Oleh: Ust. H. Irsyad Syafar, Lc. M.Ed* 

Rasulullah SAW dan para sahabat serta bangsa Arab yang hidup semasa dengan Beliau waktu itu, belum menggunakan penomoran tahun. Mereka menentukan tahun itu dengan nama peristiwa besar yang terjadi pada waktu itu.

Sebagai contoh, tahun kelahiran Beliau dinamai dengan tahun Gajah. Karena di tahun itu terjadi peristiwa besar yaitu pasukan bergajah yang datang menyerang Ka’bah. Tapi pasukan itu dihancurkan Allah SWT dengan burung ababil. Tahun Fijar menjadi nama saat terjadinya perang Fijar. Dan Rasulullah SAW waktu itu masih remaja, ikut serta berperang membantu paman-pamannya.

Ada juga yang menggunakan patokan beberapa tahun sebelum atau sesudah peristiwa tertentu. Maka tersebutlah istilah sekian tahun sebelum kenabian (qabla al bi’tsah) atau sekian tahun setelah kenabian (ba’da al bi’tsah).

Terkadang bangsa Arab juga menggunakan patokan tahun dengan peristiwa kematian seorang tokoh. Maka muncullah istilah 5 tahun setelah kematian Ka’ab bin Luay, atau istilah-istilah lain semisalnya.

Situasi ini berlangsung sampai masa khilafah Umar bin Khattab. Umat Islam tidak punya nomor tahun dan patokan penanggalan. Sehingga surat-menyurat resmi Khalifah tidak ada tanggal dan tahunnya. Yang ada hanya nama bulannya. Sebab penggunaan standar bulan Qamariyah sudah ada sejak lama.

Suatu kali Abu Musa Al Asy’ary Gubernur Bashrah di masa Umar, mengeluhkan surat-surat Khalifah yang sampai kepada Beliau. Sebab surat-surat tersebut tidak bertanggal dan tidak bertahun. Hanya ada nama bulan saja. Sehingga sering menimbulkan keraguan. Beliau berkata, “Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Berangkat dari peristiwa inilah Umar bin Khattab mengundang para sahabat untuk bermusyawarah. Tujuannya adalah menyusun dan menetapkan penanggalan (kalender) Islam. Dalam musyawarah tersebut mengemukakan beberapa standar pilihan.

Ada yang mengusulkan hari kelahiran Rasulullah SAW sebagai permulaan tahun. Namun usulan ini kemudian ditolak karena hari kelahiran ini masih diperdebatkan tanggal pastinya. Disamping itu, standar tersebut terkesan menyerupai kaum Nashrani yang menjadikan hari kelahiran Nabi Isa sebagai awal tahun Masehi.

Ada juga yang mengusulkan tahun kematian Beliau. Namun ini juga tertolak karena tidak layak sebagai sebuah momentum untuk kebangkitan Islam. Karena momen kematian tentunya suasana duka.

Opsi yang menguat kemudian adalah peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Pertama karena peristiwa itu memang menjadi momen awal dan cikal bakal kebangkitan dan lahirnya Islam sebagai sebuah peradaban yang besar. Kedua, karena peristiwa hijrahnya Nabi adalah peristiwa yang memisahkan antara al Haq dengan Al bathil. Ketiga, karena adanya isyarat hari itu dipahami dari firman Allah dalam surat At Taubah:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ

Artinya: “Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At-Taubah:108)

Para sahabat menangkap makna “sejak hari pertama” dalam ayat tersebut adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Rasulullah SAW. Sebab pembangunan Masjid Quba pada saat Nabi hijrah. Sehingga moment tersebut sangat layak dijadikan sebagai patokan awal tahun kalender Hijriyah.

Maka akhirnya para sahabat sepakat menetapkan tahun satu pada tahun dimana Rasulullah SAW berhijrah. Adapun dalam penetapan bulan ke satu, maka dari musyawarah tersebut, mereka tidak mengambil bulan hijrahnya Nabi (yaitu awal Rabi’ul Awwal) sebagai bulan satu. Melainkan mereka menjadikan bulan Muharram sebagai patokan awal bulan. Sebab, bulan Zulhijah adalah bulan dimana berakhirnya orang beribadah haji, maka dianggap sebagai akhir tahun. Disamping itu, hijrah Rasulullah SAW prosesnya juga sudah dipersiapkan semenjak bulan Muharram.

Sehingga keputusan akhir dari musyawarah tersebut adalah: Tahun satu dimulai pada tahun hijrahnya Nabi, dan bulan satu dimulai dari bulan Muharram.

Dari rangkaian peristiwa penetapan tersebut, ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil:

1. Penetapan penanggalan Hijriyah adalah hasil ijma’ para sahabat Rasulullah SAW. Dan ijma’ merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Sehingga, penanggalan Hijriyah adalah sebuah syari’at dalam Islam.

2. Penanggalan Hijriyah digunakan oleh para sahabat untuk urusan akhirat dan urusan dunia. Terbukti bahwa Khalifah Umar bin Khattab memakainya dalam surat-surat resmi Beliau.

3. Umat Islam wajib mengetahui, membiasakan dan menggunakan kalender Hijriyah. Sebab, banyak sekali ibadah-ibadah besar mereka terkait dengan kalender Hijriyah, seperti: Puasa Ramadhan, Idul Fitri, Ibadah Haji, Idul Adha, haul pembayaran zakat, patokan masa iddah dalam cerai, dan lain-lain.

4. Umat Islam harus bangga dengan kalender Hijriyah. Karena itu adalah identitas dan jati diri mereka, yang membuat mereka jadi istimewa dari umat agama yang lain.

5. Menganggap penting awal tahun Hijriyah dan selalu mengkampanyekannya kepada kaum muslimin, menyambungkan mereka secara intensif dan masif dengan peristiwa hijrah dan penanggalan Hijriyah, adalah sebuah tindakan yang mulia dan terpuji. Karena hal itu akan membuat umat dekat dengan kalender mereka sendiri.

6. Menjadikan awal tahun baru Hijriyah seperti awal tahun Masehi dengan hura-hura dan sejenisnya, adalah sesuatu yang menyelisihi dan jauh dari ajaran syari’at Islam, serta bertentangan dengan semangat hijrah itu sendiri. Sebab hijrah itu sejatinya pindah dari keburukan kepada kebaikan.

7. Para sahabat sangat berhati-hati dan menjauhi hal-hal yang menyerupai agama lain. Yaitu dalam hal yang berkaitan dengan ibadah dan identitas/jati diri umat Islam.

Wallahu A’laa wa A’lam.

 

*Dewan Pembina Yayasan Waqaf Ar Risalah Padang