
2. AMANAH
Amanah secara bahasa artinya bisa dipercaya, juga mengandung makna bertanggungjawab. Amanah juga bermakna sesuatu yang dititipkan atau dipercayakan. Misalnya, “Tolong jaga amanah ini!” artinya adalah tolong jaga titipan ini. Amanah merupakan bahasa Arab dalam bentuk mashdar. Ia berasal dari kata kerja amina – ya’manu – amnan – wa amanatan. Akar katanya berasal dari huruf hamzah, mim, dan nun, yang artinya aman, tentram, tenang, dan hilangnya rasa takut.
Secara istilah Amanah maksudnya adalah sifat yang menunjukkan seseorang dapat dipercaya, baik yang terkait dengan benda berupa uang, emas dan lain-lain, atau terkait harga diri berupa nama baik, kehormatan, atau yang terkait dengan tugas berupa pekerjaan dan jabatan, dan lain-lain, atau yang terkait kekayaan intelektual berupa tulisan, pemikiran dan lain-lain. Dengan begitu, amanah bisa dikaitkan dengan sifat seseorang yang dapat dipercaya atau sesuatu yang dipercayakan. Orang yang bisa dipercaya digelari dengan Al Amiin. Sedangkan lawan dari sifat Amanah ini adalah khiyanah (berkhianat).
Amanah memiliki akar kata yang sama dengan iman. Karena itu ada keterkaitan langsung antara iman dan sifat amanah. Sifat amanah bisa menjadi salah satu indikator keimanan seorang. Maka orang yang beriman akan selalu berusaha untuk menjaga amanah dengan sebaik-baiknya. Rasulullah Saw mengaskan bahwa amanah menjadi pilar utama keimanan, sebagaimana dalam sabdanya:
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
Artinya: “Tidak sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama orang yang tidak menunaikan janji.”(HR. Ahmad).
Rasulullah Saw dan Amanah Kafir Quraisy
Semenjak sebelum kenabian, Rasulullah sudah dikenal di kota Makkah sebagai seorang yang dapat dipercaya. Sehingga ia digelari dengan Al Amin. Orang-orang Quraisy banyak yang menitipkan barang berharga mereka kepada Beliau bila mereka berpergian jauh. Kepercayaan itu bahkan terus berlanjut sampai Beliau menjadi Nabi. Walaupun para petinggi Quraisy tersebut tidak beriman atas kenabian Beliau, akan tetapi mereka tetap menitipkan amanah mereka kepada Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah Saw sudah mendapat izin dari Allah Swt untuk hijrah ke Madinah, maka Rasulullah Saw menyusun strategi dan rencana hijrah bersama Abu Bakar Ash Shiddiq. Salah satu yang menjadi perhatian Rasulullah Saw adalah mengembalikan barang-barang titipan kafir Quraisy kepada para pemiliknya. Ali bin Abi Thalib mendapat tugas ini dari Rasulullah Saw.
Betapa Beliau sangat amanah, walaupun terhadap barang titipan orang-orang yang sangat membencinya bahkan hendak membunuh Beliau. Setelah 5 tahun menjadi Nabi di Kota Makkah, nyaris sepanjang 8 tahun berikutnya Rasulullah Saw mengalami cobaan yang sangat hebat dan gangguan yang luar biasa dari kafir Quraisy. Berulang kali gangguan fisik mereka lakukan kepada Beliau, disamping gangguan-gangguan lain yang bersifat verbal. Namun demikian Beliau tetap amanah menjaga barang-barang titipan mereka, tanpa kurang sedikitpun.
Mengembalikan Amanah kunci Ka’bah
Ketika terjadi Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), Rasulullah Saw hendak memasuki Ka’bah. Sementara pintunya masih terkunci, dan kuncinya dalam kekuasaan Utsman bin Thalhah. Rasulullah Saw meminta kunci tersebut kepada Utsman, namun ia ragu untuk memberikannya. Ia khawatir kekuasaan memegang kunci Ka’bah yang sudah turun-menurun dia pegang, akan beralih kepada orang lain. Dan dia sendiri memang belum beriman kepada Rasulullah Saw. Malah dia berkata, “Kalau saya mengetahui dia seorang Rasul, niscaya saya tidak akan mencegahnya untuk masuk ke dalam Ka’bah.”
Namun akhirnya Utsman bin Thalhah bersedia memberikannya kepada Rasulullah Saw dan mengatakan, “Ini amanah kepadamu wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah Saw membuka pintu Ka’bah dan masuk ke dalamnya. Setelah menghancurkan berhala yang ada di dalamnya dan shalat sunnat disana, Rasulullah Saw keluar dari Ka’bah. Saat itulah Abbas bin Abdul Muththalib menghampiri Rasulullah Saw, meminta kunci Ka’bah. Abbas ingin menggabungkan kekuasaan penjagaan Ka’bah dengan pengendalian air Zamzam yang selama ini sudah dalam genggamannya.
