Salah satu adab yang paling bermanfaat ketika bencana dan fitnah adalah menahan lidah. Bahkan menahan lidah ini akan sangat meringankan beban. Dan termasuk bagian dari menahan lidah pada era medsos adalah menahan jari atau jempol. Sebab hari ini jari atau jempol bisa lebih tajam dari lidah.
Saat terjadi musibah, ujian dan fitnah, biasanya banyak sekali omongan dan pembicaraan. Berbagai issu sangat mudah menyebar dan berkembang. Asalnya hanya 5 berita, bisa berkembang menjadi 500 berita sakingnya banyaknya penambahan dan hiperbola atau bahkan hoaks disana-sini. Mata dan telinga seperti menunggu dan mencari-cari berita berikutnya.
Disinilah letak berbahaya dan riskannya sebuah kalimat atau ucapan yang tidak terkendali. Tusukan dan hantamannya bisa lebih pedih dari pisau dan sembilu. Keluarga bisa berantakan, harga diri bisa terinjak-injak dan pertemanan bisa berganti menjadi permusuhan.
Karena itulah kita menjadi “wajib” berhati-hati dan menahan lidah disaat ada fitnah dan ujian. Jangan tertipu dengan alasan tabayyun, lalu membukanya di depan publik. Sebab publik bukan tempat tabayyun. Itu tabayyun yang salah dan menyimpang.
Allah mengisyaratkan bahwa lidah adalah organ tubuh yang sangat berbahaya bila tidak terkendali dengan baik. Karenanya Dia menyeru orang-orang yang beriman:
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا. (الإسراء: ٥٣).
Artinya: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS Al Isra: 53).
Seorang sahabat yang mulia, Mu’adz bin Jabal ra bertanya kepada Rasulullah Saw tentang amalan yang akan menyebabkan masuk surga, dan menjauhkan dari neraka. Maka Rasulullah saw menyebutkan pangkal segala urusan yaitu Islam, lalu tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad. Kemudian Beliau bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ, وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلًّمُ بِهِ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ).
Artinya: “Maukah aku beritahu tentang sesuatu yang bisa menguatkan semua itu?” Aku menjawab: ‘Tentu, wahai Nabi Allah.’ Maka Beliau memegang lisannya (lidahnya) dan bersabda: “Tahanlah(jagalah) ini!” Aku bertanya: ”Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan?” Beliau Saw bersabda: ”Alangkah sedihnya ibumu kehilanganmu wahai Muadz, bukankah manusia itu dilemparkan ke dalam neraka dengan wajah tersungkur tidak lain disebabkan hasil panen (apa yang mereka peroleh) dari lisan-lisan mereka?” (HR Tirmidzi).
Ternyata menahan lidah dan mengendalikannya, memastikan data dan fakta sebelum bicara, menimbang kalimat sebelum berucap, semua itu bisa menjadi penyebab masuk surga.
Termasuk dalam bagian menahan lidah adalah menahan dan mengendalikan telinga terhadap apa yang di dengar dan mata terhadap apa yang dilihat (dibaca).
Telinga dan mata adalah unsur penting yang ikut terlibat dalam rusaknya kebenaran. Baik karena sesuatu jadi bertambah dari yang sebenarnya ataupun jadi berkurang, karena faktor telinga dan mata yang tidak cermat.
Adalah sebuah kebiasaan yang salah dan fatal bila kita senantiasa mempercayai setiap yang di dengar dan dibaca. Baik sumbernya perseorangan, kelompok atau group medsos, maupun berbagai media cetak dan elektronik lainnya yang hari ini sudah semakin sulit dipercaya.
Karena itu tindakan tabayyun dan memastikan akurasi berita, melalui jalur-jalur terpercaya (bukan di publik atau medsos) adalah sifat wajib bagi setiap orang yang beriman. Kalau kita tidaklah bagian yang berkepentingan disana, maka tabayyunpun bukanlah tugas kita. Tugas kita adalah menutup mulut dan menahan lidah (jari jempol).
Allah Swt memberikan berita-berita yang valid dari ayat-ayatNya bagi hamba-hamba yang beriman dan berkeyakinan yang benar. Allah berfirman:
قَدْ بَيَّنَّا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ. (البقرة: ١١٨).
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (QS Al Baqarah: 118).
Kalau bukan karena ayat-ayatNya yang valid dan akurat, tentulah peristiwa-peristiwa masa lalu bisa berbeda sampainya ke kita. Raja Namrud akan menjadi pemimpin yang bijak, sedangkan Ibrahim as adalah pembangkang dan pelaku perusakan tempat ibadah. Firaun akan menjadi pahlawan dan bapak pembangunan Mesir, sebaliknya Musa as adalah pemberontak dan pembangkang yang kemudian kabur ke Palestina. Untunglah ada Al Quran yang mengabarkan info sebenarnya bagi kita.
Imam Ath Thabary dalam tafsirnya menjelaskan, tentang ayat 118 Al Baqarah di atas, bahwa Allah mengkhususkan hamba-hambaNya yang beriman dan berkeyakinan yang benar. Sebab, mereka adalah orang-orang yang terbiasa melakukan tabayyun dalam urusan mereka. Mereka mencari pengetahuan dan informasi yang benar berlandaskan iman dan keyakinan yang benar.
Menahan lidah dan berhati-hati dalam ucapan merupakan standar perilaku setiap mukmin. Sebab, sikap tersebut dapat menghindarkan seseorang jatuh kepada kecelakaan. Berbagai informasi sangat mudah tersebar. Apalagi di era teknologi informasi hari ini. Ada yang dari lembaga resmi, ada yang dari sekelompok orang, ada yang dari kalangan pendosa dan orang-orang fasiq yang tidak menginginkan kebaikan bagi kaum muslimin. Maka pedoman orang beriman adalah firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ. (الحجرات: ٦).
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al Hujurat: 6).
Ayat ini mengajarkan bahwa menahan diri dan berhati-hati dengan melakukan tabayyun akan menghindar terjadinya musibah bagi suatu kaum.
Wallahu Waliyyut taufiq.
(Dari kitab Adabul Bala: Abdul Hamid Al Bilaliy).