang yang paling indah fisiknya dan paling pemberani. Suatu ketika penduduk Madinah ditimpa rasa takut (karena suara keras), maka mereka pun pergi ke arah itu. Ternyata mereka menjumpai Rasulullah Saw telah mendahului mereka dalam keadaan pulang dari tempat dimana suara ini muncul. Ketika itu Beliau berada di atas kuda milik Abu Thalhah tanpa pelana. Sedangkan di dekat leher Beliau ada pedang sambil Beliau bersabda:
لَمْ تُرَاعُوا لَمْ تُرَاعُوا قَالَ وَجَدْنَاهُ بَحْرًا أَوْ إِنَّهُ لَبَحْرٌ قَالَ وَكَانَ فَرَسًا يُبَطَّأُ. (رواه مسلم).
Artinya: “Jangan kalian takut! Jangan kalian takut!” Kemudian Beliau lanjutkan, “Sungguh kudapati kuda ini sedemikian kencang larinya bagaikan ombak menggulung lautan.” Atau dengan redaksi lain, “Sungguh kuda ini bagaikan ombak menggulung lautan.” Kata Anas, padahal kuda itu sebelumnya sangat pelan jalannya.” (HR Muslim).
Betapa pemberani Rasulullah Saw di tengah para sahabatnya. Banyak orang yang masih berada di rumahnya, atau ada rasa takutnya karena suara bunyi yang besar dan menggelegar. Kalaupun ada yang berani keluar menunggang kudanya untuk mencari informasi dan sumber suara, namun tetap saja mereka terlambat dan tertinggal dari Rasulullah Saw. Mereka baru akan mencari, sedangkan Rasulullah Saw sudah kembali.
Maka Rasulullah adalah orang yang paling pemberani di hadapan para sahabatnya. Anas bin malik radhiallahu anhu berkata:
كَانَ النَبِي –صلى الله عليه وسلم-أَشجعَ النَاس وَأَجوَادُ النَاسِ
Artinya: “Rasulullah Saw adalah orang yang paling berani dan paling dermawan.” (H.R.Bukhari No.1033; Muslim No.2307).
Memompa semangat juang kaum Anshar dalam perang Badar
Ketika akan memulai perang melawan kafir Quraisy di Badar, Rasulullah Saw mengajak berunding para sahabatnya. Apakah akan terus lanjut berperang melawan pasukan yang besar atau tidak. Sebab rencana awalnya hanya menghadang kafilah dagang Quraisy yang berkekuatan hanya 40 orang dengan senjata seadanya. Ternyata kafilah dagang tersebut telah lolos dan sekarang mereka akan berhadapan dengan pasukan kuat dengan personil 1000 orang dan bersenjata lengkap.
Para petinggi kaum Muhajirin seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab sudah berkomentar memantapkan hati untuk berperang. Rasulullah Saw masih menunggu respon dari kaum Anshar. Sebab mereka belum terikat perjanjian untuk berperang Bersama kalau di luar kota Madinah. Maka Ketika itulah pemimpin kaum Anshar, Sa’ad bin Muadz berbicara dan berkomentar:
“Wahai Rasulullah, sepertinya engkau khawatir bahwa kaum Anshar tidak memiliki kewajiban membela engkau di luar wilayah mereka. Sekarang aku akan berkata atas nama kaum Anshar. Maka berangkatlah kemanapun engkau suka, dan sambunglah tali silaturrahmi kepada orang yang engkau kehendaki, kemudian putuslah hubungan dengan orang yang engkau kehendaki, ambillah dari harta kami yang engkau kehendaki, dan berilah kepada kami (bagian ghanimah) seberapapun yang engkau kehendaki.”
Sa’ad melanjutkan kalimatnya, “Harta engkau ambil dari kami itu lebih kami cintai ketimbang yang engkau tinggalkan untuk kami. Dan apa yang engkau perintahkan kepada kami maka perkara kami mengikuti perkaramu. Demi Allah, seandainya engkau berjalan hingga sampai ke lembah Ghamdan, niscaya kami akan ikut serta bersamamu. Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau menghadapkan kami pada sebuah laut kemudian engkau menyeberanginya, niscaya kamipun akan ikut menyeberanginya bersamamu. Tak seorangpun dari kami yang menyelisihi. Kami tidak merasa benci untuk bertemu musuh besok pagi. Kami akan bersabar di medan perang, dan kami jujur menghadapi musuh.”
Sa’ad masih melanjutkan, “Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memperlihatkan kepadamu dari perbuatan kami sesuatu yang menyejukkan pandanganmu, maka berangkatlah bersama kami atas barakah dari Allah ‘Azza wa Jalla.”
