1. SHIDQU (JUJUR)
Ash-Shidq secara bahasa berarti jujur atau berkata benar. Orang yang jujur dan berkata benar disebut dengan shaadiq.
Secara istilah, Ash shidqu adalah berkata dan bersikap dengan jujur dan benar, sesuai dengan realita dan kenyataan, dan sesuai dengan isi hati seseorang yang berkata tersebut. Lawan dari shidqu adalah kadzib (bohong). Yaitu berbicara tidak jujur, tidak sesuai kenyataan dan tidak sesuai isi hati pembicara.
Kalau anda berkata, “Saya membuat dan menjual mobil.” Dan kenyataannya memang anda telah membuat dan menjual mobil, maka anda telah jujur (Shiddiq). Atau anda katakan, “Saya kemaren berjumpa si fulan” dan memang anda telah berjumpa dengannya kemaren, maka anda telah berkata jujur. Sebaliknya jika kenyataannya anda tidak ada membuat dan menjual mobil atau tidak ada berjumpa dengan si fulan, maka anda telah berkata bohong (tidak jujur).
Ash Shidqu juga berlawanan dengan nifaq (kemunafiqan). Sebab nifaq biasanya menampilkan sikap atau ucapan yang tidak sesuai dengan kondisi hati (batin) orang tersebut. Contohnya adalah seperti orang-orang munafik, yang pura-pura menyatakan masuk Islam. tapi sebenarnya hati mereka masih tetap tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Seperti yang diungkapkan oleh Allah Swt dalam firmanNya:
إِذَا جَآءَكَ ٱلْمُنَٰفِقُونَ قَالُوا۟ نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُۥ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ لَكَٰذِبُونَ. (المنافقون: 1)
Artinya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS Al Munafiqun: 1).
Terkenal dengan kejujurannya
Rasulullah Saw sudah terkenal kejujurannya semenjak usia remaja. Sehingga orang-orang kafir quraisy menaruh kepercayaan kepada Beliau. Ketika remaja, beliau bekerja menggembala ternak (kambing) penduduk Makkah. Pekerjaan menggembala merupakan pekerjaan yang tidak sederhana, membutuhkan kesabaran dan sekaligus kejujuran.
Bila si pengembala tidak jujur, bisa-bisa binatang ternak milik tuannya tidak terjaga dengan baik, tidak makan sampai kenyang, atau hilang tercecer entah dimana, atau bahkan bisa saja dijualnya kepada orang lain. Tentu kalau ini terjadi, si pengembala tidak akan bertahan lama bekerja dengan tuannya tersebut. Dari pekerjaan menggembala itu Rasulullah Saw menerima upah sewajarnya. Dari hadits Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ » . فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ « نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ »
Artinya: “Tidak ada Nabi kecuali pernah menjadi penggembala kambing.” Mereka para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Iya, saya telah menggembala dengan imbalan beberapa qirath (mata uang dinar, pen.) dari penduduk Makkah.” (HR. Bukhari, no. 2262)
Ketika beranjak dewasa, Rasulullah Saw juga mendapat kepercayaan menjalankan bisnis (perdagangan) Khadijah ra. Karena Beliau mengelolanya dengan baik dan penuh kejujuran, maka bisnis tersebut menjadi berkembang. Orang-orang menjadi senang berjual-beli dengan Beliau. Akibatnya tentu saja Khadijah mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
Karena kemuliaan akhlak Rasulullah Saw yang jujur dalam berdagang itulah yang menyebabkan Khadijah tertarik dengan Rasulullah. Dan kemudian dia bersedia menikah dengan Rasulullah. Padahal sebelumnya sudah banyak pembesar Quraisy yang lebih kaya dan terpandang yang melamarnya. Namun semuanya dia tolak. Jadilah Khadijah kemudian menjadi Ummul Mukminin.
