Dalam kehidupan sehari – hari, kita sering kali menghadapi perasaan tidak puas terhadap diri sendiri. Kata “Aku tidak sebaik itu” mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran akan kekurangan yang dimiliki. Dalam artikel ini, kita akan membahas makna dari ungkapan “Aku tidak sebaik itu” dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi pandangan kita terhadap diri sendiri.
Disampaikan oleh Ibu Ledi Soviana, S.Psi. dalam program Beranda Perempuan, Senin (07/10/2024), dengan tema “Aku tak sebaik itu?”, kalimat “aku tidak sebaik itu” bisa dilihat dari sudut padang yang berbeda-beda. Orang yang pesimis juga sering berkata kalau dirinya tidak sebaik itu, bahkan orang yang perfect juga sering menyebutkan bahwa dirinya juga tidak sebaik itu. Dan ketika kita berada di antara keduanya, kita juga merasa bahwa diri kita tidak sebaik itu dalam posisi kita tahu apa kekurangan dan kelebihan kita. Satu hal yang bisa membantu kita memperbaiki kesehatan mental yaitu, sering bertanya tentang hal-hal yang positif.
Ungkapan aku tak sebaik itu, sering digunakan untuk merendahkan diri atau menunjukkan bahwa seseorang merasa tidak memenuhi harapan orang lain. Misalnya, dalam konteks hubungan, seseorang mungkin merasa bahwa mereka tidak sebaik yang dipikirkan oleh lawan bicaranya. Ini bisa menjadi refleksi dari kerendahan, dimana seseorang mengakui bahwa mereka memiliki kekurangan dan tidak sempurna.
Salah satu pelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya mengenali kelemahan diri. Dalam lingkungan yang kompetitif, kita sering kali merasa tertekan untuk tampil sempurna. Namun, ketika kita mulai jujur pada diri sendiri tentang kelemahan dan kesalahan yang pernah kita perbuat, maka kita merasakan kebebasan yang luar biasa. Mengakui bahwa “aku tidak sebaik itu” membuat kita lebih terbuka untuk belajar dan berkembang. Misalnya, dalam pekerjaan, ada kalanya kita gagal memenuhi ekspektasi, baik karena kurangnya pengalaman maupun kesalahan dalam pengambilan keputusan. Alih-alih terpuruk, kita belajar untuk mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut.
Salah satu jebakan yang sering kita hadapi adalah perbandingan sosial. Di era media sosial, kita terus-menerus disuguhkan dengan gambaran kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Melihat teman-teman atau orang-orang terdekat yang sukses, kita sering kali merasa tidak cukup baik. Namun, ketika kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain dan mulai fokus pada perjalanan hidup kita sendiri, kita menemukan kedamaian. Kita tidak sebaik itu, dan itu tidak apa-apa. Setiap orang memiliki cerita dan perjuangannya masing-masing. Menghargai proses dan langkah-langkah kecil yang kita ambil menjadi lebih berarti dibandingkan mengukur diri dengan standar yang ditetapkan oleh orang lain.
Sering kali, kita terjebak dalam keinginan untuk memenuhi harapan orang lain, baik itu keluarga, teman, atau masyarakat. Namun, kita belajar bahwa keseimbangan antara harapan dan kenyataan sangat penting. Tidak selalu mungkin untuk memenuhi semua ekspektasi, dan itu adalah hal yang normal.
Aku tidak sebaik itu, dan aku mulai menerima kenyataan ini. Mengakui kekurangan dan keterbatasan bukanlah tanda kegagalan, melainkan langkah awal menuju pertumbuhan yang lebih baik. Setiap orang memiliki perjalanan uniknya masing-masing, dan tidak ada yang perlu merasa tertekan untuk menjadi sempurna. Dengan mengakui ketidaksempurnaan, kita membuka pintu bagi pembelajaran, pengembangan diri, dan hubungan yang lebih berarti. Jadi, dari pada berfokus pada harapan yang tidak realistis, mari kita rayakan perjalanan kita yang penuh warna, dengan segala liku-liku yang ada.(junaida)