Sipp FM- Suatu hari Nabi Musa menyampaikan khutbah di depan kaumnya. Ketika itu kaumnya bertanya, “Wahai Nabi Allah, siapakah orang yang paling berilmu (alim) di muka bumi ini?”. Nabi Musa terlanjur menjawab, “Saya”.

Rupanya jawaban Nabi Musa yang terkesan “sombong” ini, membuat Allah marah. Allah SWT menegur Nabi Musa dengan menyuruhnya menemui seorang yang lebih alim darinya.

Nabi Musa disuruh menemui lelaki alim dan shaleh tersebut di pertemuan dua laut. Nabi Musa bertanya, “Bagaimana itu Yaa Allah?”. Maka Allah menjelaskan bahwa dia harus membawa ikan dalam keranjang. Apabila ikan itu hilang di sebuah tempat, maka disitulah lokasi pertemuan dua laut tersebut.

Bersama pembantunya Yusa’ bin Nun, sambil membawa ikan dalam sebuah keranjang, Nabi Musa berangkat menuju pertemuan dua laut. Ikan yang dibawa ini nantinya akan menjadi makanan mereka di jalan. Nabi Musa bertekad tidak akan berhenti berjalan sampai bertemu dengan pertemuan dua laut. Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”. (QS Al Kahfi: 60).

Nabi Musa dan Yusa’ bin Nun terus berjalan dengan bersungguh-sungguh dan penuh semangat. Ketika sampai di pertemuan dua laut itu, mereka berdua duduk disisi sebuah batu untuk istirahat sejenak. Kemudian mereka berangkat melanjutkan perjalanan. Namun Yusa’ terlalai dan lupa membawa keranjangnya. Sedangkan Nabi Musa lupa mengingatkan. Ketika itulah ikan tersebut dihidupkan Allah kembali dan masuk ke laut.

Keduanya terus melanjutkan perjalanan sampai kemudian Nabi Musa sudah merasa lelah dan lapar. Sehingga dia menyuruh Yusa’ menyiapkan makanan. Ketika itu Yusa’ tersadar bahwa ikannya tertinggal. Allah menceritakan:

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا. قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا.

Artinya: “Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini. Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”. (QS Al Kahfi: 62-63).

Mendengar jawaban Yusa’ itu, Nabi Musa langsung berkata: “Itulah tempat yang kita cari”. Keduanya segera berbalik menuju tempat beristirahat tadi. Disanalah tempat yang dijanjikan Allah itu.

Di lokasi itulah Nabi Musa bertemu dengan hamba Allah yang mulia dan memiliki ilmu yang tidak diketahui oleh Musa as. Beliau adalah Khidhir. Sebagian ulama tafsir menyebutkan bahwa Beliau seorang Nabi. Sebagian yang yang lain menyatakan Beliau seorang yang shaleh.

Nabi Musa meminta izin kepada Khidhir untuk diperbolehkan mengikutinya dan mendapatkan ilmu darinya. Namun Khidhir menyatakan, “Engkau tak akan sanggup bersabar mengikutiku. Sebab Engkau belum banyak mengetahui!”.

Mendengar pernyataan Khidhir itu, Nabi Musa berjanji, “InsyaAllah engkau akan dapati aku bisa bersabar. Dan aku takkan membantahmu sedikitpun!”. Khidhir membalas, “Baiklah, kalau engkau mengikutiku maka tidak boleh bertanya sama sekali atas apa yang aku lakukan, sampai aku sendiri yang menceritakannya!”.

Maka berangkatlah Nabi Musa mengikuti Khidhir. Mereka menumpang sebuah kapal. Pemilik kapal ini sepertinya kenalan Khidhir. Sehingga keduanya menumpang tanpa membayar. Baru saja mereka menaiki kapal tersebut, Khidhir langsung melobangi salah satu dinding kapal.

Nabi Musa heran melihat perilaku Khidhir tersebut. Apalagi mereka telah dikasih tumpangan di kapal itu. Tak tahan ia untuk bertanya dan berkomentar, lupa akan pesan dan syarat dari Khidhir. Kenapa kapal ini dilobangi? Bisa-bisa kapal akan tenggelam?. Allah menggambarkan dalam firmanNya:

فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا

Artinya: “Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (QS Al Kahfi: 71).

Dengan spontan Khidhir menjawab komentar Nabi Musa tersebut, “Bukankah sudah aku katakan, engkau tak akan bisa sabar mengikutiku!”. Nabi Musa tersadar akan kealpaannya. Ia minta maaf karena terlupa dengan persyaratan Khidhir. Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan.