Menjadi penengah dalam peristiwa penting
Ketika selesai renovasi bangunan Ka’bah, para petinggi kabilah-kabilah Arab di Makkah bertikai dan berbeda pendapat tentang siapa yang berhak mengembalikan hajar aswad ke tempatnya semua. Masing-masing kabilah merasa bahwa merekalah yang paling berhak mendapatkan kemuliaan tersebut. Hampir saja terjadi pertumpahan darah gara-gara pertikaian tersebut. Untunglah kemudian mereka sepakat untuk memilih orang yang menengahi dan memberi keputusan tentang itu.
Orang yang pertama masuk ke Masjidil Haram waktu itu, dialah yang akan dipilih sebagai hakim penengah. Dan ternyata taqdir Allah Swt, yang pertama masuk adalah Rasulullah Saw. mereka dengan senang hati menyerahkan keputusan kepada Beliau. Karena Beliau senantiasa berkata jujur dan benar, maka keputusannya diterima secara baik. Beliau meletakkan sorban (selendangnya) di tanah, lalu Beliau angkat hajar aswad ke atas sorban tersebut. kemudian masing-masing pimpinan kabilah memegang bagian ujung (tepi) kain sorban bersama-sama, sambil membawa hajar aswad ke dekat Ka’bah. Dan di akhir Rasulullah Saw yang menempatkan kembali Hajar aswad pada posisinya.
Jujur dalam mengawali dakwahnya
Disaat mengawali dakwah secara terang-terangan, Rasulullah Saw naik ke bukit Shafa. Lalu Beliau berteriak memanggil orang-orang yang ada di sekitar Ka’bah untuk mendengarkan seruannya. Orang-orang Quraisy datang mendekat menghampirinya. Yang tidak dapat hadir, mengirim utusan untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh Muhammad Saw. Mengawali dakwahnya, maka Beliau bersabda:
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلاً بِالْوَادِي تُرِيْدُ أَنْ تُغِيْرُ عَلَيْكُمْ أَكُنْتُمْ مُصَدِّقِي ؟
Artinya: “Bagaimana pendapat kalian jika saya sampaikan bahwa ada pasukan berkuda di lembah yang hendak menyeran (HRg kalian, apakah kalian membenarkannya?”
قَالُوْا : نَعَمْ ! مَا جَرَبْنَا عَلَيْكَ إِلاَّ صِدْقاً.
Mereka menjawab: “Ya, kami tidak pernah membuktikan ucapanmu kecuali selalu benar.”
قَالَ : فَإِنِّي نَذِيْرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيَّ عَذَابٌ شَدِيْدٌ.
Kata Nabi: “Sesungguhnya kami memperingatkan kalian dari adzab yang berat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari dialog ini terbukti bahwa Rasulullah Saw sudah sangat dipercaya sebagai seorang yang jujur dan berkata benar. Dan Beliau mengawali dakwahnya dengan perkataan yang jujur dan benar.
Kejujurannya sampai kepada Raja Romawi
Kejujuran Rasulullah Saw tidak sebatas terkenal di kota Makkah saja. Bahkan berita tentang kejujurannya sampai kepada raja Romawi. Ketika itu Abu Sofyan sedang bersama rombongan pedagang Quraisy di kawasan kekuasaan Romawi. Maka rombongan ini bertemu dan berdialog dengan Raja Romawi.
Raja Romawi bertanya kepada Abu Sofyan perihal Nabi yang baru muncul di tanah Makkah: “Apakah kalian menganggapnya sebagai seorang pembohong sebelum dia mengaku sebagai seorang nabi?” Maka Abu Sofyan menjawab: “Tidak sama sekali.” Raja Romawi berkata: “Tidak mungkin dia meninggalkan berbohong kepada manusia, lalu dia berbohong kepada Allah.” (Tafsir Ath Thabary: 3/86).
Dengan logika yang sangat sederhana, Raja Romawi tahu dan paham bahwa Nabi yang baru muncul di kota Makkah itu benar adanya. Sebab orangnya selalu jujur kepada manusia, maka mustahil dia akan berbohong kepada Allah.