Pada momen inilah Allah Swt menurunkan firmanNya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا. (النساء: 58).
Artinya:“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58).
Maka kemudian Rasulullah Saw memerintahkan agar kunci Ka’bah dikembalikan kepada Utsman bin Thalhah. Karena itu adalah amanah yang dia terima. Sehingga Utsman Kembali menerima haknya, dan dia merasa sangat bahagia serta terbuka hatinya untuk menerima Islam. Ternyata ada ayat turun terkait dirinya dan menegaskan kembali haknya terhadap penjagaan Ka’bah. Utsman bin Thalhah pun masuk Islam setelah itu.
Hati-hati dalam memberikan Amanah
Dalam menjalankan Amanah, Rasulullah Saw sangat berhati-hati ketika memberikan amanah. Tidak sembarangan orang Beliau berikan tugas, melainkan yang betul-betul yang memiliki kompetensi dan kemampuan untuk memikulnya. Sebab, bila sebuah urusan diberikan bukan kepada ahlinya, akan berakibat kehancuran. Beliau telah bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ. (رواه البخاري).
Artinya: “Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; “Bagaimana maksud amanah disia-siakan?” Nabi Saw menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari – 6015).
Ada seorang sahabat Rasulullah Saw yang datang menghadap dan meminta jabatan sebagai pegawai Rasulullah. Tapi Rasulullah menolaknya dan memberikan penjelasan sebagai mana dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا. (رواه البخاري).
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Dzar dia berkata, saya berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata, “Kemudian Beliau menepuk bahuku dengan tangan Beliau seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan), dan jabatan itu merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR Muslim: 3404)
Amanah itu keberpihakan kepada kebenaran
Amanah itu bagian dari sikap cinta kepada kebenaran dan mendahulukannya. Jika seseorang mendapatkan amanah, lalu ia berpeluang untuk mengambil yang bukan haknya dari amanah tersebut, atau ternyata yang memberi amanah tidak mempunyai bukti yang kuat bahwa haknya ada sama orang yang menerima amanah, akan tetapi si penerima amanah tetap memunaikannya dengan penuh dan maksimal, maka itu adalah sikap amanah yang benar dan itu merupakan bukti keberpihakannya kepada kebenaran.
Akan tetapi, bagi orang yang bersifat khianat, segala peluang untuk “mencuri” amanah akan dimanfaatkannya. Apalagi bila tidak ada bukti-bukti yang memadai. Maka barang amanah itu akan bisa hilang dan tidak kembali lagi kepada pemiliknya yang sah. Dalam sebuah hadits yang panjang, Rasulullah Saw menceritakan pertolongan Allah Swt kepada 3 orang pemuda yang terkurung di dalam goa. 3 orang tersebut selamat setelah berdoa dengan berwasilah dengan amal shaleh yang telah diperbuatnya. Salah seorangnya adalah terkait menunaikan amanah. Rasulullah Saw bersabda:
وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ. (متفق عليه).
Artinya: Kemudian orang ketiga berdo’a, “Ya Allah, aku dahulu pernah mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji pada mereka. Namun ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya aku kembangkan hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku. Ia pun berkata padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?” Aku pun berkata padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu (yang telah dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa aku tidak sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut dan menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan berjalan. (HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)
Dari kejadian dalam hadits ini juga dapat dipahami bahwa sifat amanah sangat terkait dengan sifat ‘iffah (menjaga kehormatan diri) seseorang. Orang yang sangat menjaga kehormatan dirinya tidak akan berani mengambil harta atau sesuatu yang bukan menjadi hak miliknya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak punya harga diri dan tidak mau menjaga kehormatannya, bisanya akan mudah berkhianat atau menyia-nyiakan amanah.
Semua manusia memikul Amanah
Sesungguhnya sangatlah tepa tapa yang dinyatakan oleh Rasulullah Saw bahwa, “Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Amanah yang paling pertama dan utama bagi manusia ialah amanah taat dan patuh kepada Allah, Sang Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta isi. Manusia hadir ke muka bumi ini telah diserahkan amanah untuk berperan beribadah menyembah Allah dan sebagai khalifah yang diwajibkan membangun dan memelihara kehidupan di dunia berdasarkan aturan dan petunjuk dari Yang Memberi Amanah, yaitu Allah Swt. Sebagaimana dalam firmanNya:
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا. (الأحزاب: 72).
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”(QS Al-Ahzab 72)
Amanat ketaatan ini sedemikian beratnya sehingga makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung saja enggan memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian ketika ditawarkan kepada manusia, amanat itu diterima. Sehingga dengan tajam Allah Swt menyatakan: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” Benarlah saat ini manusia pada umumnya amat zalim dan amat bodoh. Sebab tidak sedikit manusia yang dengan terang-terangan mengkhianati amanat ketaatan tersebut. Wallahu A’laa wa A’lam.