Setelah mereka sampai di daratan, Nabi Musa dan Khidhir melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Tiba-tiba keduanya berpapasan dengan seorang anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya. Seketika itu, Khidhir menangkap anak kecil ini dan lalu membunuhnya. Nabi Musa betul-betul terkejut dengan perbuatan ini. Ia sangat tidak bisa menerimanya. Sehingga ia bertanya dengan sangat marah. Allah berfirman:

فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا

Artinya: “Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”. (QS Al Kahfi: 74).

Kali ini lagi-lagi Khidhir memperingatkan Nabi Musa akan syarat perjalanan dengannya. “Tidakkah sudah aku katakan, engkau itu tidak bisa sabar bersamaku!”. Nabi Musa tersadar. Ia meminta maaf atas ketidaksabarannya. “Sekali lagi kalau saya masih bertanya kepadamu, maka Engkau boleh meninggalkanku. Sudah cukup alasan bagimu untuk itu”.

Maka keduanya melanjutkan perjalanan. Hari juga semakin siang, sehingga keduanya mulai merasa lapar. Sesampai di sebuah kampung, mereka berusaha mendapatkan makanan dari penduduk kampung tersebut. Namun sayangnya tidak ada yang bersedia menjamu mereka makan. Rupanya ada sebuah rumah yang dindingnya sudah hampir roboh. Ketika itu Khidhir langsung memperbaiki dinding rumah tersebut. Nabi Musa melihat ini sebagai sebuah modus supaya mendapatkan upah atau makanan. Allah berfirman:

فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا

Artinya: “Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. (QS Al Kahfi: 77)

Mendengar Nabi Musa masih berkomentar atas perbuatannya, Khidhir langsung berkata, “Kini saatnya kita berpisah. Sebab engkau telah melanggar syarat-syarat yang aku berikan”.

Sebelum berpisah, Khidhir menjelaskan semua perbuatan yang telah dia lakukan sebelumnya, yang telah membuat Nabi Musa tidak sabar melihatnya. Dan ini sebagai ilmu dan pelajaran bagi Nabi Musa.

Pertama tentang kapal yang dilobangi, karena Khidhir telah mengetahui bahwa nanti akan ada razia kapal dilakukan oleh seorang raja yang zalim. Kalau kapal bagus tidak ada cacat, maka kapal itu akan dirampasnya. Karena itulah Khidhir melobanginya supaya kapal itu cacat dan tidak dirampas.

Kedua, tentang anak kecil yang dibunuh, anak tersebut telah kafir. Sementara kedua orang tuanya adalah orang yang beriman. Dan keduanya sangat mencintai anaknya tersebut. Ia khawatir kedua orang tuanya juga akan ikut kafir seperti anaknya karena terlalu cinta. Semoga Allah nanti menggantinya dengan anak yang shaleh.

Ketiga tentang dinding rumah yang miring hampir roboh, itu adalah rumah dua orang anak yatim. Orang tuanya adalah orang yang shaleh lagi baik. Dibalik dinding itu ada harta warisan orang tuanya. Maka dinding itu ditegakkan kembali agar kedua anak tersebut mendapatkan harta orang tuanya.

Akhirnya Nabi Musa berpisah dengan Khidhir setelah mendapat ilmu dan menjalani hukuman dari Allah atas sikapnya yang terkesan “sombong”.

Pelajaran dari kisah ini:

1. Sehebat apapun ilmu seseorang, maka tetap dia tidak boleh sombong. Sikap tawadhuk harus tetap dijaga. Di atas langit masih ada langit.

2. Sikap Nabi Musa yang terlanjur sombong, ditimpalinya dengan sikap patuh kepada Allah dan tawadhuk dengan mau pergi menuntut ilmu kepada orang lain, walaupun harus berjalan jauh dan berletih-letih. Menutupi kesalahan dengan kebaikan niscaya akan menggugurkannya.

3. Sikap penuntut ilmu yang benar adalah tawadhuk kepada guru dan memuliakannya, serta sabar dalam menghadapi lelahnya mencari ilmu.

4. Allah meninggikan derjat orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu melebihi yang lainnya. Dan Allah merendahkan posisi orang-orang jahil lagi sesat.

5. Tidak boleh terburu-buru menilai dan membuat kesimpulan tentang seseorang dari sebuah tindakan atau perbuatan. Meminta penjelasan atau keterangan jauh lebih aman dan terpuji. Apalagi kalau hanya menilai orang lain dari sebuah gambar tak bergerak.

6. Keshalehan orang tua bisa menjadi jaminan rezki yang baik bagi anak keturunannya kelak. Sebaliknya, kekafiran atau keburukan akhlak anak bisa berakibat negatif kepada orang tuq bila terlalu mencintai anak tersebut.

Wallahu A’laa wa A’lam.