Jujur dalam menyampaikan Syariat dan janji Allah
Rasulullah Saw dalam menyampaikan seluruh syariat Allah Swt pastilah dengan jujur dan benar. Tidak ada sama sekali Beliau menambah-nambah atau mengurangi perintah Allah Swt. Tidak akan berani pula Beliau untuk menambah atau mengurangi ayat-ayat Al Quran. Itu semua adalah suatu yang mustahil akan Beliau lakukan. Dan bila itu beliau perbuat, pastilah Allah akan langsung menghukum Beliau. Allah Swt berfirman:
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46)
Artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS Al Haqqah: 44-46).
Begitu juga dalam menyampaikan janji-janji Allah dan ancaman-ancamanNya. Semuanya Beliau sampaikan secara jujur dan benar. Janji Allah bagi orang beriman berupa pahala, pertolongan Allah, kemenangan, balasan surga dan lain-lain, adalah benar semuanya. Begitu juga ancaman bagi orang yang durhaka dan membangkang kepada ajaran Allah berupa kehidupan yang susah, dosa-dosa, siksa neraka dan lainnya, semuanya juga adalah kebenaran. Allah Swt berfirman:
وَلَمَّا رَءَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْأَحْزَابَ قَالُوا۟ هَٰذَا مَا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَصَدَقَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ ۚ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّآ إِيمَٰنًا وَتَسْلِيمًا. (الأحزاب: 22)
Artinya: “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS Al Ahzab: 22).
Jujur mengantarkan kepada kemuliaan dan surga
Begitulah akhlak mulia Rasulullah yang terkenal sebagai seorang yang jujur dan selalu berkata benar. Sehingga Beliau digelari dengan Ash Shaadiqul Amin, artinya seorang yang jujur lagi dapat dipercaya. Kejujurannya diakui tidak saja oleh para sahabat dan orang beriman, melainkan juga diakui oleh orang-orang kafir dan para penantang dakwah Beliau.
Maka dengan kejujuran sesorang akan meraih kemuliaan. Dan kehidupannya akan berakhir mulia dengan masuk surga yang abadi. Sebaliknya kebohongan akan menyeret seseorang kepada kebohongan yang berulang kali. Sehingga kemudian ia akan dianggap sebagai seorang pembohong. Dan nasibnya akan berakhir tragis di dalam siksa neraka. Dari riwayat Ibnu Mas’ud ra. Rasulullah Saw bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلىَ البِرِّ وَإِنَّ البرَّ يَهْدِيْ إِلىَ الجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِيْقاً, وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلىَ النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كذاباً. (رواه مسلم)
Artinya: “Wajib atas kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta , karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api Neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR Muslim no. 6586).
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Madaarijus salikin, menerangkan mulianya sifat jujur (Shidqu) dengan pernyataannya:
“Jujur itu adalah maqam (kedudukan) kaum yang paling agung, yang darinya bersumber kedudukan-kedudukan para salikin (orang-orang yang berjalan menuju kepada Allâh), sekaligus sebagai jalan terlurus, yang barang siapa tidak berjalan di atasnya, maka mereka itulah orang-orang yang akan binasa.”
“Dengan kejujuranlah dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang beriman, para penghuni Surga dan para penghuni Neraka. Kejujuran ibarat pedang Allah di muka bumi. Tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atasnya melainkan akan terpotong olehnya. Dan tidaklah kejujuran menghadapi kebathilan melainkan ia akan melawan dan mengalahkannya serta tidaklah ia menyerang lawannya melainkan ia akan menang.”
“Kejujuran merupakan pondasi bangunan agama Islam dan tiang penyangga keyakinan (aqidah). Tingkatannya berada tepat di bawah derajat kenabian yang merupakan derajat paling tinggi di alam semesta, dari tempat tinggal para Nabi di Surga mengalir mata air dan sungai-sungai menuju ke tempat tinggal orang-orang yang benar dan jujur. Sebagaimana dari hati para Nabi ke hati-hati mereka di dunia ini terdapat penghubung dan penolong.”
Wallahu A’laa wa A’lam.