Oleh: Ustad Irsyad Syafar, Lc. M.Ed

Nabi Ibrahim as. adalah Nabi yang Allah berikan keistimewaan yang besar. Dia adalah imam, ummah, hanif, orang yang tunduk (qanit) lillahi azza wa jalla. Seluruh Nabi dan Rasul setelahnya bernasab kepadanya. Dan seluruh penganut syariah (Islam, Nashrani, Yahudi) beriman kepadanya.

Nabi Ibrahim juga merupakan nabi yang paling agung setelah Rasulullah saw. Karena itu Allah Ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa Dia menjadikannya sebagai Khalil (kekasih).

وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا (النساء: 125)

Artinya: “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An-Nisaa”: 125)

Seluruh para nabi yang datang setelahnya adalah keturunannya dari kedua anaknya; Ishaq dan Ya’kub, kecuali Rasulullah saw yang merupakan keturuanan dari Ismail bin Ibrahim.

Nabi kita Muhammad saw memiliki kekhususan dengan Ibrahim dibanding yang lainnya. Ibrahim as. adalah bapak bangsa Arab, dan dia merupakan bapak Rasulullah saw dari segi nasab.

Nabi Ibrahim juga adalah Nabi yang Rasulullah saw diperintahkan untuk mengikuti millahnya (ajarannya),

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنْ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا (النحل: 123)

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” (SQ. AN-Nahl: 123)

Karena itu, Nabi Muhammad saw, dan para pengikutnya, adalah orang yang paling utama bagi Nabi Ibrahim as.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا (آل عمران: 68)

Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad).” (QS. Ali Imron: 68).

Karena Nabi Ibrahim dikenal sebagai bapak bagi para Nabi, maka Beliau juga adalah Bapak Tauhid. Sebab, semua Nabi menyeru umatnya untuk mentauhidkan Allah SWT. Dan Nabi Ibrahim menghadapi kaum yang menyembah berhala. Sama halnya dengan Nabi Nuh sebelumnya yang juga menghadapi kaum penyembah berhala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Orang-orang musyrik yang disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw, asal muasalnya adalah dari dua kelompok kaum; kaumnya Nabi Nuh dan kaum Nabi Ibrahim. Kaum Nuh, asal kesyirikan mereka adalah pemujaan terhadap kuburan orang-orang shalih. Lalu mereka buat patung-patung berbentuk wajah orang soleh itu, kemudian mereka menyembahnya. Sementara kaum Ibrahim, asal kesyirikan mereka adalah peribadatan kepada bintang-bintang, matahari, dan bulan. (at-Tawassul wa al-Wasilah, 2/22).

Berhala yang diagungkan kaum Nabi Ibrahim adalah simbol dari benda-benda langit yang mereka buat berhala-berhalanya, melambangkan benda-benda langit itu, lalu mereka sembah. Sedangkan berhala yang disembah kaum Nabi Nuh adalah simbol orang-orang soleh, yang mereka buat patung-patungnya, kemudian mereka sembah.

Dalam perjuangannya mengemban risalah tauhid, Nabi Ibrahim as menghadapi tantangan yang sangat berat. Wajar kemudian Beliau termasuk ke dalam salah satu Nabi Ulul Azmi. Beliau menghadapi Raja Namrudz yang kafir lagi kejam. Beliau juga menghadap kaum penyembah berhala yang punya ilmu tentang benda-benda langit. Kemudian Beliau juga menghadapi ayahnya Azar (sebagian menyebut namanya Tarikh) yang juga kafir dan pembuat berhala.

Allah menceritakan sebagian dakwahnya kepada sang ayah dan kepada kaumnya yang menyembah benda-benda langit, dalam beberapa ayat di surat Al An’am. Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آَزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آَلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. (الأنعام: ٧٤).

Artinya: “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan.” (QS Al An’am: 74).

Pada ayat ini Nabi Ibrahim mendebat ayahnya secara santun, atas peribadatan yang beliau lakukan dan juga kaumnya. Semua itu adalah sebuah kesesatan. Sebab, tidaklah pantas berhala-berhala itu dijadikan sebagai Tuhan.

Di dalam surat lain Allah lebih detailkan perdebatan Ibrahim yang mengkritisi “kesesatan” ayahnya:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا * إِذْ قَالَ لأبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا * يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا * يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا * يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا.

Artinya: “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (QS Maryam: 41-45).

Nabi Ibrahim melihat kaumnya (juga bapaknya) telah dalam kebodohan, karena melakukan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat. Dan mereka juga telah melakukan kesesatan, karena menyembah berhala-berhala yang tidak layak dipertuhankan. Nabi Ibrahim berkesimpulan seperti itu karena dia telah mendapatkan petunjuk dari Allah. Dan Allah telah memberinya keyakinan yang lurus lagi benar dengan memperlihatkan kepadanya tanda-tanda keagunganNya di langit dan di bumi:

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (الأنعام: 75).

Artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (QS Al An’am: 75).

Artinya, Allah jelaskan kepadanya segi penyimpulan dalil yang menunjukkan kepada keesaan Allah SWT, melalui pandangannya terhadap kerajaan dan keagungan makhluk-Nya, di langit dan dibumi. Sehingga kemudian Beliau yakin bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, serta tidak ada Rabb selainNya.

