Perbedaan pendapat para ulama dalam masalah-masalah cabang pada hukum fiqh (khilafiyah) adalah suatu yang tidak dapat dihindarkan. Namun, seharusnya perbedaan tersebut tidak boleh menimbulkan perpecahan umat, apalagi saling membenci. Atau bahkan sampai kepada tingkat menuduh sesat dan sejenisnya.

Dan sangat bagus kalau kemudian dikupas diruang-ruang ilmiah, dengan semangat kebaikan dan tanaashuh (saling menasehati) dalam agama, yang para pesertanya memiliki kapasitas mencukupi untuk berdiskusi.

Kalaupun harus dibuka di depan umum, atau forum-forum terbuka, yang pesertanya beragam kapasitas dan wawasan, tentunya akan lebih elok dengan memaparkan semua cara pandang dan argumen. Lalu, boleh saja kalau si pembicara agak cendrung kepada salah satu pendapat, tanpa harus menyatakan pendapat yang lain sesat atau bathil.

Perbedaan atau khilafiyah fiqh itu tidak bisa dielakkan, karena generasi terbaik umat ini – yaitu para sahabat yang Allah redhai – juga mengalami perbedaan pendapat tersebut. Apalagi generasi-generasi berikutnya sesudah mereka sampai akhir zaman.

Saat terjadi tawanan pada perang badar, Abu Bakar berbeda pendapat dengan Umar dalam menyikapi tawanan tersebut. Abu Bakar mengusulkan agar mereka bisa bebas dengan tebusan mengajar 10 orang kaum muslimin tulis baca. Sedangkan Umar mengusulkan agar semua tawanan dipenggal saja lehernya, dihukum pancung.

Ketika terjadi perjanjian (damai) Hudaibiyah, yang hasilnya adalah ibadah umrah Rasulullah saw dan para sahabat dibatalkan tahun ini dan diganti tahun depan, para sahabat juga berbeda pendapat dalam menyikapinya. Abu Bakar relatif memahami hasil perdamaian tersebut. Sedangkan Umar mempertanyakannya.

Saat selesai perang Khandaq (ahzab) Rasulullah saw melarang sahabat meletakkan senjat. Beliau memerintahkan semua sahabat untuk lanjut berperang menuju kaum yahudi bani quraizhah. Perintah baginda Rasul saw waktu itu cukup jelas:

لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة….

Artinya: “Jangan sekali-kali salah seorang kalian shalat ashar, kecuali di bani Quraizhah”. (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

Para sahabat semua berangkat ke bani Quraizhah. Namun ternyata di tengah perjalanan waktu shalat ashar sudah masuk. Sebagian sahabat memahami teks hadits harus shalat ashar di bani Quraizhah, walaupun sudah malam hari. Sebagian yang lain memahami konteks hadits untuk berjalan lebih cepat, agar cepat sampai di tujuan. Namun karena waktu shalat sudah masuk, maka mereka shalat ashar di perjalanan.

Kedua pendapat yang berbeda ini diterima oleh Rasulullah saw. Beliau tidak memarahi ataupun mengasari salah satu daru dua pendapat (ijtihad). Dan itu menunjukkan bahwa Rasulullah saw memaklumi adanya perbedaan pendapat tersebut. Kalaulah berbeda pendapat itu terlarang, pastilah akan Beliau jelaskan seketika itu juga. Namun tidak ada penjelasan. Yang terlarang adalah berpecah belah dan saling membenci.

Para sahabat berbeda pendapat dalam masalah pergantian khalifah, dalam menyikapi penulisan wahyu dan pengumpulannya, dalam bacaan Al Quran dan banyak hal lainnya.

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah menyatakan bahwa para sahabat Rasulullah saw berbeda pendapat dalam banyak masalah (hukum). Namun, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengasari mereka karena perbedaan pendapat tersebut. (Kitab I’lam muwaqqi’in) teks-teks dalil yang mereka dengar atau dapatkan, memang ada yang berpotensi perbedaan. Baik karena kandungan maknanya yang lebih dari satu, ataupun karena belum ada “ketegasan” dari Rasulullah saw di dalam teks tersebut, seperti hadits shalat ashar di atas.

Akan tetapi, yang harus menjadi perhatian dan renungan kita adalah, bahwa perbedaan pendapat di kalangan para sahabat itu tidak pernah menjadikan mereka pecah atau menimbulkan kebencian antara sesama mereka. Karena mereka mengetahui dan mendapat pelajaran dari Rasulullah SAW, bahwa perpecahan itu akan menyebabkan kehancuran.

عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَجُلًا قَرَأَ آيَةً ، وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلَافَهَا فَجِئْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ فَعَرَفْتُ فِي وَجْهِهِ الْكَرَاهِيَةَ ، وَقَالَ : ” كِلَاكُمَا مُحْسِنٌ وَلَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata, “Saya mendengar seseorang membaca suatu ayat, dan saya mendengar Nabi SAW. membaca ayat itu berbeda dengan bacaannya, maka saya membawa orang itu kepada Nabi SAW. dan memberitahukan kepadanya. Saya melihat rasa tidak senang di wajah Nabi SAW. dan beliau bersabda: “Kamu berdua benar (dalam hal bacaan ayat) dan janganlah berselisih karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu selalu berselisih sehingga mereka binasa.” (HR. Bukhari).

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga sangat melarang saling membenci dan berpecah belah. Sebagaimana dalam hadits:

عنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا ، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يَخْذُلُهُ ، وَلاَ يَحْقِرُهُ ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا ، وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.” (HR Muslim, Ibnu Majah)

Imam Ahmad rahimahullah dan at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan hadits dari az-Zubair bin al-Awwâm Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ ، حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ.

Artinya: “Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian saling mencintai ? Sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR Tirmidzi, dihasan oleh Albany).

Dengan demikian, maka perpecahan dan saling membenci adalah tercela di sisi Allah. Sedangkan berbeda pendapat adalah suatu yang tidak bisa dihindarkan.

Oleh karena itu, untuk meminimalisir efek negatif dari perbedaan pendapat hendaklah setiap muslim:

1. Selalu berpegang teguh dan mendahulukan Al Quran dan Sunnah dari pada pendapat pribadi seseorang.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa: 59).

2. Mengedepankan tafahum (sikap saling memahami) dalam hal-hal yang khilafiyah, tanpa memaksakan kehendak atau pendapat yang diyakini kebenarannya kepada orang lain.

Imam Sufyan Ats Tsauriy, seorang ulama Tabi’in yang mulia pernah berkata:

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي اختُلِف فيه وأنك ترى غيره فلا تنهه.

Artinya: “Jika engkau lihat seseorang mengerjakan suatu amalan yang diperselisihkan (khilafiyah) dan engkau berpendapat berbeda dengan amalan tersebut, maka janganlah engkau melarang orang tersebut.”

3. Mengedepankan persatuan umat demi menghindari mudharat yang lebih besar, yaitu umat berpecah belah dan musuh Islam semakin kuat dan kokoh. Demi menjaga persatuan, Nabi Harun menunda pelaksanaan pesan dan perintah Nabi Musa terkait kaumnya yang ditinggal dibawah kepemimpinan Nabi Harun. Padahal sudah terjadi sebuah kesyirikan. Apalagi kalau hanya masalah khilafiyah, bukan masalah syirik. Allah ta’alaa berfirman:

قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا (92) أَلا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي (93) قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي (94) }

Artinya: “Berkata Musa, “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” Harun menjawab, “Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku, dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku.” (QS Thaha:

4. Menghindari pembahasan khilafiyah di depan umum, kecuali dengan semangat kasih sayang, saling menghargai, serta tetap menjaga ketulusan dan keikhlasan. Jika tidak, pembahasannya diruang-ruang ilmiah dengan orang-orang yang kompeten, jauh lebih mashlahat dan lebih aman.

5. Menghindari kebiasaan mengadu satu Ustadz dengan Ustadz lain, atau membanding-bandingkannya serta memberi penilaian terhadap mereka. Karena justru hal itu butuh kompetensi yang lebih tinggi lagi. “Masak dewan juri levelnya dibawah peserta yang dinilai?”

6. Pekerjan rumah umat Islam masih banyak yang besar-besar dari pada meributkan hal-hal yang khilafiyah yang ulama-ulama besar madzhab tidak bisa menyelesaikannya. Harusnya umat lebih fokus kepada itu. Ancaman komunis, kesesatan syiah, ahmadiyah dan sejenisnya, pembodohan umat, penindasan dan kezhaliman, terus bergerak tanpa kita sadari.

Sesungguhnya perdebatan yang tak akan berakhir dengan satu keputusan kebenaran, hanyalah perdebatan sia-sia yang mesti ditinggalkan. Nabi Shallahu alaihi wasallam bersabda:

أنا زَعِيمٌ ببيتٍ في رَبَضِ الجنَّةِ لمنْ تَرَكَ المِرَاءَ وإنْ كَانَ محِقًّا

Artinya: “Aku menjamin satu rumah di tepi sorga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia yang benar.” (HR Abu Daud dari Abu Umamah).

Wallahu A’laa wa A’lam.

Oleh: Ust. H. Irsyad Syafar, Lc. M.Ed.