Seketika itu wajah Rasulullah Saw tampak berseri-seri dan Beliau sangat gembira dengan sesuatu yang telah didengarnya. Bahkan menjadikannya lebih bersemangat, kemudian Beliau bersabda:
سِيْرُوْا وَأَبْشِرُوا، فَإِنَّ اللهَ قَدْ وَعَدَنِي إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ، وَاللهِ لَكَأنِّي الْآنَ أَنْظُرُ إِلَى مَصَارِعِ الْقَوْمِ
Artinya: “Berangkatlah dan berilah kabar gembira, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok, sungguh seakan-akan aku sekarang melihat pertempuran sebuah kaum.” (Zadul Ma’ad, 3/173; Rahiqul Makhtum, 200).
Menjadi sandaran para sahabat saat mereka takut
Para sahabat Rasulullah seringkali berlindung dan bersandar kepada Rasulullah Saw bila dalam situasi genting dan menakutkan. Apabila merasakan perang semakin memanas, maka mereka berlindung di belakang punggung Nabi Saw dan menjadikan Beliau di depan mereka sebagai perisai. Tentulah Beliau yang menjadi paling dahulu terkena serangan senjata lawan.
Mengenai hal ini, Al Barra’ berkata, “Demi Allah, saat perang semakin memanas, maka kami berlindung di balik Rasulullah Saw, dan orang yang pemberani di antara kami adalah orang yang sejajar dengan Beliau Saw.” (HR. Bukhari)
Begitu juga komentar Ali ra. tentang keberanian Rasulullah. Ia berkata, “Kami, ketika perang semakin memanas, maka kami melindungi diri dengan Rasulullah Saw. Sehingga tidak ada yang lebih dekat dengan musuh dari pada Beliau.”
Dalam perang Hunain saat kaum muslim terpukul mundur, sebagian besar dari mereka melarikan diri, namun Nabi Saw tetap di tempatnya tidak berpindah sambil menyeru dengan suara yang lantang:
أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبْ أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبْ. (متفق عليه).
Artinya: “Aku seorang nabi tidak dusta. Aku putra Abdul Muththalib.” (HR. al-Bukhari 2709 dan Muslim 1776).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya, “Ini adalah puncak keberanian yang sempurna. Dalam keadaan perang sengit, pasukan tengah terpukul mundur, dan hanya dengan menunggangi keledai, hewan yang tidak bisa berlari kencang, tidak mampu dipakai bergerak maju mundur untuk menyerang atau melarikan diri, beliau menerobos musuh sambil meneriakkan nama beliau. Hal itu, agar orang yang tidak mau mengenal beliau sampai hari Kiamat sudah tahu tentang beliau…” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/357).
Keberanian yang menular
Sifat pemberani Rasulullah Saw ternyata menular kepada para sahabatnya. Sehingga mereka menjadi figur dan teladan dalam keberanian. Mereka dapat menjadi contoh yang paling menarik bagi generasi-generasi setelah mereka. Di antara mereka adalah para sahabat berikut ini:
Ali bin Abi Thalib. Ia tumbuh dan besar di bawah asuhan Nabi Saw. Setiap hari ia telah mendapatkan contoh yang luar biasa tentang keberanian. Dan yang paling fenomenal adalah ketika ia berani tidur di ranjang Rasulullah Saw saat Beliau berhijrah. Padahal ketika itu musuh hendak membunuh Rasulullah. Namun Ali ra. rela menempati ranjang Beliau untuk memudahkan urusan Beliau Saw, agar dapat berhijrah dengan selamat ke Madinah.
‘Amr bin Jamuh. Sahabat yang mulia, yang anak-anaknya menahannya agar tidak ikut ke medan perang. Sebab ia telah memiliki udzur dan terbebas dari kewajiban berperang, karena kakinya yang pincang. Namun ‘Amr berkata kepada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya saya ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang.” Kemudian ia meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk berperang. Setelah Rasulullah mengizinkan, ia pun berangkat ke medan perang. Ia berperang dengan gagah berani sehingga memperoleh syahid di jalan Allah.
Abdullah bin Rawahah. Seorang sahabat yang mulia, ia rela berjihad di jalan Allah dan syahid di perang Muktah. Sebelum ia mendapatkan syahid, ia berbicara dengan dirinya dan memotivasi dirinya agar semangat untuk berperang, sambil berkata:
Aku bersumpah wahai diri, engkau harus terjun ke dalamnya
Mengapa aku lihat engkau membenci surga
Wahai diri, jika engkau tidak mati syahid, engkau tetap akan mati
Inilah kematian yang telah membakarmu
Apa yang engkau inginkan, maka telah diberikan kepadamu
Jika engkau melakukannya, maka engkau telah mendapat petunjuk
Abdullah ingin memperoleh syahid dan ingin bertemu dengan kedua sahabatnya, yaitu Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib yang telah syahid dalam perang Muktah sehingga ia pun gugur pula sebagai syahid.
Dan masih banyak lagi keteladanan dalam keberanian dari para sahabat Nabi yang dapat diteladani dari generasi ke generasi. Wallahu A’laa wa A’lam.