Kemudian Nabi Ibrahim berdebat dengan kaumnya tentang berhala dan benda-benda langit yang mereka sembah. Sebagian ulama mengatakan ini perenungan pribadi Nabi Ibrahim, dan proses Beliau mencari Tuhan. Akan tetapi pendapat yang kuat para ulama tafsir; semisal Ibnu Katsir dan Syekh As Sa’diy, dan didukung oleh teks dan konteks ayat-ayat ini dan ayat lainnya, dialog ini adalah perdebatan Nabi Ibrahim dengan kaumnya, dengan menggunakan bahasa dan logika yang sangat bagus.

Nabi Ibrahim memastikan kepada dirinya dan juga kaumnya, bahwa yang namanya Tuhan itu harus kekal abadi, tidak boleh hilang atau lenyap. Kalau ada berhala atau tuhan yang bisa hilang dan lenyap, maka itu tidak layak menjadi tuhan. Maka mulailah Ibrahim mendebat kaumnya terkait bintang yang mereka sembah. Allah berfirman:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ (الأنعام: 76).

Artinya: “Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu lenyap, dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang lenyap.” (QS Al An’am: 76).

Seolah-olah Nabi Ibrahim ingin mengakomodasi sembahan kaumnya. Yaitu bintang yang tampak indah gemerlapan di malam hari. Tapi, kemudian bintang itu hilang dan lenyap. Maka Nabi Ibrahim menyatakan itu tidak layak menjadi tuhan. “Aku tidak suka yang lenyap (tidak kekal)”, katanya. Maka gugurlah salah satu tuhan mereka.

Kemudian malam berikutnya Nabi Ibrahim menyaksikan bulan. Dan Beliau ingin mengajak kaumnya berfikir. Beliau berkata: “Inilah Tuhan” sesuai versi kaumnya. Tapi kemudian bulan lenyap pula dan tidak kekal. Maka tegas-tegas Nabi Ibrahim menyatakan kalau bukan karena hidayah Tuhannya, tentu dia akan tersesat. Jelas sekali Nabi Ibrahim sudah punya Tuhan yang benar ketika itu. Allah berfirman menggambarkan:

فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ (الأنعام: 77).

Artinya: “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, “Sesungguhnnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS Al An’am: 77).

Gugur lagi tuhan (berhala) mereka berikutnya dengan hujjah (logika) Nabi Ibrahim. Lalu kemudian di siang hari, di depan kaumnya, Nabi Ibrahim menyaksikan matahari, yang lebih besar dari bulan. Lagi-lagi Nabi Ibrahim seolah-olah mengakomodasi diawal keyakinan kaumnya: “Ini tuhanku, ini lebih besar”. Namun kemudian matahari terbenam. Maka Nabi Ibrahim memastikan itu tidak layak disembah, dan Beliau berlepas diri dari sembahan-sembahan mereka. Allah berfirman:

فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (78) إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (الأنعام :79)

Artinya: “Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS Al An’am: 78-79).

Nabi Ibrahim sudah punya Tuhan yang benar berdasarkan petunjuk dari Allah. Beliau tidak pernah terlibat penyembahan satupun dari jenis berhala dan tuhan-tuhan palsu tersebut. Beliau sudah dijamin oleh Allah mendapat petunjuk dan arahan dariNya, saat sejak awal melihat ayahnya menyembah berhala. firman-Nya:

{وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ * إِذْ قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ}. الأنبياء: ٥١-٥٢

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya, dan adalah Kami mengetahui (keadaannya). Yaitu ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadat kepadanya?”(QS Al-Anbiya: 51 -52).

Begitulah Nabi Ibrahim mendebat kaumnya dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan mereka. Beliau tidak ikut serta menyembah berhala mereka dan tidak pernah takut sama sekali dengan berhala yang mereka sekutukan dengan Allah. Sebagai mana mereka tidak takut kepada Allah. Kekuatan hujjah dan alasan Ibrahim membuat kaumnya tidak berdaya membantahnya. Allah berfirman:

{وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ}. الأنعام: ٨٣

Artinya: “Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” (QS Al-An’am: 83).

Pelajaran

1. Nabi Ibrahim adalah Bapak para Nabi, dan Bapak penyeru Tauhid serta induk pengikut syariah langit yang pernah Allah turunkan (Islam, Nashrani, Yahudi).
2. Nabi Ibrahim berdakwah menghadapi para penyembah berhala dengan hujjah yang kuat, baik dari Wahyu Allah SWT maupun dari logika yang benar yang berjalan di atas arahan wahyu.
3. Bintang gemintang dan seluruh makhluk langit lainnya tidak layak disembah atau dijadikan sebagai sumber-sumber keyakinan dan acuan dalam menentuan nasib dan peruntungan.
4. Seorang Mukmin harus tegas dalam menyikapi kesyirikan, tidak terlibat dalam peribadatan kepada selain Allah, ramal-meramal, perdukunan, dan memastikan bahwa dirinya dan keluarganya (ayah, istri/suami, anak-anak) tidak jatuh ke dalam perbuatan syirik. Sebab dosa syirik tidak diampuni Allah sama sekali, kecuali dengan taubat yang sebenarnya taubat.
5. Orang-orang yang memurnikan aqidahnya (tauhidnya) kepada Allah akan hidup dalam keamanan dan akan mendapat hidayah. Sebaliknya orang yang jatuh kepada perbuatan syirik, akan selalu dalam tidak aman, tidak nyaman, gelisah dan jauh dari hidayah.

Wallahu A’laa wa A’lam.